Laman

Kamis, 22 Desember 2011

LIMA KISAH LUCU KARENA BAHASA

Setiap orang pasti memiliki kisah tersendiri. Ada yang sedih, nyetrik, lucu, menegangkan dst … dan kelima kisah ini adalah pengalaman pribadiku sendiri. Bagi yang merasa lucu boleh tertawa. Dan yang merasa tidak lucu, tidak dilarang untuk senyum kok, asal jangan murung saja ya!.

KISAH PERTAMA

Cerita ini terjadi sekitar tahun 2007 – an, ketika aku masih duduk dibangku kelas 2 aliyah di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. 

Pada suatu hari, sepulang sekolah, aku sedang serius membaca Koran yang tergantung di madding Koran, tepat didepan kamarku SP.1 waktu itu. Tiba-tiba seorang teman menegurku, namanya Zulpan, orang bawean.

“Dan, Dan”. Sapanya. ‘Dan’, sebagian orang memanggilku dengan sebutan itu karena aku berasal dari Medan.

Aku pun tersentak dan siap mendengarkannya.

“kata anak-anak, kamu pernah nambal gigi ya? Dimana? Antarin aku dong!!”. Lalu ia membuka bibirnya lebar hingga aku dapat melihat ada satu giginya yang hilang waktu itu.

Singkat cerita, aku pun menemaninya ke tempat ahli gigi yang beberapa waktu lalu pernah menambal gigiku yang bolong. Kerja punya kerja, akhirnya ahli gigi itu selesai memberikan satu gigi untuk zulpan hingga Zulpan terlihat tidak menakutkan lagi.

Karena giginya laku satu, si ahli gigi pun senang telah kami kunjungi. Dan sebelum pulang, kami sempat bicara sebentar. Lalu ternyata si ahli gigi masih ingat denganku. Si ahli gigi itu bilang :

“mas iki sing tau merene iku yo? (mas ini yang pernah datang kesini itu ya?)”.

Waktu itu aku belum terlalu tahu bahasa Jawa begitu juga dengan Zulpan. Tapi untuk mengartikan kalimat yang diatas ini sih, kecil bagi kami. Karena itu kalimat sederhana yang paling sering dikatakan teman-teman disekitar kami.

Dengan mantap aku langsung menjawab :

“enggeh buk”. Ahli gigi itu wanita.

“merene ijen bien?”.

Aku bingung, begitu juga dengan Zulpan. Seketika aku dan Zulpan berbalas pandang waktu itu, kemudian menjawab :

“iya buk, tadi kami sudah izin!”.

Ahli gigi itu pun senyum dan mengubah bahasanya.
“kemaren kesininya sendirian?”. Kata ahli gigi itu.
Dan kami pun tertunduk malu.


KISAH KEDUA

Kisah ini juga terjadi ketika aku masih di pesantren. Waktu itu, Idul Adha tiba. Kami pun diberi libur satu minggu. Temanku, Afif, mengajakku untuk ikut berlibur ke rumahnya di Pemekasn, Madura.

Aku pun menerima ajakannya. Kami meninggalkan pesantren bertiga. Aku, Afif dan Ulum.

Singkat cerita, akhirnya sampailah kami dipelabuhan untuk menyeberang. Waktu itu Jembatan Suramadu belum ada. Cerita disingkat lagi. Aku baru saja menertawakan temanku, Ulum yang dimarah-marahi penjual kacang. Karena si pedagang kacang ini menjeritkan dagangannya “kacang kacang kacang!”. Lalu Ulum dengan cakapnya memanggilnya dan menanyakan :
“mas, ada tahu?”.

Haha, mungkin Ulum kesal. Tapi, biarlah. Kemudian aku pun lapar. Kebetulan pedangang nasi lewat. Aha, waktunya makan nih.

“bu, nasi”.
“iya, lauknya apa nak?”. Tanya si ibu itu dengan logat maduranya.
“ayam ada?”. Tanyaku.
“ade”. Jawabnya.
“ya, ayam satu ya”. Pintaku.
“telor saja ya”. Katanya.

“lho, ayam ada?”. Tanyaku lagi.
“ade”. Jawabnya.
“ayam satu ya”. Pintaku lagi.
“telor saja ya”. Katanya.

Hampir kami bertengkar karena yang kupinta lain dan yang ditawarkannya lain. Disampingku Afif tertawa geli karena ADE artinya TIDAK ADA.


KISAH KETIGA

Kisah ini terjadi sekitar tahun 2006. Saat itu aku masih tiga bulan di Jawa. Karena lebaran tiba dan keluarga besarku akan berkumpul di Jakarta, aku pun memutuskan untuk pulang ke Medan. Lalu puasa ke 25 kami sekeluarga berangkat ke Jakarta dengan sebuah mobil. Seru lho perjalanannya. Waktu itu ayah dan abangku yang menyetir.

Meski baru di Jawa dan belum mengerti bahasa Jawa, tapi aku sudah mengerti perbedaan istilah-istilah yang digunakan orang-orang di Pulau Jawa dan orang-orang di Pulau Sumatra. Misalnya sebutan untuk KERETA API. Orang Jawa atau pun orang Jakarta kerap kali menyebutnya dengan sebutan KERETA. Sementara bagi orang Sumatra khususnya Medan menyebutnya dengan sebutan lengkap yakni KERETA API. Sedangkan kalimat KERETA orang Medan mengartikannya dengan SEPEDA MOTOR. Beda jauh bukan arti penggunaan kalimat KERETA.

Singkat cerita, kami pun sampai di Jakarta dan berkunjung ke rumah saudara yang puluhan tahun sudah tidak bertemu. Cerita punya cerita, saudara kami itu pun ngobrol dengan abangku :
“kalian dari Medan ke sini naik mobil?”.
“iya pak!”. Jawab abangku.
“tidak takut dijalan? Mungkin ada rampok?”.
“takut juga sih pak, yang paling mengerikan di Lahat, malam-malam mereka datang naik KERETA, mereka cegat mobil kita dari depan, mereka todongkan pisau atau pistol, mereka curilah barang-barang kita, baru pergi mereka, bisa-bisa mobil kita juga dibawa lari sama mereka". Cerita abangku asyik dengan logat Medannya.

Bapak itu hanya diam, tidak melanjutkan bertanya. Mungkin benaknya bingung mengambarkan ‘KERETA mencegat sebuah mobil dimalam hari’. Aku yang mengetahui kebingungan bapak itu pun tersenyum geli. Hehe.

KISAH KEEMPAT

Kisah ini pun terjadi ketika aku masih menimba ilmu di kota santri, Jombang. Suatu ketika, abangku mengunjungiku ke Jombang setelah dari Bogor yang kebetulan dia ada semacam training disana. Berkunjung ke Jombang, abangku pun tak hanya diam dan menemuiku saja. Sesekali ke kota yang penuh pesantren itu, abangku pun ingin mengunjungi beberapa tempat di kota Jombang. Salah satunya adalah pasar Legi Jombang.

Singkatnya, kami pun naik angkot atau yang dikenal dengan ‘len’ di Jombang ke pasar tersebut. Waktu itu kami berdua duduk dibagian paling belakang angkot. Ketika para penumpang lain sudah banyak yang turun dan angkot sudah terlihat hanya beberapa orang, sang kernet pun bertanya tentang tempat yang akan kami tuju. Kernet itu bilang :
“teng pundi mas? (mau kemana mas?)”.
Spontan abangku yang sok tahu itu mengatakan :
“ke pajak bang!”.

Haha, aku tersenyum geli. Orang Medan menyebut ‘pasar’ dengan sebutan ‘pajak’. Sementara arti ‘pasar’ bagi kami adalah ‘aspal hitam’. Si kernet pun diam tak bertanya lagi. Setelah sebelumnya ia memandangi kami lama, kebingungan. Mungkin dalam pikirannya ‘kantor pajak manakah yang akan kami tuju?’. hehe


KISAH KELIMA

Sebenarnya, ada satu kisah lagi yang membuatku tertawa ketika mengingatnya. Tapi sayang, ketika menulis kisah-kisah ini, aku berhasil menulis tiga kisah terlebih dulu. Lalu beberapa waktu tidak menulis karena ada beberapa kesibukan lainnya. Eh, ketika aku menulis kisah yang keempat, aku lupa kisah yang kelima. Hehe, maaf ya, dilain waktu kalo aku ingat kisah yang kelima, nanti kutulis deh lalu kubagi-bagi kepada sahabat-sahabatku yang luar biasa. Untuk saat ini, sampai sini dulu. Semoga bermanfaat.

Selasa, 20 Desember 2011

PETUALANGAN HUTAN 2


Matahari terbenam dan malam pun tiba. Salim sekali lagi bertayamum dan melaksanakan shalat jamak taqdim maghrib-isya dan lagi-lagi si nona cantik itu memperhatikannya dengan seksama. Setalah selesai shalat, ternyata suasana diantara mereka sudah semakin malam dan semakin menyeramkan. Hanya ada mereka berdua ditengah-tengah hutan rimba yang amat gelap pekat serta dikelilingi oleh beraneka ragam binatang buas yang terpencar diseluruh penjuru hutan. Dalam keadaan gelap seperti itu, mungkin saja ada binatang buas yang memasuki area peristirahatan mereka tanpa mereka ketahui. Semuanya serba mungkin. Salim dan nona jelita itu sangat takut sekali. Tapi Salim mencoba untuk menenangkan diri agar si nona jelita tidak terlalu takut.
“kau diamana?” Tanya nona cantik itu ketakutan. Hanya suara nona itu saja yang kedengaran. Mereka berdua tidak bisa melihat satu sama lain akibat terpaan gelap malam itu. Tadinya ada sedikit cahaya bulan yang menerangi mereka. Namun kini sang bulan lenyap ibarat ditelan awan.
“aku disini” sambut Salim. Mereka saling meraba-raba satu sama lain dan akhirnya kedua tangan mereka bertemu. Lalu Salim mengajaknya untuk bersandar kepinggir.
Karena takut terjadi apa-apa, tangan mereka berdua erat saling berpegangan. Mereka berdua bicara dan melepaskan semua kecapekan mereka malam itu.
“sebenarnya, kenapa kau bisa tersesat disini?” Tanya Salim. Kali ini tidak ada acara pandang-memandang dan tidak ada pesan yang ingin tersmpaikan dari kedua mata. Hanya ada suara dalam pekat malam mereka berdua dihutan rimba.
“aku marah pada ayahku” kata nona jelita itu setelah keadaan diantara mereka hening beberapa saat. “ayahku memaksaku untuk ikut bersamanya ke Jakarta” lanjut nona cantik itu “dan aku tidak mau, aku ingin bersama ibu apapun halnya”.
“kalau begitu kenapa ibumu tidak ikut saja ke Jakarta?” Tanya Salim lagi.
“ibu dan ayah baru saja bercerai” jawab nona itu.
“maaf, aku tidak tahu. Memangnya kenapa mereka bisa bercerai?” Tanya Salim. Suasana hening, si nona jelita itu hanya diam tanpa mengeluarkan suara. “mungkin pertanyaanku sudah menyinggung perasaannya” pikir Salim.
Suasana hening cukup lama dan akhirnya si nona jelita itu berkata :
“aku haus, kau tahu seharian ini kita belum air”.
“aku juga haus” kata Salim “tapi kau tak usah khawatir” lanjut Salim “aku kira kita sudah dekat keair terjun. Besok kita akan minum semua air yang ada ditempat itu” kata Salim mantap sekaligus untuk menghibur sebagai kata maaf atas pertanyaannya sebelumnya.
“memang kau kira perutku ini apa?” kata nona jalita itu sambil bercanda. Salim tahu suasana sudah mulai cair kembali. Kemudian Salim bertanya lagi tapi kali ini harus lebih hati-hati pikirnya. Mungkin pertanyaan kali ini lebih sensitif dan memalukan. Salim pun jadi ragu dan malu ingin bertanya. Salim berkata :
“apa kau... apa kau... emm... apa kau ....”
“apa kau apa?” sambut si nona jelita itu.
“maksudku... apa kau tidak melihat bulan?” kata Salim.
“kukira mata kita berdua masih normal” jawab si nona manis itu.
“iya, bulannya tidak ada” kata Salim malu.
“maksudku...” kata Salim lagi “saudaramu berapa?”
“hmm... hmm..., Tanya itu saja kok gugup” ejek nona itu dalam kegulitaan. Lalu si nona manis itu menjelaskan semua perihal tentang dirinya. Mengetahui si nona itu sangat terbuka, Salim mencoba untuk bertanya lagi. Ia berkata :
“apa kau.... apa kau... ehm.... maksudku.... “ Salim menjadi sangat ragu dan gerogi. Tangannya menjadi lebih erat menggenggam tangan si nona jelita itu “ehmm .... maksudku ... apakah kau .... pernah ... jatuh cinta?” Salim langsung menghembuskan nafas bersamaan dengan kata terakhir yang ia ucapkan dan nafasnya tersengal-sengal seakan ia baru berlari ratusan meter.
“oh.. cinta” jawab si nona manis itu. Seandainya waktu itu terang, Salim pasti bisa melihat senyuman lebar yang tergirang-girang terekah dibibir tipis nona itu.
“eh... kau jangan salah paham, maksudku cinta tapi...” kata Salim penuh gerogi dan malu. Tapi perkataan Salim terpotong oleh perkataan gadis manis kecil itu
“tidak, aku tidak pernah berkenalan  denga sosok cinta, bagaimana bentuknya, rasanya, aku tidak tahu, dan cintaku juga belum pernah terjatuh. Mungkin karena belum ada yang mau mencurinya atau mungkin karena aku yang terlalu naïf dan bodoh”. Tanpa mereka sadari ternyata genggaman mereka berdua semakin mengerat. Dan malam pun semakin pekat dan dingin. Namun mereka sama-sama malu untuk saling mendekatkan diri.
Keheningan panjang terjadi dan bulan pun mulai menampakkan dirinya lagi. Nona manis itu masih terjaga, sementara Salim sudah terlelap disampingnya. Kemunculan bulan itu memberikan cahaya kepada mereka. Sehingga si nona jelita itu bisa melihat Salim dengan jelas. Nona manis itu memandangi wajah Salim yang tertidur pulas dengan dalam seakan ada pesan serius yang ingin disampaikan pandangan tak berbalas itu. Lalu si nona melepaskan tangannya dari genggaman Salin yang erat. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari ransel kecilnya. Yaitu sebuah kotak kecil yang berukuran telapak tangan orang dewasa. Ia membuka kotak itu dan memandangi isinya dalam. Lalu ia memejamkan kedua matanya seakan ada suatu keinginan yang ia sampaikan. Kemudian kotak itu ia tutup kembali dan memeluknaya tidur untuk menyambut pagi.
*                     *                      *
“bangun” gugah nona itu membangunkan Salim "lihat fajar sudah datang, kau tidak shalat subuh?”. Mendengar kata-kata ‘shalat subuh’ Salim langsung melompat bangun dan melihat langit hampir terang. Salim pun langsung memukul debu bertayamum dan shalat subuh. Dan lagi-lagi si nona jelita yang manis itu memperhatikannya dengan seksama. Setelah matahari naik sepenggalah, mereka pun bersiap-siap untuk menghabiskan hari kedua mereka dihutan guna menemukan jalan keluar dari hutan. Tapi, kali ini sebelum jalan keluar rencana mereka adalah air terjun. Mereka harus menemukan air terjun untuk memusnahkan dahaga demi menambah tenaga agar petualangan hari kedua ini tidak mengecewakan hari sebelumnya.
“hey, mari sini!” panggil nona manis itu. Salim pun bergegas ketempat nona itu. Mereka berdua berdiri tepat dibawah pohon rindang. Kemudian si nona jelita menendang batang pohon itu. Dan kemudian tetesan air dari pepohonan menitiki mereka. Si nona dengan cengiran nakal berlari menjauhi Salim. Salim pun berlari menjauhi pohon itu. Sambil tertawa Salim mengejar nona jelita itu. Si nona pun berlari menghindari balasan Salim. ketika si nona jelita terjebak, Salim pun berkata :
“ayo, kau terperangkap sekarang”.
“iya, iya, aku menyerah” kata nona itu dengan ketawa yang tidak putus-putus dari tadi “tapi, tunggu dulu, apa kau tidak berfikir kalau kita bisa minum air pagi ini meski hanya sedikit”. Salim pun diam sejenak dan memikirkannya. Lalu mereka saling berbalasan senyum pagi itu.
Mereka pun mengumpulkan tetesan air demi tetesan air dari setiap dedaunan kedalam sebuah daun agak lebar yang mereka rangkai menjadi sebuah mangkuk kecil. Meski air itu hanya seteguk tapi dibarengi dengan canda ria Salin dan si nona cantik dan ditemani dengan suasana pagi yang cerah air seteguk tadi ibarat air seember yang mampu menghilangkan rasa haus mereka setelah tidak minum air sehari penuh. Setelah selesai sarapan seteguk air embun, rasanya mereka siap untuk berpetualang pada hari kedua mereka di hutan.
“kau siap?” Tanya Salim. si nona itu hanya minyagapkan bahuna dan memberi hormat kepada Salim layaknya seorang prajurit sebagai tanda kesiapannya. Kakinya sudah sembuh seperti sedia kala sehingga seandainya ada marabahaya ia akan siap dengan jurus larinya. Mereka mulai meninggalkan tempat peristirahatan mereka tadi malam setelah yakin tidak ada satu pun barang mereka yang tertinggal disana.
Salim dan nona cantik itu sama-sama menggunakan kayu yang berukuran seperti tongkat sebagai penopang jalan. Sudah jauh dan lama rasanya mereka meninggalkan tempat peristirahatan malam itu tetapi tetap saja yang mereka temui hanya pepohonan hijau dan rawa-rawa. Sesekali mereka beristirahat ditempat yang mereka anggap aman. Lalu mereka terus menelusuri setiap celah jalan yang mereka temui. Salim tahu satu hal, bahwa air terjun ada dibalik bukit. Maka dari itu mereka coba untuk mendaki bukit. Setiap ada jalan yang berbukit di hutan itu maka akan mereka tempuh. Akhirnya mereka sampai pada suatu tempat yang agak lapang, terbuka, tanpa ada pepohonan dan rawa-rawa yang memdati dan menutupinya. Mereka bisa melihat langit dengan jelas. “tempat apa ini?” pikir Salim. mereka berdua terus bertanya dalam hati mengenai tempat itu. Aneh rasanya didalam hutan rimba ada tempat yang terbuka walaupun tidak terlalu lebar. Mata Salim dan mata nona manis itu bertemu lagi seolah ingin menyampaikan pesan “kau tahu tempat apa ini?”. Kemudian mereka mengamati kearah sekitar lagi sambil mendekatkan diri satu sama lain.
“kau pikir ap..” sebelum si nona manis itu selesai mengucapkan perkataannya, dari jauh beberapa ratus meter mereka melihat dua manusia hitam yang mengejar mereka kemarin. Langsung dengan segera Salim meraih tangan nona manis itu yang terdiam terpelongoh, menariknya untuk berlari.
“ayo” kata Salim diiringi dengan hentakan kencang kaki mereka. Dua orang makhluk hitam itu pun tak mau kehilangan mangsa lagi. Si manusia hitam itu ikut berlari dibelakang mengejar Salim dan si nona manis. Salim dan si nona jelita itu mengerahkan semua tenaga mereka untuk selamat. Kalau hari ini mereka gagal maka sia-sialah perjuangan mereka melawan harimau. Sudah jauh dan lama sekali mereka berlari. Disela-sela itu si nona cantik berkata kepada Salim :
“hey, apa kau puny ide? Aku sudah tidak kuat”. Otak Salim terus berputar cepat secepat kakinya melangkah. Dan tiba-tiba Salim berhenti mendadak dan menarik tangan si nona manis itu kebalik sebuah pohon.
“kau mau apa?” Tanya nona manis itu.
“ssttt” jawab Salim sambil mengacungkan jari telunjuknya tepat dihadapan bibirnyna. Kemudian Salim menarik ranting agak besar yang lentur kebalik pohon itu. Tanpa suara mereka berdua menunggu kedua oran hitam yang bertongkat itu lewat. Ketika dekat dan semakin dekat dan akan melintasi pohon tempat persembunyian Salim dan si nona jelita, seketika itu juga Salim melepaskan genggamannya dari ranting yang ia tarik tadi. Dan ranting itu membentur kedua orang makhluk hitam itu dan mereka pun terjatuh.
“ayo” kata Salim lagi sambil menarik tangan si nona jelita berlari.
“kau memang cerdas” gumam nona cantik itu salut. Merasa sudah lama berlari dan jauh dari kedua manusia hitam. Salim dan si nona manis pun memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ditempat yang tidak terlalu banyak ditumbuhi rawa-rawa, Salim dan nona itu menghentikan langkah mereka. Dengan nafas yang masih tersengal-sengal si nona manis bertanya kepada Salim :
“lalu bagaimana sekarang?”
“entahlah” jawab Salim. Salim dan nona itu pun duduk menenangkan diri dan menetralkan nafas.
“ku pikir aku kan menjadi juara lomba lari jika terus-terusan ada disini” kata Salim dengan nafas yang masih tersengal-sengal. Si manis jelita hanya diam tidak menimpali perkataan Salim. kemudian “tunggu dulu!” kata si nona “kau dengar itu” tanyanya. Salim pun menghentikan sengalan nafasnya dan berkonsentrasi pada pendengarannya. Salim benar-benar mendengarkan dengan seksama. Lalu kemudian :
“air terjun”  kata mereka serempak. Ya, mereka mendengar suara jatuhan air. Lalu dengan segera mereka menelusuri celah jala yang menanjak. Dan akhirnya mereka sampai diujung jalan tebing yang tingginya kira-kira sekitar 30 m dan dihadapan mereka tepat ada air terjun yang sangat tinggi. Hawanya terasa sejuk sekali. Dan ada air yang mengalir panjang dibawah tebing itu. Salim dan si nona manis, sesaat setelah sampainya mereka diujung tebing dan melihat air terjun, langsung merentangkan kedua tangan mereka dan menjerit sepuasnya. Suara mereka menggema keseluruh pelosok hutan.
“akhirnya kita sampai” kata nona manis itu ceria. Dengan segera mereka menuruni tebing itu dan mencapai aliran air terjung yang sangat panjang dan deras.
“kita berhasil” teriak Salim langtang pada hutan “kamilah pemenangnya” lanjutnya sambil merentangkan kedua tangannya. Dan kemudian si nona jelita itu menyipratkan air yang dingin kewajah Salim. mereka pun bercanda tawa ditempat itu. Akrab sekali. Siram-siraman air, kejar-kejaran. Sungguh akrab sekali dan tidak lupa mereka minum sepuasnya. Bersambung ...

Senin, 19 Desember 2011

PETUALANGAN HUTAN 1


Pagi itu, anak-anak kelas satu Tsanawiyah dari salah satu yayasan ternama di Jombang, Jawa Timur mengadakan tour pembekalan pramuka ke Pekalongan, Jawa Tengah. Acara yang diadakan anak-anak osis Tsanawiyah ini boleh dikatakan adalah acara yang super nekat. Karena baru pertama kalinya osis sekolah ini mengadakan acara sampai keluar provinsi. Acara yang melibatkan banyak pihak yayasan ini pun rencananya akan menginap satu hari di perkemahan Srigayang, salah satu bukit diujung desa Botosari yang mempunyai hutan tropis yang sangat luas serta fauna yang beraneka ragam. Tepat pukul dua siang rombongan osis ini tiba di Pekalongan, tepatnya didesa Botosari. Dari situ mereka akan beranjak untuk mendaki bukit sedikit untuk menemukan tempat perkemahan.
Takbir berbunyi, para siswa melaksanakan jama’ah shalat jamak taqdim zhuhur-ashar setelah selesai memasang tenda perkemahan. Pembekalan demi pembekalan pun dilakukan pada sore dan malam hari itu. Lalu kemudian mereka damai bersama dunia mimpi mereka masing-masing. Setelah matahari naik sepenggalah, acara yang sangat dinanti dan ditunggu-tunggu para peserta pembekalan ini akhirnya akan tiba. Mereka sangat menunggu acara ini. Karena bagi mereka acara ini sangat menantang, yaitu daki bukit. Mungkin acara seperti ini lumrah bagi anak pramuka, tapi tidak bagi anak pramuka yang pemula. Persiapan demi persiapan pun telah selesai dilakukan. Mereka sudah siap untuk menyebrangi bukit itu. Karena dibalik bukit itu ada air terjun yang sangat tinggi, yang tentunya akan membuat pemandangan lebih eksotis untuk menyapu keringat para pendaki bukit.
Mereka sudah memasuki area hutan yang lebat itu dengan berkelompok-kelompok. Masing-masing ketua kelompok adalah pengurus osis. Oleh karena memasukinya perkolompok, maka ada beberapa kelompok yang jaraknya terlalu jauh. Sehingga beberapa kelompok tersebut tidak akan bertemu kecuali setelah sampai di air terjun.
“aku jalan dulu Lim” kata Rifat, satu-satunya teman yang akrab dengan Salim setelah perkenalan singkat mereka. “kita akan bertemu di air terjun” lanjut Rifat yang mendapat kelompok pertama yang berangkat ini.
“oke” jawab seorang anak Medan, Salim. Kelompok Salim adalah kelompok yang paling terkahir berangkat.
Akhirnya, giliran kelompok Salim berangkat. Salim mendapat posisi yang paling belakang. Karena urutan baris setiap kelompok berdasarkan huruf abjad. Sedangkan Salim huruf abjadnya adalah ‘S’. Mereka sudah semakin jauh memasuki hutan, tapi masih jauh dari tempat air terjun karena hutan bukit ini terlalu luas. Namun semuanya sudah diperhitungkan dan disiapkan oleh panitia. Setiap kelompok akan menelusuri satu jalur untuk sampai ke air terjun.
Ditengah jalan Salim terkagum-kagum melihat beberapa tanaman yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. Akhirnya Salim berjalan kedepan sambil melihat kearah kiri. Posisi jalan seperti itu sangat lama sekali. Karena tanaman-tanaman disebelah kiri Salim sangat menakjubkan. Sampai akhirnya, ketika Salim menoleh kedepan, teman-teman sekelompoknya berubah menjadi tanaman hijau. Ia menoleh kekanan, belakang dan kekiri yang ada hanya tanaman hijau. Ia telusuri lebih jauh dengan lari-lari kecil. Namun hanya ada tanaman hijau. Akhirnya Salim mengerti, bukan mereka tapi dialah yang hilang.
*                     *                      *
Salim sempat panik, ia coba untuk kembali ketempat semula, tapi tetap saja yang ia temui hanya pepohonan hijau yang tak bersuara. Salim tak peduli, setiap ada celah untuk berjalan maka akan ia jalani. Sampai akhirnya ia lega. Ia menemukan sesuatu, sesuatu yang bersuara. Manusia, ada dua manusia ditengah-tengah hutan itu. Sebelum Salim sempat begitu dekat, kedua manusia itu menoleh kepadanya. Berambut panjang, hitam, hanya mengenakan penutup kemaluan dan tongkat panjang ditangan kanan mereka. Lalu kedua orang hitam itu memajukan langkah mereka kearah Salim perlahan-lahan yang dibarengi dengan reflex mundur dari Salim yang juga perlahan-lahan. Dan, ketika keadaan sudah tidak memungkinkan Salim membalik badan dan berlari secepat mungkin. Ia tahu mereka tak ubahnya seperti hewan liar buas yang akan memangsanya. Hanya saja mereka berwujud manusia. Aksi kejar-mengejar pun terjadi diantara mereka didalam hutan rimba. Seluruh tenaga Salim kerahkan untuk berlari. Namun apa hendak dikata, Salim hanya bocah yang baru keluar dari sekolah dasar. Memang ia berlari sangat kencang sehingga kedua orang hitam tadi tertinggal agak jauh dibelakang. Akan tetapi dengan rasa penat yang menghimpit tenaga Salim, tubuhnya jadi melemah dan akhirnya kakinya tersandung kayu besar dan jatuh tersungkur.
“aduh” ingin rasanya Salim menjerit, tapi sayang tak kuasa atas keadaan. Kedua orang hitam tadi semakin dekat kearah Salim. Tapi posisi Salim yang tersungkur masih terhalang dari pandangan mereka oleh pepohonan. Semakin dekat dan semakin dekat. Jarak kedua orang hitam itu semakin dekat dengan Salim. Lalu kemudian ada tangan mungil kecil dan putih yang menggapai tangan Salim dan menyeretnya bersembunyi kedalam suatu lubang yang agak besar dan tidak terlalu dalam yang dilindungi oleh dedaunan disamping tempat Salim tersungkur. Dan jarak dekat antara Salim dan kedua orang hitam itu pun kini semakin menjauh. Karena kedua orang hitam itu sudah melewati tempat persembunyian tangan mungil putih itu.
*                     *                      *
“kau sudah sadar?” Tanya orang yang memiliki tangan mungil yang indah itu. Salim membukakan matanya, kaget mengetahui ada manusia disampingnya Salim pun reflex bergerak cepat dari tempatnya.
“tidak usah takut” suara itu terdengar lembut dan indah sekali “kita aman disini”. Mata mereka berdua bertemu. Salim sadar dihadapannya adalah seorang anak perempuan cantik jelita. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, putih, sopan, lembut dan anggun sekali. Mata mereka terus bertemu. Bahkan semakin dalam, seakan ada pesan yang ingin tersampaikan dari pandangan pertama itu. Sampai akhirnya Salim menundukkan kepalanya dan bertanya :
“kau siapa?”
“aku sama sepertimu” jawab anak gadis manis itu. “aku juga tadinya dikejar-kejar oleh kedua makhluk hitam itu”.
“memangnya siapa mereka?” Tanya Salim.
“yang jelas, mereka tidak akan mengejarku jika aku mengenal mereka. Tapi, mungkin mereka adalah penguasa di hutan ini. Ya, dengan kata lain hutan ini adalah rumah mereka dan kita tidak diundang untuk menjadi tamu mereka”.
“ah.. tidak tahulah” kata Salim yang pikirannya sedang kacau akibat ketakutan ini “pokoknya kita harus pergi dari tempat ini secepatnya” lanjut Salim.
“ya, aku setuju” balas nona manis itu sambil merekahkan senyuman yang agak lebar.
Mereka berdua pun keluar dari lubang itu sambil mengendap-endap lihat kanan-kiri depan-belakang. Dan mereka berjalan perlahan mengitari celah yang paling lebar diantara pepohonan. “celah itu mungkin bisa menghantarkan kami keluar dari hutan ini” pikir mereka. Namun semakin jauh mereka mengitari jalan lebar tersebut, hanya ada terlihat jalan bercabang. Dan lagi-lagi mereka memilih jalan yang paling lebar diantara cabang jalanan itu. Dan kemudian hanya ada jalan yang bercabang lagi dan mereka memilih seperti pilihan sebelumnya. Jalan yang melebar itu semakin menyempit dan menyempit hingga pada akhirnya hanya ada pohon dan pohon yang dipenuhi rawa-rawa tanpa ada celah untuk berjalan.
“hah, kita semakin jauh tersesat” kata nona jelita itu putus asa.
“ya, aku tahu” tindih Salim dengan nada yang sama. Dan matahari pun sudah mulai menukik kebarat.
“kau tidak lapar?” Tanya Salim.
“apa? Disaat seperti ini kau masih bisa memikirkan makan?”.
“kita harus bertenaga untuk melanjutkan perjalanan”. Nona itu tertunduk dan sangat lesu. Dan ia berkata dengan lemah dan pelan :
“aku sangat lapar sekali”. Salim memandanginya dengan senyuman nakal, lalu ia berkata:
“kau tunggulah disini”.
“tidak! Aku takut. Aku akan ikut kau kemanapun kau pergi”. Salim hanya memandangi nona manis itu terpelongoh.
“kau mau ikut aku memanjat pohon itu?” kata Salim sambil menunjuk kepohon bam-bam yang sangat besar. Nona jelita itu terdiam mengkatupkan kedua bibirnya dan memandangi Salim seperti ingin menerkamnya.
Loncatan terakhir kebawah, Salim pun selesai memanjat dan mendapatkan banyak buah. Segera mereka mencari tempat yang cukup lapang dan nyaman untuk diduduki lalu kemudian menyantap buah-buahan itu.
“kau lincah sekali memanjat” kata nona itu sambil menyarut buah bam-bam “seperti... haha” gelegar nona itu ketawa kecil.
“seperti kamu” sambut Salim.
“kok aku?” kata nona jelita itu protes.
“kamukan ... haha”gelegar Salim tertawa agak keras sambil menyantap buah hasil keringatnya itu. Mereka berdua bercanda tawa akrab sekali, seperti halnya orang yang sudah kenal puluhan tahun. Senggol-senggolan bahu, rebutan-rebutan buah sampai lempar-lemparan kulit buah.
Namun, kehangatan canda akrab itu tidak berlangsung begitu lama. Kedua mata kuning mengintai mereka.
“heh, kau dengar itu?” kata si nona manis menghentikan gelak mereka berdua. Mereka berdua saling berpandangan bodoh dan membodoh dan ketakutan. Dari kejauhan ada sesosok makhluk kuning yang mengintai mereka melompat perlahan dan perlahan.
“ha... ha... harimau” jerit mereka berdua bersamaan. Mereka berdua lari serempak terbirit-birit. Salim tak mau lagi bernasib seperti kelompoknya yang awal. Yang meninggalkannya menghilang jauh. Ia memegang tangan si nona manis itu erat-erat agar mereka berdua tidak terpisah dan si nona pun memegang tangan Salim erat-erat. Hal ini mereka lakukan secara spontan dengan reflex ketakutan. Hingga sepanjang mereka berlari tangan mereka terus berpegangan. Si harimau pun tak mau kehilangan mangsa ia berlari sekuat tenaga mengejar mereka. Dalam jarak yang bisa dibilang agak begitu jauh dari harimau, kaki nona manis itu terpeleset dan ia pun jatuh tersungkur. Namun tangannya dan tangan Salim masih tetap berpegangan erat.
“aduh” jerit nona itu pahit kesakitan.
“kau taka pa-apa?” Tanya Salim.
“pergilah! selamatkan dirimu, aku tidak akan bisa berlari kencang lagi” kata si nona jelita itu.
“tidak!” kata Salim dengan nafas yang tersengal-sengal “kau telah menyelamatkan nyawaku, bagaimana mungkin aku akan meninggalkanmu sendirian dan menjadi santapan harimau. Kita harus pergi atau mati bersama disini” lanjut Salim tegas. Mata nona itu berbinar-binar memandangi mata Salim. Lalu Salim pun mengulurkan tangannya dan disambut nona itu. Lalu dengan lembut Salim menariknya berdiri.
“aduh..” kata nona itu menahan rasa sakit dikakinya “aku tidak bisa, kau pergilah” lanjut nona itu. Salim hanya memandanginya tajam lalu membelakanginya dan berjongkok sebagai isyarat agar si nona itu naik kebelakang gendongan Salim. Si nona manis itu pun menerimanya. Kemudian Salim berlari sekuat tenaga dengan menggendong si nona kecil cantik itu.
Dibelakang si harimau pun masih tetap mengejar mereka.
“ayo lebih cepat” kata si nona. Dengan tersengal-sengal Salim menjawab nona jelita itu “aku sudah tidak kuat lagi”. Salim terjatuh dan si nona manis pun ikut terjatuh. Mereka berdua saling berpandangan seakan menyampaikan pesan “ternyata kita akan mati bersama disini”. Tapi “tidaak!!” teriak Salim dalam pikirannya. Setidaknya harus berbuat sesuatu sebelum mati pikir Salim. Salim memandangi sekitar sejenak dan cepat lalu mendapat ide :
“kita akan lawan dia?” kata Salim kepada si nona cantik itu.
“apa? Kau gila!” Tanya nona itu sambil memprotes.
“kau harus percaya” kata Salim meyakinkan “kita pasti bisa”.
“tapi ...” kata nona itu terputus.
“aku punya ide” lanjut Salim. Kemudian Salim mengambil tiga buah ranting tajam yang ia lihat tertancap dibeberapa bagian pohon yang rendah, lalu mengambil tali pramuka yang ada dalam ranselnya. Kemudian Salim mengikatkan ketiga ranting tajam itu pada bagian tengah tali yang lumayan panjang itu lalu berkata :
“kau bersembunyi di pohon sana dan aku di pohon sini. Ketika harimau itu melintasi pohon ini kita tarik tali ini kencang-kencang. Lalu harimau itu akan tertusuk ranting ini.
“tapi aku takut” kata nona anggun itu ketakutan.
“aku akan memberimu aba-aba ketika akan menariknya”.
“tapi...” kata nona itu ingin protes lagi.
“kau jangan takut kata Salim menenangkannya. Ini adalah jalan terakhir. Jika kita gagal disini, selamanya kita tidak akan pernah pulang kerumah. Kau harus percaya, kita pasti bisa”. Salim terus memandanginya dan si nona jelita itu pun terus memandangi Salim. Lagi-lagi seakan ada pesan yang ingin tersampaikan. Ingin rasanya Salim memeluk nona itu. Tapi apa mau dibuat, Salim adalah seorang santri dan Salim tahu nona manis itu tidak halal baginya.
“ayo bersiap” kata Salim “harimau itu sudah semakin dekat. Mereka berduapun mengambil posisi mereka masing-masing. Dan sang harimau pun semakin mendekat. “kesempatan terakhir” pikir Salim. Salim pun memberi aba-aba kepada nona jelita itu. “satu, dua, dan ..” tali ditarik kencang. Ketiga ranting tajam tadi terangkat dan tepat menusuk ketenggorokan si harimau. Darah terpencrat dari harimau itu. Harimau itu berlari sangat kencang sehingga tali rangkaian Salim tadi terseret beberapa meter kearah lari si harimau. Sementara Salim dan si nona langsung keluar dari tempat persembunyian mereka dan saling mendekat satu sama lain. Si nona manis itu mebalikkan tubuh dan menjatuhkan mukanya kebahu Salim sambil menangis. Karena tidak tega melihat si harimau menggelupur bersimpuh darah di lantai akibat rantai yang mereka rangkai sendiri. Dengan pelan dan ragu Salim mendekap nona cantik itu dan menenangkannya dengan menepuk-nepuk bahunya.
“sudahlah, sudah berkahir” kata Salim “dan kitalah pemenangnya” lanjutnya. Si nona pun mengangkat wajahnya dari bahu Salim dan sekali lagi si nona manis itu membalikkan tubuhnya dan memandangi si harimau itu dengan seksama. Dan Salim, ia juga mengikuti gerak si nona jelita. Dan perlahan mereka berdua mendekati harimau itu untuk memastikan apakah si harimau benar-benar sudah mati.
“kau hebat” kata si nona manis itu sambil memandangi harimau.
“bukan aku, tapi kita” balas Salim. Mereka hanya berpandangan dan berbalas-balasan senyuman. Lalu mereka berdua memandangi si harimau itu lagi. Darah harimau itu terus mengalir. Namun, ada yang aneh. Tiba-tiba si harimau itu bergerak menggelupur dengan spontan dan cepat. Mungkin itu adalah gerakan ketidak sudiannya atas kekalahan melawan anak adam. Atau mungkin juga gerak reflex untuk melampiaskan rasa sakit akibat berpisahnya ruh dan jasad. Tapi bagi Salim dan nona cantik itu, gerakan menggelupur itu diartikan mereka takut kalau harimau itu bangun lagi lalu menerkam mereka. Segera dengan cepat Salim berbalik arah dan jongkok, sebuah isyarat agar nona jelita itu menaiki pundaknya. Isyarat itu pun diterima dengan cepat oleh si nona manis. Dengan lincah dan sigap si nona manis itu langsung melompati pundak Salim. Dan Salim pun lari sekuat tenaga.

*                     *                      *
Setelah sekian lama berlari, akhirnya Salim dan si nona cantik itu pun menemukan sebuah tempat yang cukup lebar dan tertutup serta nyaman untuk sebagai tempat peristirahatan. Salim pun menurunkan nona cantik itu disitu. Nafas Salim masih tersengal-segal akibat lari panjangnya dan ia berkata :
“kau tidak apa-apa?” si nona hanya menggeleng dan memandangi Salim dengan penuh iba.
“aku takut” kata nona manis kecil itu sambil mendekatkan duduknya dengan duduk Salim. Salim hanya diam, ia ragu, tubuhnya kaku dan lidahnya terasa beku. Ingin rasanya ia merangkul nona manis itu dan menidurkannya di bahunya. Tapi lagi-lagi “ada Tuhanku” jerit batih Salim melawan semua godaan itu. Matahari sudah mulai turun kebarat. Salim sadar, ternyata ia masih belum melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.
“ya Allah, kita belum sahalat” kata Salim. Salim lalu segera mengambil posisi bertayamum. Ia menepukkan kedua telapak tangannya keatas debu dan mengusapkannya kemuka dan kedua tangannya. Sementara si nona jelita itu memandanginya dengan penuh keheranan.
“kau sedang apa?” Tanya si nona jelita.
“aku sedang bertayamum untuk shalat” jawab Salim.
“kau tidak mau bertayamum?” Tanya Salim. Si nona itu hanya tersenyum lebar kepada Salim. Salim sadar matahari sudah semakin mau terbenam. Ia tidak terlalu menghiraukan nona cantik itu. “dalam hal ini, Tuhanku lebih penting” pikirnya. Salim pun mengamati matahari untuk mengetahui arah barat. Karena kearah itu lah ia akan sujud. Ketika semuanya sudah tepat, Salim pun mulai melaksanakan shalat jamak ta’khir ashar-zhuhur. Sementara itu, si nona tak juga bertayamum. Ia hanya duduk memperhatikan Salim. Setelah Salim selesai shalat, Salim pun bertanya kepadanya :
“kau tidak shalat?” lagi-lagi si nona jelita itu hanya tersenyum lebar penuh arti. “sebenarnya sih, tidak jadi masalah bila tidak ada mukena, kau bisa shalat seperti keadaanmu sekarang karena kita dalam keadaan darurat” nasehat Salim. Tetapi, si nona manis itu sekali lagi tersenyum lebar penuh arti kepada Salim. Salim hanya memandanginya dan mencoba untuk menterjemahkan senyuman itu. Tapi tidak ada hasilnya, mungkin ia sedang kedatangan tamu bulanannya pikir Salim.
“oh ya, bagaimana kakimu?” Tanya Salim “coba kulihat”. Si nona cantik itu pun menjulurkan kakinya yang tersandung kayu besar tadi. Salim mencoba mengurutnya dan membetulkan letak uratnya. Sesekali si nona manis itu merintih kesakitan. Tapi, “tidak apa-apa, hanya keseleo sedikit, besok juga kau akan bisa berlari lagi” kata Salim. bersambung ...