Laman

Kamis, 01 November 2012

WIRA VERSUS DODI

 Assalamu’alaikum kawan-kawan …



Salam semangat!
Hmm,, udah lewat dua minggu ya? Sepertinya saya telat mosting cerita lagi nih .. maaf ya. Kali ini, saya suguhkan cerita syibeh nyata dari kehidupan beberapa orang yang jauh dari negri mereka tercinta, Indonesia. Suatu cerita yang aku sendiri merasa jijik menceritakannya. Kau tahu kenapa? Karena aku tidak suka orang-orang seperti mereka. Ingin tahu selayak apa mereka untuk tidak disukai? Ikuti ceritaku berikut ini.

Disini, banyak orang Indonesia yang mempertaruhkan waktunya. Demi hidup, demi masa depan (kata mereka), demi orang-orang yang sudah banyak berkorban untuk mereka. Aku ingin geram menggenggam mereka semua. Lalu memilah mereka satu demi satu dengan jariku, untuk kujadikan bonekaku. Lalu kupinjam dua orang, yah, dua orang saja, untuk bermain dalam ceritaku.

Sebut saja namanya Dodi dan satu lagi Wira. Sebagai hamba Tuhan, mereka terlahir sama, tapi sebagai manusia, mereka terlahir begitu berbeda.

Dua tahun lalu, nama mereka sama-sama dimuat dalam website resmi Al-Ahgaff sebagai calon mahasiswa yang berhasil menyabet beasiswa untuk studi s1 dalam fakultas Syariah wal Qonun di Yaman. Dodi berangkat dengan segala sesatu yang sangat lancar dan super mudah. Mungkin karena Dodi anak seorang terpandang di negri Indonesia itu. Sedangkan Wira, nyaris saja tidak jadi berangkat. Banyak kendala, terutama dalam hal biaya. Kabarnya, ayah Wira menjual satu-satunya sawah warisan kakek Wira untuk biaya keberangkatan Wira.

Cerita punya cerita, akhirnya Dodi dan Wira pun berhasil mendarat di negri seribu para wali alias Tarim dan belajar di fakultas Syariah wal Qonun di Univeritas Al-Ahgaff Yaman. Kau anggap saja Ahgaff itu seperti perangkap tikus yang selalu menganga untuk menggampit mangsanya. Karena peraturannya yang begitu ketat dan mengerikan. Salah sedikit, maka tiket bicara dan kau harus pulang ke Indoensia tanpa mendapatkan apa-apa. Itu bagi Wira. Karena ujiannya yang semakin hari semakin sulit, semakin kau lulus maka ujian yang lebih ‘sangar’ menantimu. Itu bagi Wira. Karena agar air mata yang terjatuh saat kepergianmu itu tidak terbuang sia-sia. Itu bagi Wira. Agar tadahan tangan ibumu yang setiap malam meminta untukmu ada hasilnya. Itu bagi Wira. Agar sepetak sawah yang dijual dulu terbayar dengan kebanggaan yang kau berikan. Itu bagi juga Wira.

Tidak bagi Dodi. Dodi terlahir sebagai seorang bermultitanlenta. Tampan, suaranya bagus, otaknya sangat cerdas, elokuen, disenangi banyak orang, anak seorang kyai besar, dan pastinya anak orang kaya. Sekali baca saja Dodi sudah langsung paham dan bisa menjabarkannya seolah orang yang sudah bertahun-tahun mendalami disiplin ilmu itu. Dua kali baca, Dodi langsung hafal dan bisa mengulangnya dengan sangat lancar tanpa salah diluar kepala.  Dengan elokuensinya, Dodi banyak disenangi oleh teman-temannya juga para dosen-dosennya, Dodi berhasil mencuri hati mereka semua. Hal itu pun membuat Dodi tampak lebih santai dari pada mahasiswa-mahasiswa yang lain. Ia hanya belajar pada malam ujian, itu pun hanya sebentar, selebihnya ia pakai untuk main game dari laptopnya. Ketika jadwal setoran qur’an dipajang, Dodi hanya perlu menyiapkan diri dua hari, tidak seperti mahasiswa lainnya yang langsung gemetaran ketika melihat nama mereka terpampang dikolom pengumuman itu.

Sementara Wira, ia tidak seberuntung Dodi. Lahir dari kerluarga yang sederhana, gagap, pas-pasan, membuat sosok Wira lebih pendiam dan jarang bergaul dengan teman-temannya. Setiap menjelang petang, Wira selalu mendayung sepedanya untuk nyepi ke masjid-masjid sekitar Tarim untuk muroja’ah pelajaran yang bagi sebagian orang sangat mudah dipahami. Setiap kali malam semakin melarut, Wira masih terbangun dengan menggenggam mushaf kecilnya. Menghafal huruf demi huruf dari mushaf itu, berjam-jam yang bagi sebagian orang cukup hanya setengah jam. Pada saat semua orang sibuk dengan kegiatan-kegiatan social kemahasiswaan mereka, Wira hanya ditakdirkan menjadi penikmat kegiatan itu. Dengan matanya yang berkaca-kaca ia mengagumi mereka yang bagi sebagian orang sangat mudah sekali untuk dikagumi.

Sudah tiga tahun wira belajar di universitas ini. Dan selama itu pula, setiap kali ujian, Wira tidak pernah merasa mulus. Ada saja mata kuliah yang tidak bisa Wira lewati meski ia sudah berusaha sekuat yang ia bisa. Tapi Alhamdulillah, setiap kali ujian ulang, Wira masih diberi kesempatan untuk lulus. Kecuali tahun lalu, Wira tersangkut disalah satu matakuliah yang membuat Wira harus mengulang satu tahun. Tahun ini, Wira kembali masuk kuliah dan ujian sudah didepan mata. Ia semakin sering nyepi dan berputar-putar dimasjid untuk menghafal materi kuliah. Sesekali ia memukul jidatnya yang enggan menerima apa yang tertuang dalam kitab itu.

Ujian pun digelar. Aku semakin tidak pernah melihat Wira bicara sepatah kata pun. Apa lagi terlihat nyantai di bagalah alias warung hanya untuk sekedar menyeruput syahi atau teh. Ia semakin keras belajar. Karena, jika ia gagal diujian kali ini, maka ia terpaksa harus dipulangkan ke negaranya, Indonesia. Aku sempat kasihan melihat Wira. Aku harus bilang apa? Wira yang menyedihkan? Wira yang terzholimi oleh takdir? Wira yang bodoh? Wira yang tak tahu diri? Tidak! Kau tahu siapa sesungguhnya Wira?

Ujian pun berakhir. Dua minggu lagi pengumuman hasil ujian akan dipajang. Selama itu pula, Wira tak henti-hentinya ziarah ke Zanbal untuk mencari berkah dari setiap jawaban-jawaban yang ia goreskan dilembaran yang memuakkan itu. Hingga akhirnya, waktu pengumuman hasil ujian pun tiba.

Kabarnya, hari ini hasil ujian akan dipajang. Tapi dari pagi kenapa tidak ada juga yang baru di madding kuliah. Hampir tiga puluh kali Wira bolak-balik mengecek madding kuliah, tapi hasilnya nihil. Hingga pada saat jam makan siang, ketika semua mahasiswa turun ke dapur, berita pun tersebar dengan sangat cepat.

“pengumuman sudah di pajang!”. Jerit orang disana-sini.

Wira langsung lari dengan semangatnya. Sedangkan Dodi enggan untuk menyingkirkan stick gamenya. Tapi jam makan siang, semua orang pasti turun ke dapur dan harus melewati gedung kuliah karena dapur berada disamping gedung kuliah. Dari kejauhan ada Dodi yang memelankan jalannya mengamati orang-orang yang berdesakan memadati madding kuliah itu. Dan disisi yang lain, ada Wira yang berhimpit-himpitan dibawah madding kuliah. Dan, tak berapa lama kemudian. Wira keluar dari desakan bahu mahasiswa yang lain dengan menjerit dan menangis. Wira memeluk teman-temannya seraya berteriak :

“aku luluussss”.

Lalu ia menyungkur mencium tanah, sujud syukur keharibaan Tuhannya.
Sontak saja Dodi terbelalak keheranan melihat tingkah Wira yang seolah berlebihan. Ya, mungkin berlebihan bagimu Dodi, tidak bagi sahabatku Wira. Setelah kuteliti, ternyata dari tujuh mata kuliah dalam semester ini, Wira medapatkan nilai ‘dal’ di enam mata kuliah dan ‘jim’ di satu matakuliah. Sedangkan Dodi mendapatkan nilai ‘alif’ di enam mata kuliah dan ‘ba’ di satu mata kuliah. Disaat orang-orang berusaha mati-matian untuk keluar dari nilai ‘ha’ yang berarti rasib alias tidak lulus, Dodi dengan perjuangan tak mati-matiannya berusaha mendapatkan nilai ‘alif’. Aku ingin bilang ini tidak adil!. Tapi, suatu pertanyaan besar menghantuiku. Kenapa aku harus bilang tidak adil?

Wira, jika waktu itu matamu berkaca-kaca mengagumi orang-orang pelakon kegiatan social itu, orang-orang yang elokuen itu, maka janganlah berkecil hati. Ada aku, sahabatmu disini yang bulu tubuhnya berdiri mengagumimu. Kau tahu, sesungguhnya kau lah orang cerdas itu. Kaulah orang yang berhasil itu. Kaulah orang yang selama ini kucari untuk kukagumi itu. Dan sebaliknya,  Dodi, aku bilang, sesungguhnya kaulah orang terbodoh didunia. Kaulah pecundang itu. Kaulah orang yang tidak pantas bahkan hanya untuk disenyumi. Dodi, aku membenci orang sepertimu.

Kawan, sudah menjadi hukum alam jika setiap manusia terlahir berbeda dari manusia yang lain. Ada yang terlahir tanpa talenta seperti Wira dan ada pula yang terlahir dengan multitalenta seperti Dodi. Namun keistimewaan tidak terletak pada talenta itu. Melainkan pada manusia itu sendiri. Aku menyebutnya ‘semangat’, terletak pada semangat manusia itu sendiri. Seperti halnya Wira, yang berhasil membawa dirinya pada suatu titik, dimana ia harus gagal pada titik itu. Tapi ia tetap semangat dan berusaha, hingga ia berhasil keluar dari kegagalannya. Dan berhasil melakukan hal lebih dalam hidupnya.

Dan seperti halnya Dodi, yang bermultitalenta namun menyia-nyiakannya begitu saja. Kurasa tidak keliru jika kubilang orang semacam Dodilah orang yang bodoh. Seharusnya dengan segala yang Dodi miliki, ia bisa menarik dirinya kesuatu titik, dimana ia harus gagal pada titik itu, lalu ia berusaha lebih. Meski pada titik itu akhirnya ia gagal, setidaknya ia telah melakukan banyak hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Setidaknya ia telah melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan kebanyakan orang lain. Ketika ia ditakdirkan untuk berbeda dari kebanyaan orang, kenapa ia harus membawa dirinya sama dengan orang-orang dibawahmu? Kau bisa berbuat lebih Dodi. Tapi sayang, kau bodoh!

Maaf,
Jika aku benci menyebutnya sebagai takdir yang malang
Atau aku tidak suka mendengar mereka berkata takdir yang garang
Terkadang, melawan takdir itu merupakan keniscayaan
Karena hokum alam sudah memutuskan
Kitalah manusia!
Dustai takdirmu sebisamu
Jika hal itu harus kau lakukan
Tapi jangan lupa,
Kelak,
Jika kau berhasil
Dan takdir itu menajdi usang
Katakan maaf padanya.

Tareem, 31 Oktober 2012, dini hari.
Abu Dohak.

Senin, 29 Oktober 2012

IDUL ADHA DI MUKALLA

Assalamu'alaikum ...
Salam lebaran bagi sahabat semua.
Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar, la ilaaha illa allahu allahu akbar, allahu akbar walillahil hamd.
Gema yang tak setiap hari bisa kudengar. Tapi rasanya biasa saja. Benarkah?
07 dzulhijjah 1433 bertepatan dengan 23 Oktober 2012 pukul 08.12 sekitar 13 orang kami berangkat ke Mukalla, ibu kota provinsi Hadramaut, Yaman. Perjalanan kali ini, boleh dikatakan hanya untuk sekedar ziarah atau, hanya untuk membuka kembali memorabilia beberapa tahun silam. Karena dulu, aku pernah menetap selama satu tahun dikota madaniyah ini.
Ini pertama kalinya aku ke Mukalla semenjak perpindahanku ke Tarim tiga tahun lalu. Hmm, badai rindu ini membuat senyumku tak mengendur disepanjang perjalanan menuju Mukalla, yang ditempuh selama plus minus 6 jam.  Aku yang duduk disamping pak sopir tak memperdulikan ocehan dan gelegar tawa teman-temanku dibelakang, jalanku menemukanmu, Mukalla! Tapi sayang, untuk menekan waktu perjalanan pak sopir mengambil jalan pintas yang tidak sepenuhnya mulus. Akibatnya,  darat seolah perjalan laut yang membelah omabk-ombak raksasa yang membuat sebagian penumpang dalam mini bus itu mabuk dan muntah-muntah sepanjang perjalanan. “perut saya kosong ini. semua yang saya makan tadi pagi itu, saya muntahkan semuanya, saya minum air satu gelas, keluarnya juga satu gelas, saya minum lagi, keluar lagi, agghhhh”. Kira-kira begitu cetus kesalnya bicara pada kami. Untung saja aku duduk paling depan.
08 Dzulhijjah 1433. Kami sudah buat janji untuk ziarah ke kediaman Habib Abdullah Muhammad Baharun, Rektor Jami’ah Al-ahgaff. Pilihan waktu pun jatuh pada ba’da maghrib. Kami sendiri bergegas ke rumah Habib pukul setengah lima sore. Agar shalat maghrib bisa jamaah dengan Habib. Sebelumnya, kami empat orang sudah bermusyawarah terlebih dahulu mengenai hal penting apa yang akan kami bicarakan nanti pada Habib. Satu hingga tiga tema menarik sudah kami persiapkan dan kami pun berangkat dengan semangat yang berkobar-kobar, termasuk aku, karena aku sendiri mempunyai hal pribadi yang ingin kusampaikan kepada Habib.
Sesampainya di rumah Habib, kami pun langsung menuju masjid yang baru siap dibangun. Ada Khudori murid Habib yang sedang duduk sendirian didalam masjid. Cerita punya cerita dan ramah punya tamah dengan khudori, kami pun sampai dipenghujung puasa. Sayangnya, kami lupa membawa makanan pembatal untuk puasa kami.  Aku dan dua orang teman pun berinisiatif untuk membeli iftar ke baqalah (warung). Tapi sayang, baqalahnya begitu jauh dan kami harus menempuhnya dengan jalan kaki. Walhasil, belum sampai baqalah adzan mahgrib sudah terdengar. Sampai baqalah, baqalah pun tutup. Akhirnya kami memutuskan untuk shalat mahgrib di mushalla mahattah alias pom bensin di dekat baqalah. Akhirnya, shalat maghrib dibelakang Habib pun gagal.
Setelah dapat beberapa makanan, kami pun kembali ke kediaman Habib. Dan lagi-lagi harus dengan jalan kaki selama 15 menit. Sesampainya di rumah Habib, kami pun ingin memanggil teman-teman yang lain untuk membatalkan puasa mereka. Tapi, tampaknya ada yang beda di Masjid. Ya, ada Habib Abdullah ditengah-tengah mereka. Aku pun memanggil kedua orang temanku untuk bergabung bersama teman-teman yang lain dimasjid. Dan, lagi-lagi kami terlambat. Kami datang disaat-saat terakhir Habib akan meninggalkan masjid. Akhirnya, hal pribadi yang ingin kusampaikan pada Habib pun batal. Tapi untungnya, masih ada yang tersisa pada petemuan malam itu. Sebuah cepretan yang nantinya akan menjadi memorabilia nyata yang tak terluapakan.

10 Dzulhijjah 1433. Aku shalat ied di masjid Siddieq. Hampir saja aku tidak shalat karena begitu beratnya mata ini terbuka alias ngantuk. Tapi ini hanya sekali dalam setahun dan mungkin ini yang terkahir di Mukalla. Aku harus memaksakan diriku. Aku pun melangkah ke masjid tanpa mandi, tapi gosok gigi, bahkan tanpa cuci muka. Jorok ya. Hihihi.
Selesai shalat, eh, ada Habib Abdullah yang ternyata shalat di masjid yang sama denganku. Langsung saja aku mendatangi beliau dan menyalami beliau. Tapi kali ini tidak bisa berfose lagi apa lagi menyampaikan pesan pribadi. Setelah aku menyalami beliau, desak-desakan mulai tak terhindari untuk hanya sekedar bermusofahah dengan Habib Abdullah. Aku pun bermusofahah dengan para teman dan astidzah hingga cepretan berikutnya menjadi saksi idul adhaku di Mukalla.

Tidak sampai disitu, ada satu agenda yang sempat membuat pusing kepalaku selama di Mukalla. Lalu sore ied, agenda itu pun terlaksana dengan lancar, Alhamdulillah. Yaitu sosialisasi organisasi Sumatra atau OPISI. Sekitar 25 anak Sumatra beriringan menuju laut Mukalla lengkap dengan segala perbekalan mereka. Awalnya, kami ingin mensosialisasikan organisasi ini kepada anak-anak baru di Mukalla, setelah itu main bola lalu asya bersama. Tapi, ketika menatap laut, hasrat itu tak terbendung lagi. Kami meninggalkan agenda lalu terjun kelapangan pasir bermain bola.
Kemudian, adzan pun terdengar, kami terpaksa menghentikan permainan yang kacau-kacauan. Lalu shalat dengan pakaian dan keadaan seadanya. Aku sendiri adzan dipinggir pantai yang luas, dibawah teja yang semakin memudar. Lalu shalat dengan sarung yang berlumuran pasir. Seusai shalat, gema takbir dengan liriknya yang indah bergaya keindonesiaan berosrak lantang dari kerikil-kerikil asal Sumatra ini. Damai rasanya. 
Setelah itu, hari menggelap dan kami harus tetap melangsungkan acara sosialisasi itu. Kami pun bergeser mencari tempat yang sedikit lebih terang. Akhirnya pilihan pun jatuh di bawah lampu jalan tepat dipinggir jalan raya di dekat laut. Acara berlansung biasa. Tapi yang menjadi catatan tersindiri bagiku dalam acara ini adalah, dipinggir jalan raya didekat laut yang menjadi tempat tongkrongan banyak orang berpaham wahabi yang menganggap maulid itu adalah bid’ah dan haram, malah kami membaca dengan lantang dan keras maulid Nabi saw. Seribu mata tak terhindarkan menyeringai kami ketika kami berdiri dan mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam.  

Idul Adha yang menyenangkan. Entah kapan ied seperti ini akan kembali. Ied yang penuh dengan tawa, kocak, sial, tapi menyenangkan wallah, dan, aku yakin, insya Allah barakah.

Mukalla, 11 Dzulhijjah 1433 H.
ABU DOHAK.

Rabu, 10 Oktober 2012

GADIS TERCANTIK SEJAGAD RAYA





Alkisah. Ada seorang anak manusia bernama Abu yang sedang jatuh cinta. Ia jatuh cinta pada seorang gadis yang sangat cantik jelita. Sekali pandang saja, semua orang akan jatuh cinta pada gadis itu. Gadis pujaan para anak adam se jagad raya ini. Gadis itu sangat sempurna, memiliki apa saja yang disukai anak manusia.

Matanya bulat yang indah. Bibirnya yang tipis dan manis. Hidungnya yang mancung, paras mukanya yang elok, ketika ia bicara maka suaranya akan memukul-mukul hati setiap orang yang mendengarnya. Ketika ia berjalan, langkah kakinya dan ayunan tubuhnya, subhanallah, sangat sempurna.

Singkat cerita, si Abu ini pun galau dibuatnya. Pokoknya harus bisa mendapatkannya! Harga mati yang tak bisa ditawar lagi dengan apapun dalam hidup si Abu. Suatu ketika, datanglah si Abu menghadap ayahnya.

“ayah, anakmu ini sudah cukup dewasa dan sudah waktunya untuk menikah”. Kata si Abu.
“oya”. Jawab si Ayah senang. “apa kau sudah menemukan gadis idamanmu, wahai anakku?”
“sudah ayah!”.
“seperti apa orangnya?”.
“dia wanita tercantik se jagad raya ini, ayah”.
Sang ayah pun penasaran dan meminta untuk dikenalkan kepada calon minantunya itu.

Keesokan harinya, si Abu pun membawa sang ayah untuk menemui belahan jiwanya itu. Tak disangka, ketika sang ayah melihat gadis itu, sang ayah pun terdiam tanpa bisa berkata apa-apa. Kemudian sang ayah menyeret putranya pergi.

“tidak bisa! Kau tidak bisa menikah dengan gadis seperti itu, anakku. Gagis itu tidak cocok untukmu. Gadis itu hanya cocok untuk seseorang yang sudah banyak memakan garam kehidupan seperti ayahmu ini”.
“tidak ayah, tidak! Aku cocok dengannya, aku hanya ingin menikah dengannya!”.

Si Abu dan ayahnya pun bertengkar hingga mereka pergi kekantor polisi untuk memutuskan siapa yang berhak menikahi gadis itu. Setelah menceritakan kronologis peristiwa sesungguhnya si polisi pun berkata :

“baiklah, sekarang tunjukkan kepadaku wanita itu agar aku bisa memutuskan perkara diantara kalian ini!”.

Mereka pun membawa si polisi menemui gadis itu. Namun, ketika si polisi melihatnya, sekujur tubuhnya gemetar, matanya nyaris tak berkedip. Lalu ia membawa sang anak dan ayah kembali ke kantor polisi.

“begini, aku minta maaf, tak satu pun dari kalian yang bisa menikah dengan gadis itu. Gadis itu tidak cocok untuk kalian. Gadis itu lebih cocok untuk seseorang yang lebih berpengalaman dalam urusan criminal social seperti saya ini”. Kata pak polisi.

Si Abu dan ayahnya pun tak setuju. Mereka tetap ngotot untuk menikahi gadis itu begitu juga dengan pak polisi. Mereka pun bertengkar. Akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk pergi kepengadilan agar hakim bisa memutuskan perkara mereka.

Mereka pun mengadu kepada sang hakim tentang sang gadis yang membuat mereka bertiga bertengkar. Setelah mendalami perkaranya dengan seksama, sang hakim pun meminta mereka bertiga untuk mendatangkan sang gadis. Keesokan harinya, sidang pun dimulai dengan menghadirkan biang kerok masalah. Begitu palu diketuk dan si gadis jelita masuk. Sontak nuansa pengadilan senyap sepi. Mata sang hakim melebar menuju ke gadis jelita itu. Dan sidang pun dihentikan.

sang hakim pun berkata :
“sudahlah, jangan bertengkar lagi. Sudah kuputaskan perkara ini, bahwa tak satu pun dari kalian yang pantas menikahi gadis ini. Gadis ini tidak cocok untuk kalian. Gadis ini hanya cocok untuk seseorang yang bijaksana seperti saya ini”.

Walhasil mereka berempat pun bertengkar merebutkan si gadis itu. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke seorang mentri untuk memutuskan perkara mereka. Mereka pun menjelaskan perkara yang sebetulnya kepada sang mentri. Lagi-lagi si mentri minta di pertemukan dengan gadis itu agar bisa memutuskan perkara dengan jelas. Dan, ketika si mentri bertemu, seolah waktu berhenti disitu. Semuanya senyap memukau si gadis jelita.

Si menteri pun berkata :
“wanita ini hanya cocok untuk orang besar seperti saya ini, tidak untuk kalian!”.
Akhirnya mereka berlima bertengkar hebat. Jalan satu-satunya adalah mereka mengadu kepada presiden agar mengeluarkan keputusan untuk perkara mereka. Mereka pun mengadu dan menjelaskan perkara sejelas-jelasnya kepada bapak presiden. Pak presiden pun meminta hal yang sama. Karena tidak mungkin memutuskan perkara tanpa melihat asal muasal perkara.

Akhirnya dengan berat hati mereka pun mempertemukan gadis itu dengan pak presiden. Setelah melihat gadis itu, pak presiden pun membuat keputusan resminya.

“bahwa tak satu orang pun yang pantas menikahi gadis itu kecuali orang yang memiliki kekuasaan seperti dirinya”.

Akhirnya mereka pun bertengkar demi memiliki si gadis nan cantik jelita itu. Hingga si gadis itu pun angkat bicara.

“baiklah, aku yang memutuskan siapa diantara kalian yang pantas untuk menikah denganku. Aku akan melompat tinggi dan kalian pun ikut melompat bersamaku. Barang siapa yang bisa menangkapku maka dialah yang berhak menikah denganku!”.

Si gadis jelita itu pun melompat tinggi sekali bersamaan dengan keenam pria yang memperebutkannya. Namun keenam pria itu tidak melompat setinggi sang gadis karena mereka harus bersiap-siap untuk menangkap sang gadis. Tapi, ketika keenam pria itu akan menjejak bumi, tiba-tiba saja bumi terbuka dan menangkap keenam pria itu. Akhirnya, keenam pria itu
pun kini mendekam dalam kuburan mereka tanpa ada yang berhasil memiliki si gadis jelita.

Melihat kejadian itu, sang gadis pun berkata :
“kalian tahu siapa aku? Aku indah, aku menawan, aku menggiurkan, aku manis, aku sempruna. Akulah dunia! Semua orang terpana olehku dan ingin memilikiku. Tapi sampai mereka mati, mereka takkan pernah bisa memilikiku. hahahaha”.


Dunia itu sangat fana Abu, sadarlah!



Tareem, 10 Nov 2012
Abu Dohak.



Sabtu, 29 September 2012

SI ‘BENANG MERAH’





Salam cantik untuk seluruh sahabat.
Sebuah kisah yang membuatku tak berhenti merenung. Memikirkan dan mencoba untuk benar-benar menjawabnya. Tapi hanya Tuhan yang tahu ketidak atau benarannya. Semuanya misteri. Ya, misteri. Tapi karena misteri itulah hidup ini terasa menarik untuk dijalani. Ikuti ceritaku berikut ini!

Kata mereka aku tidak punya keluarga. Salah! Mereka salah. Aku memiliki Dani yang semenjak kecil sudah bersamaku. Dani dua tahun lebih tua dariku. Dani sudah kuanggap sebagai keluargaku satu-satunya, Karena kami sama-sama tidak mempunyai orang tua. Aku dan Dani sering kemana-mana bersama, melakukan banyak hal bersama, serta mengukir mimpi bersama.

Kami dibesarkan disebuah panti asuhan di Jakarta. Hidup di tengah-tengah hiruk-pikuk ibu kota membuat kami ingin merasakan banyak hal. Ingin menjadi kami yang menggenggam hidup kami seutuhnya. Tanpa harus terpenjara dalam gerbong ekonomi panti asuhan. Tapi tidak bisa, untuk sementara tidak bisa. Karena kami belum memiliki umur yang seimbang untuk menaklukkan dunia. Yang bisa kami lakukan sekarang hanya satu, bermimpi.

Hari pun berlalu. Dan seiring dengan berkurangnya waktu, akhirnya aku dan Dani pun diperbolehkan meninggalkan panti. Tapi aku, aku bersikeras untuk melanjutkan studiku. Sementara Dani tetap dengan pendiriannya untuk membuka usaha, meski kecil-kecilan. Ini pertama kalinya aku dan Dani tak sepaham. Disini pertama kalinya aku dan Dani bertengkar. Ini pertama kalinya aku dan Dani memiliki mimpi masing-masing.

Aku pun berjalan dengan langkahku dan Dani berjalan dengan langkahnya. Aku dapat beasiswa disalah satu universitas ternama di Jakarta dan Dani mulai merintis usahanya. Hubungan kami pun mulai merenggang. Tapi hanya untuk sementara. Di tahun kedua masa perkuliahanku, aku terancam di keluarkan karena prestasiku menurun akibatnya beasiswaku dicabut dan aku tidak memiliki cukup uang untuk membayar semua keperluan kuliah.

Suatu malam, aku pun mengadukan perihalku ini kepada Dani. Dani yang sudah menganggapku seperti adiknya sendiri pun iba kepadaku. Namun tak lantas ia memberiku uang lalu aku dengan santai melanjutkan kuliahku, tidak. Bukan seorang Dani seperti itu. Dani tipe orang yang ulet dan berprinsip. Termasuk berdiri diatas kedua kaki sendiri adalah prinsip Dani yang paling mendasar. Dan ia ingin menanamkan prinsip itu di jiwaku.

Aku pun disuruh Dani agar pintar membagi wakut dan  ikut berkerja bersamanya agar mendapatkan cukup uang untuk membiayai kuliahku. Aku menjalaninya dengan senang hati. Dan toh, mungkin ini kesempatan bagi kami untuk memperbaiki diri seperti dulu lagi yang melakukan segalanya bersama-sama.
Sebulan, dua bulan dan satu semester berlalu. Aku menjadi mahasiswa terkaya di kuliah. Usaha yang kujalankan bersama Dani meraup untung tak tanggung-tanggung banyaknya. Aku pun bisa membeli mobil dan membawanya dengan gaya ke kuliah. Hingga aku lulus sarjana aku masih bekerja bersama Dani.

Seteah resmi menyabet predikat sarjana, jiwa akademisku tak lantas luntur. Semangat yang menggebu semakin menguat dan mengharuskanku untuk melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi. Aku dan Dani mulai bertengkar lagi. Pasalnya kami baru saja menyepakati rencana bisnis yang super besar dan sepertinya akan terkendala dengan kuliahnya aku kembali distrata yang lebih tinggi. Aku pun berusaha meyakinkan Dani bahwa pendidikan itu jauh lebih penting dari pada uang. Tapi Dani tak mau setuju. Baginya, uang adalah benang merah hidupnya.

Aku pun melanjutkan S2ku dan rencana bisnis super besar itu terpaksa dilakukan Dani seorang diri. Tapi meski begitu, aku masih membantu Dani dibeberapa perusahaannya yang tak sedikit meraup untung. Dua tahun berlalu, aku lulus S2 dan tak kusangka, Dani sukses dengan rencana bisnis raksasa itu dan ia termasuk 50 orang terkaya se Indoensia.

Cerdas dan berpendidikan tinggi aku pun diminta Dani untuk mengisi jabatan penting diperusahaannya. Aku menerimanya meski tak lama kemudian kami juga bertengkar kembali. Pasalnya karena semangat akademisku yang tak bisa kuhilangkan. Bulan depan aku resmi dinobatkan sebagai kandidat doctor. Kerjaanku di kantor pun amburadul dan minta cuti beberapa waktu yang cukup lama pada Dani dan ia pun mengamininya.

Sebelum aku resmi menjadi doctor, Dani menikah dengan seorang wanita yang sangat sederhana. Perkenalan Dani dengan wanita itu membuat sosok Dani menjadi lebih sederhana. Ia sama sekali tak tampak sebagai pengusaha kaya yang sukses. Melainkan hanya seorang biasa yang bukan siapa-siapa. Ia lebih banyak bersedekah dan membantu kegiatan-kegiatan social yang positif dan membangun. Tapi bersamaan dengan itu, justru usaha Dani semakin maju pesat. Omzetnya bisa melonjak hingga 7 kali lipat.

Aku lulus, dan Dani masih memberikanku jabatan strategis dikantornya. Tapi kali ini, aku menolaknya. Semangat akademisku membawaku untuk tetap berada dilingkungan kampus. Aku pun lebih memilih menjadi dosen yang setiap hari bisa bertemu dengan mahasiswaku membicarakan hal-hal ilmiah. Itu membuatku sangat senang dan sungguh tak terbayarkan dengan uang. Meski aku menerima gaji seadanya dan jauh tak sebanding dengan pendapatanku dikantor Dani.
Terakhir aku resmi dinobatkan menjadi seorang professor, gelar tertinggi dibidang akademi. Dan aku berhasil. Disamping Dani juga yang berhasil masuk dalam 10 orang terkaya di Indonesia. Dani urutan ketujuh dengan kekayaan sejumlah 27 trilyun rupiah.

Sejenak aku merenung tentang hidupku dan hidup Dani.  Aku punya mobil bagus dan rumah bagus, bagus untuk orang sekelasku. Dani juga punya mobil bagus dan rumah bagus untuk orang sekelas Dani. Tapi tak jarang aku mengunakan jasa angkutan umum bila berpergian, Dani juga sama. Dani kaya, ia bisa beribadah dengan hartanya. Aku juga sama, meski tidak dengan uang, aku bisa beribadah dengan ilmuku. Dani tertawa aku juga tertawa. Saat Dani jatuh, ia pasti sedih dan aku juga pasti seperti itu. Nanti Dani akan mati dan meninggalkan uang trilyunannya itu, aku juga sama, nanti akan mati dan meninggalkan ilmu dan gelarku itu. Lantas apa?

Terakhir aku tahu jawabannya. Hidup. Hidup adalah kata kuncinya. Setiap orang memiliki hidupnya masing-masing. Terserah mau diapakan atau dibawa kemana hidupnya. Tapi tak boleh kau berhenti disembarang tempat dalam hidupmu. Dengan beriringnya waktu, kau juga harus menjalankan hidupmu, setidaknya seperti air sungai yang pelan namun tak pernah berhenti bergerak. Dan terserah, mau didermaga mana kau berlabuh. Karena sesungguhnya hakikat dari kehidupan ini hanyalah satu, yaitu kepuasan bathin. Tak ada yang lebih hebat dari sebuah kepuasan bathin. Uang, tahta, wanita, takkan berarti apa-apa jika bathinmu tersisksa. Dan bahkan, mimpi yang selalu kau ukir, cita-cita yang selalu kau rajut adalah buah dari keinginan bathinmu. Tapi jangan lupa, kau harus mengawinkan bathinmu itu dengan sejuta kebaikan karena setelah kehidupan ini, ada kehidupan lagi yang amat indah.

Maha suci Allah yang telah menjadikan manusia bermacam dan beraneka ragam. Ada si kaya, si miskin, si pemimpin, si dokter, si guru, si tukang sapu, si tukang cerita (hehe), dan subhanah yang telah meletakkan kepuasan bathin bagi mereka terhadap hakikat kesiapaan mereka.







Tareem, 29 september 2012, 00:15.
Abu Dohak.

Sebuah cerita yang terbuka dari hasil pengaduanku kepada seorang teman di sutuh sakan dakhili. Pada suatu malam yang tenang, kami menikmati bintang yang bergelimpangan tanpa tertutupi setitik awan. Lalu seekor burung melintas. Aku Tanya “kang, sampeyan lebih suka mana jadi bintang itu atau jadi burung itu?”. Dan sekarang aku bilang “kang, aku tidak ingin sampeyan pulang ke Indonesia secepat ini”. Semoga Allah meringankan bebanmu, kawan.

Senin, 13 Agustus 2012

HIKMAH DALAM RAMADHAN



Irul, begitu aku disapa. Baru saja berhasil menyabet gelar sarjana hukum Islam salah satu perguruan tinggi Islam di Medan. Di kampung, aku sangat dihormati dan disegani oleh warga sekitar, bahkan masyarakat kota tempatku berdomisili banyak yang mengenalku karena aku menduduki jabatan penting dibeberapa organisasi kepemudaan setempat. Sekilas, aku tampak sangat beruntung. Tapi tunggu dulu, cerita baru saja akan dimulai.

Meski gelar S.HI sudah resmi dinobatkan kepada namaku, tidak serta-merta seorang ‘aku’ menjadi seperti layaknya seorang sarjana, apalagi dalam bidang keislaman. Aku tetap adalah aku yang dulu, seperti layaknya mahasiswa bandel pada khususnya. Bahkan lebih parah dari aku dulu yang seorang mahasiswa. Pulang tidak pernah sebelum jam dua malam, sesekali jika ada kesempatan aku meneguk minuman haram, wanitaku banyak, kupakai dan kubuang sesuka hatiku. Astaghfirullah ….

Tapi hanya satu dua orang saja yang tahu akan hal itu. Dimata masyarakat umum aku adalah orang yang baik dan sholeh. Aku selalu menjaga imejku dihadapan khalayak ramai. Mungkin, akulah orang yang disebut munafik atau lebih tepat lagi ‘pakai topeng’. Namun yang paling mengenaskan adalah ketika aku menjadikan agama sebagai topengku, sebagai tameng untuk membersihkan namaku atas maksiat-maksiat yang terus membabi buta kulakukan. Inginku berubah dan meninggalkan segala kemunafikan ini. Tapi aku terlanjur terlena dengan kenikmatan fana ala syetan.
Yang paling membuatku heran adalah kenapa sampai sekarang Allah masih menutupi aibku? Tidakkah Allah murka atas apa yang telah kuperbuat selama ini? Aku telah mempermainkan asma dan agama-Nya. Aku telah membodohi ummat-Nya. Tidakkah Allah pantas marah atas kerajaan maksiat yang terlanjur megah dalam nafsuku ini? Kenapa begitu mudah
aku mendapatkan penghargaan dan nama dari masyarakat?

Hingga pada bulan ramadhan tahun lalu, aku ditugaskan mengisi ceramah agama dibeberapa masjid dan mushalla. Tak sedikit para jamaah yang mengagumi dan memujiku sebagai seorang da’i dan ustadz muda yang berbakat. Padahal aku bicara super ngawur ketika menyampaikan ceramah agama. Apa semua ini Allah? Maka kutariklah kesimpulan, sesungguhnya Allah sangat menyayangiku.

Ya, Allah memang terlanjur menyayangiku. Seminggu sebelum ramadhan ayahku pensiun dari seorang guru. Kupikir tak apa, meski gaji pensiunannya tidak seberapa, toh, ayahku masih mempunyai delapan hektar sawit yang cukup untuk membiayai seorang adikku yang masih kuliah dan empat orang lagi yang masih sekolah.

Tapi Allah berkehendak lain, sehari sebelum ramadhan tiba, delapan hektar sawit milik ayahku itu ludas dilahap si jago merah. Mendengarnya, ayahku  syok hebat dan tiba-tiba saja jatuh pingsan. Dokter bilang, ayahku terkena serangan jantung dan harus segera dioperasi jika tidak nyawanya tidak akan tertolong. Mengetahui berita segenting itu aku sebagai putra sulungnya pun harus mengambil peran penting. Demi nyawa ayahku, kami harus menjual segala aset yang kami miliki. Sepeda motor, perhiasan, termasuk juga tanah kosong bekas sawit seluas delapan hektar itu yang harganya anjlok drsatis dan bahkan tidak sebanding dengan harga setengah hektar sawit.

Ayahku pun berhasil dioperasi dengan selamat. Seminggu kemudian, dokter sudah membelohkannya pulang dan dirawat dirumah meski minimal dua minggu sekali kami diwajibkan kontrol ke rumah sakit. Tapi, tak sampai dua minggu, mengetahui kabar tanahnya yang telah kami jual, segala kendaraan dan juga perhiasan membuatnya syok untuk kedua kalinya. Dan kali ini, Allah benar-benar menunjukkan keagungan-Nya. Nyawa ayahku pun tidak dapat ditolong.

Pasca kematian ayahku aku benar-benar mengambil peran penting dalam kelaurga. Sebagai seorang putra sulung segala kewajiban ayahku kini tertancap dipundakku. Aku tidak pernah mengira kewajiban sebesar ini datang begitu cepatnya menghimpitku. Apa yang harus kulakukan untuk membiayai kuliah dan sekolah adik-adikku sementara ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa.

Ramadhan kali ini adalah ramadhan terpahit dalam sejarah hidupku. Aku tidak sudi jika ada ramadhan yang seperti ini lagi nanti. Cukup hanya kali ini saja ya Allah, aku tidak kuat! Namun aku percaya, pasti ada setitik keberkahan yang tersisa untukku dibulan yang penuh berkah ini.

Mengharapkan setitik keberkahan itu, aku pun mencoba mencari kerja untuk membelikan ibuku segenggam beras dan sesendok gula pasir. Pekerjaan apa saja, aku akan lakukan. Aku pun dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan. Namun, dengan mudahnya pula aku ditendang keluar dari pekerjaan itu. Hanya dua hari aku bertahan menjadi anggota SPT atau semacam kuli pengangkat fiber bersisikan ikan segar keatas truk. Tulangku terasa seolah akan hancur mengangkat fiber seberat 200 kiloan itu.

Dengan mudah pula aku mendapatkan pekerjaan lain, sebagai seorang kernet angkot. Lagi, dihari ketiga aku tidak mampu menersukan pekerjaanku itu. Hidup dari jalanan lepas tidak seindah yang kubayangkan. Aku lebam dipukuli kernet dan sopir angkot lain saingan kami. Kisah seorang kernet pun berakhir.

Dihari berikutnya aku ditawari bekerja dipabrik es. Ditempat ini aku bertahan lebih lama dari tempat-tempat kerjaku sebelumnya. Dihari kelima aku dinyatakan tidak kerja dipabrik es itu lagi. Pasalnya, atasan kami membodoh-bodohi kami dengan memotong sebagian gaji pegawai. Aku yang mantan seorang mahasiswa pun tak tinggal diam. Aku protes dan mengumpulkan massa untuk mengadakan aksi protes. Tapi sebelum rencanaku berhasil aku terlebih dahulu dilempar keluar pabrik. Dan kisah pabrik pun berakhir.

Esoknya, aku pun kerja menjadi seorang kuli bangunan. Kebetulan ada orang yang sedang bangun rumah. Namun aku kerja tidak lebih dari satu hari. Karena pekerjaan itu memaksaku untuk tidak berpuasa dan aku tidak mau. Kuli pun lewat.
Keesokan harinya, aku kerja jaga warnet. Pekerjaan ini sedikit melegakan. Tidak berat dan gajinya pun memuaskan. Tapi, aku harus stand by jaga warnet dari pagi ke pagi lagi. Kebetulan malam itu adalah jadwalku mengisi ceramah dari tim safari ramadhan salah satu organisasi kepemudaan yang ku ikuti. Namun aku tidak diberi izin oleh pihak pengelola warnet akhirnya aku pun dibuang lagi. Karena aku bersikeras untuk mengisi ceramah agama itu yang kuanggap sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang muslim yang berpendidikan.

Untuk besok aku berpikir, pekerjaan apa lagi yang cocok untukku. Sementara sebentar lagi lebaran, adikku masih kecil-kecil, mereka sudah meminta baju baru pada ibuku. Ibuku hanya menatapku hampa berkaca-kaca. Ya Allah, katanya bulan ini suci dan penuh berkah, tidakkah Kau kuasa menurunkan setitik saja keberkahan-Mu itu untuk membelikan baju baru untuk adik-adikku? Andai ayahku masih hidup, aku pasti tak semenderita ini. Ah, sudahlah.

Besok tiba, aku mencari pekerjaan kesana-kesini, ke Barat-ke Timur, Selatan-Uatara, tak ada pekerjaan untukku, tak ada orang yang mau menerimaku, tak ada uang yang bisa kubawa pulang hari ini, tak segenggam nasi untuk ibuku. Hingga petang tiba mengajak sang suraya kembali ke tempat peristirahatannya, aku masih belum menemukan pekerjaan. Hingga bajuku basah dan dahaga menyapu kering lidah aku masih terduduk lesu dipinggir trotoar jalan Sudirman. Bedug terpukul dan beleter adzan menyadarkanku dari lamunan. Kulihat semua orang meneguk air segar membatalkan puasa. Hati riang, akhirnya tiba sudah waktu berbuka. Tapi, bahkan aku tidak mempunyai uang untuk membeli segelas air putih. Ya Allah, kugenggam erat batu trotoar itu dan tanpa sadar, air mataku menitik jatuh melewati garis sudut bibirku.

Kucari mushalla terdekat untuk meneguk air dari kran wudhu mushalla untuk membatalkan puasaku. Lalu aku pun shalat maghrib berjamaah di mushalla itu. Ada satu hal yang membuatku tersentak dan menangis hebat setelah selesai shalat. Ternyata, selama peristiwa yang kuanggap pahit itu menimpa diriku, aku tidak pernah lagi melakukan keburuk-keburukanku dulu. Dari awal puasa aku sibuk mengurusi ayahku yang sakit, hingga ia meninggal aku sibuk kerja dan kerja. Tak sekalipun terlintas diotakku untuk melakukan hal-hal yang dulu sering kulakukan. Subhanallah, Allah benar-benar telah merubah hidupku.

Kuangkat tanganku tinggi meminta ampun kepada Allah. Jika benar ini adalah bulan ramadhan bulan yang suci dan penuh ampunan, Kau pasti memaafkan segala dosa hamba-Mu yang hina ini ya Allah, seorang hamba yang tidak tahu diri ini ya Allah yang sudah Kau ulur waktu agar hamba mau berubah namun tak juga berubah, hamba yang tidak tahu malu ini ya Allah, yang sudah berkali-kali mengabaikan-Mu namun masih juga meminta kepada-Mu, seorang hamba yang bodoh ini ya Allah, yang sudah Kau beri kebaikan namun hamba buang kebaikan-Mu itu, ampuni hamba ya Allah, ampuni hamba … sujudku tersungkur, air mataku terus terkucur. Allahumma ‘afuwwum kariimun tuhibbul ‘afwa fa’fu’annaa ya kariimm ….

Allah memang tidak akan mengubah nasib seseorang melainkan orang itulah terlebih dahulu yang merubahnya. Yang demikian itu jelas dalam al-qur’an. Tapi Allah tidak akan diam apabila kehendak-Nya sudah diputuskan. Ketika Allah sudah menetapkan kau dalam kebaikan, maka kau pasti berada dalam kebaikan begitu pula sebaliknya. Karena itu, sebelum Allah merancang skenario besar yang melibatkan banyak pihak dan orang-orang yang kau cintai hanya demi berubahnya kau kepada ketetapan Allah, berubahlah terlebih dahulu mengikuti kalam Allah yang sudah nyata dalam al-qur’an bahwa manusia mempunyai andil dalam merubah arah hidupnya. Karena kelak, jika tangan-tangan Allah yang memaksamu, maka air mata takkan terelakkan sobat, karena dia Al-Hakiim Al-‘Aliim …

Sei. Merbau, 09 Agustus 2012 menunggu waktu subuh.
Abu Dohak,

Selasa, 31 Juli 2012

MIMPI ITU JUGA MILIKKU


Aku harus bangun tepat waktu setiap pagi. Setelah itu, mandi, dan seorang juru hias khusus sudah menunggu untuk mendandaniku, lebih seorang artis bahkan mungkin lebih dari seorang pangeran. Ak mendapatkan perlakuan serba istimewa di istana ayahku. Mungkin karena aku adalah putra satu-satunya keluarga Waskita yang terkenal super kaya di Indonesia atau bahkan di Asia.

Seusai sarapan, sebuah mobil jaguar hitam lengkap dengan seorang supir berjas hitam rapi bertengger didepan pintu menunggu, membukakan pintu mobil dan bergerak membawaku ke sekolah favorit di ibu kota.

Tapi :
“pak, seperti biasa”. Kataku.
“aduh, tuan muda, saya …”.
“ah, bapak tak perlu risau, tak seorang pun yang akan tahu!”. Lanjutku.
Lalu aku mengeluarkan amplop tebal berisikan uang jutaan rupiah yang bagiku tak lebih seperti sampah. Lalu mobil kami pun berhenti tepat di depan sebuah gang sempit yang tak mungkin dimasuki oleh mobil.

“bapak pulang saja. Kalau ada yang nanya, katakan aku sudah sampai sekolah dengan selamat!”.
Dan supir itu pun terpaksa harus menuruti segala kemauanku.

Mobil hitam itu jaguar itu enyah dan aku pun megah dalam mengambil langkahku lebih jauh menelusuri gang sempit itu. Ya, tentu saja rakyat jelata sekitar mengagumi penampilankku.

“Van”. Jeritku, lalu berlari menghampirinya.
Irvan yang sedang menciduk lontong kepiringnya itupun menyambutku girang. Aku duduk di bangku coklat tua panjang disamping gerobak jualan lontong milik ayah Ifvan tanpa harus ia persilakan terlebih dahulu. Dan senyumku terukir nyata.

“jangan lupa untukku satu porsi!”. Pintaku pada Irvan.
Aku dan Irvan sudah sangat akrab meski kami dari dua latar dan social keluarga yang jauh berbeda.
“apa menu sarapanmu pagi ini?”. Kata Irvan sembari memberikan seporsi lontong untukku.
“roti keju dan susu yan baru datang dari Spanyol tadi malam”.
“wah!!! Pasti enak !!”.
“tidak, masih jauh lebih enak lontong ayahmu”.
Dan tawa kami berdua pecah.

Irvan orangnya asik, ramah, suka tertawa, hobi guyon. Jujur saja, tinggal di istana yang besar dan hidup tanpa saudara membuatku begitu kesepian. Teman-teman sekolah yang selalu congkak dan sibuk dengan game-gamenya membuatku tidak nyaman main dengan mereka. Sementara anak-anak kampong bahkan tidak berani menegurku. Hanya Irvan satu-satunya orang yang pandai membuatku tertawa, yang tak enggan menegur bahkan bercerita kepadaku tanpa memandang siapa aku dan dari mana aku.

Habis  melahap lontong buatan ayah Irvan, kami pun langsung berangkat sekolah bersama. Aku nebeng dibangku sepeda Irvan yang belakang. Dan kami harus berpisah di depan sekolahku yang super megah. Aku pernah minta pada ayah untuk pindah sekolah ke sekolahnya Irvan, tapi ayah menolaknya. Ayah bilang, sekoklahnya Irvan tidak layak untukku. Tapi meski begitu ayah tidak pernah melarangku untuk bergaul keapada siapapun termasuk kepada Irvan.

Sepulang sekolah atau bahkan malam hari, aku sering mencuri-curi waktu untuk bermain kerumah Irvan. Sesekali, aku membantu ayah Irvan memasak lontong untuk dijual esok hari.

Suatu malam, pada saat aku lompat jendela hanya demi mendapatkan hakku untuk bermain layaknya anak-anak seusiaku pada umumnya, aku mendatangi Irvan dan mengajaknya untuk mengumpulkan bintang sebanyak-banyaknya. Kami memanen banyak bintang dan harus membuat si putrid malam cemberut karena dayang-dayangnya kami renggut. Hingga matahari pun siap kami cari malam itu. Tapi sayang, kami merasa lelah menantang sang malam.

Irvan mulai membuka cerita saat kami berdua membujurkan tubuh diatas rumput hijau halaman balai desa.
“kau tahu, setinggi bintang itu aku menggantungkan cita dan mimpiku, walau itu adalah sebuah mimpi dan cita bodoh dari seorang yang bodoh”. Kata Irvan.
“emangnya, apa cita dan mimpimu?”.
“aku ingin jadi orang terhormat yang selalu berada diluar negri”.
Irvan membentangkan telapak tangannya lalu meniupnya kelangit.
“jadilah kau seperti bintang, mimpiku!”. Lanjut Irvan.

“kau, apa mimpimu?”. Tanyanya.
“aku?”.
Irvan mengangguk lemah.
“aku … aku …”.
Aku bingung mencari mimpiku. Karena sejatinya, aku tidak pernah bermimpi. Karena memang aku tidak perlu bermimpi. Apa yang aku mau, aku langsung bilang saja pada ayahku, ayahku pasti akan memberikannya.

“aku tidak punya mimpi!. Cetusku.
Irvan heran, namun sebelum ia bertanya, aku harus menjelaskannya.
“jika aku ingin ke Amerika, atau kemanapun aku mau, malam ini aku bisa terbang ketempat yang ku ingin, aku ingin mobil mewah, rumah besar, mainan yang banyak, uang, segalanya, segala yang aku ingin aku punya. Jadi, apa yang harus aku mimpikan? Mungkin mimpi itu bukan milikku, tapi milik kalian”. Pungkasku tanpa senyum.

***
Mungkin itu alasan mengapa Tuhan menciptakan bumi ini bulat karena sama dengan perjalanan dan cerita hidup ini yang selalu bulat. Sepuluh tahun kemudian, perusahaan ayahku bangkrut. Tak tahan menanggung beban akhirnya ayahku stress dan harus dirawat dirumah sakit jiwa. Aku pun terus sekolah dengan sisa kekayaan yang kami miliki. Namun, dipertengahan kuliah, kekayaan itu habis dan terpaksa aku harus berhenti kuliah. Sejak itu, aku tidak tahu harus bagaimana, aku tidak tahu harus berbuat apa, bahkan aku tidak tahu apa sebenarnya yang kumau, karena aku sama sekali tidak pernah memiliki rencana dalam hidupku.

Dengan beriringnya waktu, sekarang aku sudah menikah dan dikaruniai 4 orang anak. Seorang ‘aku’ yang serba memilliki dulu kini harus menghidupi keluarganya dari hasil penjualan lontong. Menyesal, memang sunggu sangat menyesal. Dulu aku salah menganggap mimpi hanya milik mereka yang tidak mempunyai apa-apa. Seandainya dulu aku punya mimpi, aku pasti tahu harus diapakan dan dibawa kemanakan hidupku pasca bangkrutnya orang tuaku. Seperti Irvan yang sekarang berhasil memetik mimpinya menjadi seorang mentri luar negri, terhormat dan selalu berada di negeri orang. Kini, menjelang petang, aku membacakan cerita untuk anak-anakku, menanamkan semangat pemimpi disanubari mereka. Agar kelak, jika mereka dewasa, mereka tidak kehilangan arah hidup seperti ayah mereka.


Abu Dohak, Jakarta 26-07-12, 01.50 waktu sahur.