Laman

Kamis, 29 Maret 2012

Dream catcher : oh Hadramaut.

Pulang lebaran biasanya aku ngambil liburan tambahan alias bolos dua minggu. Alasannya karena rumahku dari pesantren jauh, sekitar lima hari perjalanan darat, Medan-Jombang. Dua minggu, banyak hal yang terlewatkan selama dua minggu. Salah satunya aku harus melewatkan kunjungan Habib Umar bin Salim bin Hafiz dari Hadramaut, Yemen. Kesal, sungguh sangat kesal terasa ketika teman-temanku dapat melihat langsung wajah beliau dan mendengar langsung ceramah beliau sementara aku tidak.

Beberapa bulan setelah kunjungan Habib Umar ke pesantren Tebuireng Jombang, pengasuh pesantren tersebut Ir. KH. Salahuddin Wahid akrab disapa gus Solah beserta rombongan berkunjung ke Hadramaut, ke kediaman Habib Umar. Sepulang dari kunjungan itu para santri pun termasuk aku mendapat oleh-oleh cerita fantastis dari sang pengasuh. Gus Solah cerita tentang sosok Habib Umar yang begitu wara’ dan tawaddhu, hafal kira-kira 600.000 hadist.

Pikirku pun melayang, mengkhayalkan Hadramaut dan Habib Umar. “kesana dan jadi santri Habib Umar! Wah wah …”. Plok !!!  mengkhayal itu memang indah.  Dan waktu itu aku masih kelas dua Aliyah.

Dipenghujung masa sekolah aku pun mengintip beasiswa ke Timur Tengah. Sasaran utamaku waktu itu adalah Al-Azhar Cairo, Mesir. Aku baca surat kabar bahwa tahun itu beasiswa ke Al-Azhar ditutup akibat banyaknya mahasiswa Indonesia disana yang tidak lulus ujian. Namun semangatku tidak pudar. Aku terus mencari segala cara untuk masuk Al-Azhar hingga akhirnya aku mendapat berita pengumuman seleksi ujian telah selesai.

“heh? Kapan ujiannya diselenggarakan?”. Dan harapan itu tinggallah harapan.  Hingga suatu hari aku mendapat berita tentang seleksi ujian ke Yaman.

Yah, coba coba lah. Tak satu orang pun yang tahu aku ikut seleksi itu meski orang tua ku. Tapi entah mengapa, gairahku ke Yaman tidak seperti gairahku menuju Al-Azhar. Aku pun berangkat apa adanya menuju Ponpes Dalwa, Bangil, Pasuruan, tanpa persiapan apapun.

Kagetku luar biasa setelah sampai di depan gerbang Dalwa. Ratusan mobil pesantren se Jawa Timur bertengger disana. Selidik punya selidik, ternyata orang-orang yang mengikuti seleksi itu adalah santri-santri terbaik yang khusus dikirim pihak pesantren. Lalu bagaimana aku dan pesantren ku?. Sudahlah! Aku masuk saja menuju ruang pendaftaran.

Sampai di ruang pendaftaran aku dimintai tetek-bengek persyaratan mengikuti seleksi ujian. Dari mulai surat pengutusan dari pengasuh atau kepala sekolah, dari orang tua yang ditanda tangani kepala desa, surat ini dan surat itu. Cengutku pun diam membodoh.

“ustadz, saya ingin ikut ujian dan saya hanya punya ini”. Aku menjulurkan pas photo 3x4 dua lembar.Hanya itu satu-satunya persyaratan yang bisa aku penuhi. Tapi yang anehnya, si ustadz itu membolehkanku mengitkuti ujian.

Aku pun menuju ruang tunggu ujian. Aku terpaksa minder melihat peserta ujian lain berlatih bicara berbahasa arab dengan teman-teman mereka, berlatih baca kitab kuning. Sedangkan aku detik itu baru tahu materi apa yang akan diuji kan. Ujian tulis serta interview bahasa arab dan baca kitab kuning ‘fathul qariib’.

Sendiri, tanpa teman, tanpa bahasa arab, tanpa kitab kuning, aku pun memilih keluar dari ruang tunggu yang sangat memboringkan itu dan menuju masjid untuk melaksanakan shalat duha dua rakaat.

Suasana masjid yang sejuk, dipenuhi dengan halaqah-halaqah para santri yang seluruhnya bergamis putih dan berpeci putih. Tapi kenapa semua mata tertuju padaku? Aku berhenti tepat ditengah-tengah mesjid mengangkat kedua tanganku dan menggemakan takbir lirih meski hatiku geli karena baru menyadari pakaianku yang serba hitam ditengah-tengah ratusan santri yang berbusana putih.

Ujian pun digelar. Aku berada dikelas nomor lima dan duduk dibangku paling depan tepat didepan pengawas. Kertas ujian dibagikan. Sebelum dimulai, satu persatu peserta ujian bertanya dengan bahasa arab. Terus terang, aku tidak mengerti apa yang mereka tanyakan waktu itu. Karena sama sekali aku tidak bisa bahasa arab. Iya sih, aku memang alumni pesantren, tapi tak semua pesantren itu berbahasa arab lho. Apa lagi aku. Memang, jika kerabat menanyakan perihalku ke orang tua ku, mereka jawab aku mondok di Tebuireng, tapi perasaan aku hanya mampir dan main sebentar??.

Aku gugup luar biasa. apa lagi ketika membalik lembaran soal itu, semuanya berbahasa arab, ya ampuun. Eit, wait! Ternyata soalnya adalah materi diskusi kami dua hari yang lalu di pondok. Tanpa ragu aku menjawab semuanya bahkan menyertakan kitab rujukannya lengkap dengan halamannya.

Satu-dua peserta ujian keluar. Aku pun semakin gugup ketika menyangka hanya tinggal beberapa orang saja lah yang belum selesai. Bismillah, dan aku pun menyerahkan lembar kertasku. Dan ternyata, masih banyak orang yang belum keluar. Bahkan dikelas lain, belum ada yang keluar. Bahkan wartawan Malaysia yang menyorot seleksi itu pun baru masuk dikelas pertama. Wah ternyata aku min awaili man yakhruj min fashlil ikhtibar (termasuk orang-orang pertama yang keluar dari kelas ujian.

Season two, interview. Aku menunggu lama. Hampir maghrib, padahal aku dan ustadz penguji belum shalat ashar. Dari hampir seribu peserta ujian,tujuh orang terakhir dan namaku pun dipanggil masuk. Baru mau duduk, eh, si ustadz penguji mendapat panggilan dari pusat informasi pondok. Dia pun meminta teman-temannya sesama ustadz penguji untuk mengujiku. Tapi tak ada satu pun yang bersedia. Dan ia pun dengan memburu waktu terpaksa harus menginterviewku.
“kenapa kau pilih kuliah ke Yaman?”. Itu satu-satunya pertanyaan yang ia Tanya. Dan jawabannya pun sudah kuhafal terlebih dahulu. Karena setiap peserta pasti ditanya yang begituan.

“buka kitabnya!”. Suruhnya.

Kubuka lembaran awal. Lalu tangannya cepat membuka lembaran pertengahan.
“baca!”.

Kubaca. Wallahi, aku sungguh terbata.

“sudah! Terjemahkan dan jelaskan!”.

Kuterjemahkan dengan berbelit-belit. Mungkin karena geram atas terjemahan dan penjelasanku yang tidak jelas dan waktu terus mengejarnya,  si ustadz yang menterjemahkannya dan menjeaskannya. aku hanya bisa bilang :

“na’am, na’am, na’am, na’am (iya iya iya iya).

Meski aku tidak begitu mengerti apa yang dikatakan si ustadz. Dan selesailah. Tak sampai tiga menit aku diinterview dibandingkan peserta yang lain pada awal-awal waktu yang di interview sampat setengah jaman.

Selesai seleksi, aku ingin menjerit ‘legaaaaaaaa’. Ops, senja mulai tiba ditandai teja yang sedang malu. Aku bergegas shalat ashar lalu naik bus menuju Bungor, Terminal Surabaya. Shalat maghrib di terminal lalu menuju Jombang. Yah, uangku kehabisan! Terpaksa jalan kaki dari terminal Jombang ke pesantren. Begitulah jika tidak ada persiapan.

Sampai pondok, ampun dah!. Aku tidak Tanya kapan pengumumannya?, diumumkan dimana?, dst, dst, bahkan waktu itu aku tidak tahu website resminya. Hampir dua bulan aku melupakan ujian seleksi itu. Hingga suatu hari, handphoneku berdering. ‘6 pesan diterima’ tertulis sebagai background hp jadulku. Ternyata pesan itu adalah berita kelulusanku. Untung saja aku tidak ngawur mengisi formulir pendaftaran waktu itu, sehingga pengumuman kelulusan itu tidak salah sasaran.

Dan aku baru tahu, ternyata asrama kuliahku hanya berjarak sekitar seratus meter dari pondok pesantren yang dipimpin oleh Habib Umar bin salim bin Hafiz, seorang ulama yang pernah aku khayalkan. Setiap pagi aku bisa mendengar pengajiannya secara langsung, bersalaman, bahkan shalat dibelakangnya. Subhanallah.
Mungkin benar apa kata orang-orang, bermimpi berarti 50% kau yakin dengan masa depanmu.
 
                                                                         Aku di Hadramaut.

Habib Umar










Aku dan Habib Umar ketika memintakan doa untuk ayahku yang sedang sakit beberapa bulan yang lalu sebelum kembali ke Indonesia.

Kamis, 15 Maret 2012

AKU INGIN BEBAS!


Halo kawan, maaf saya numpang lewat. Ada sebuah  pengalaman menarik dari saya. Mau tahu? Ikuti saja cerita saya kali ini. Kalau baca enggak rugi kok …

Namaku Rapta Yusuf Panjaitan. Seorang ahli Psikologi bertalenta tinggi. Gelar sarjana dan magister ku sabet dari Harvard University. sedangkan dokotoralku kudapat dari Sorbonne University. Terakhir aku dinobatkan sebagai professor di UKM, Malaysia dan telah mendapat penghargaan sebagai professor termuda di Indonesia. Jika kau penasaran denganku, silakan datang saja ke Jakarta dan tanyakan Prof. Rapta kepada siapa saja yang kau temui, mereka pasti akan menunjukkanmu tempat kediamanku.

Ya , aku sangat dikenal orang di Jakarta. Bahkan di luar negri sekali pun. Setiap bulan aku harus pandai-pandai mengatur jadwal terbangku keluar negri. Ke Belanda, Italia, Amerika, Australia, Jepang, Prancis, Jerman dst. Selalu ada saja yang memanggilku, karena memang itulah profesiku. Selain menjadi dosen tetap di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, aku juga seorang dosen terbang yang setiap saat harus meninggalkan Indonesia.

Hebat bukan seorang ‘aku’. Tapi, jika kau datang ke tempat kelahiranku, ASAHAN namanya dan kau tanyakan Prof. Rapta kepada siapa saja bahkan kepada bupatinya sekali pun, tujuh hari tujuh malam atau bahkan satu bulan pencarian, kau tidak akan menemukan apa-apa tentang aku. Tapi coba kau  tanyakan mereka tentang si Dongek. Hmm …

Tak jauh beda dari di ibu kota, di Asahan aku juga sangat terkenal. Tapi sayang, mereka tidak  mengenalku sebagai seorang professor Rapta, tapi sebagai seorang Dongek, anak ingusan yang jorok, bau, nakal, jahat, setiap hari selalu ribut dengan orang-orang diatas bayanya.

Ayahku hanya seorang penambal ban sepeda sedangkan ibuku pembantu rumah tangga. Bayangkan berapa penghasilan kedua orang tua ku untuk menghidupi kami Sembilan bersaudara. Rumah kami pun adalah bengkel sepetak yang setiap harinya diapakai ayahku untuk mengais rezeki.

Aku tidak pernah berpikir akan arti sebuah pendidikan. Ayah dan ibuku pun tidak pernah mendorongku untuk harus sekolah. Mereka hanya membesarkanku bagaimana adanya. Kakak dan abang-abangku, tidak ada satu pun mereka yang bersekolah. Kelas tiga SD terakhir pendidikan mereka. Hanya aku yang berhasil melewati kelas 3 SD. Apa lagi dihimpit dengan masalah ekonomi keluarga dan hidup dilingkungan yang terbelakang, aku tumbuh sebagai seorang yang tidak pernah sama sekali memikirkan masa depanku.

Waktu itu aku masih duduk dibangku kelas tiga SD. Aku sudah sangat bosan dengan seragam putih merah yang setiap pagi kukenakan. Bagiku, seragam itu tak ubahnya seragam penjara yang selalu menghalangiku dari hal-hal yang aku mau. Aku ingin bebas! Tanpa ada PR, tanpa harus bangun pagi, tanpa harus dipaksa mendengar ocehan guru. Tanpa ada aturan sekolah yang selalu mengunci gerakku.

Sepulang sekolah, baju putih kumuhku kulemparkan begitu saja kebalik barisan sepeda rongsok ayahku. Lalu kuraih hartaku yang paling berharga, ukulele kemudian menghampiri Kepong yang sudah stanbay disamping SPBU dekat alun-alun.

Kepong. Begitu ia dipanggil dan sampai sekarang aku tidak tahu nama aslinya. Kepong lebih tua dariku empat tahun. Seorang anak yang sudah tak punya ibu bapak. Saat itu, Kepong lah satu-satunya orang yang kuanggap teman. Hingga malam datang aku terus bersama Kepong memetik ukuleleku dan ia memetuk gendangnya, mengelilingi kota Asahan yang kecil, ngamen ditoko, rumah makan, bahkan orang-orang yang sedang berduaan pacaran di alun-alun kami datangi. Tak jarang kami harus mengambil paksa coklat yang berserekan di toko atas upah menyanyi kami.

Aku masih ingat, hari itu jam delapan malam. Aku dan Kepong ngamen di tempat makan sea food pinggir jalan. Ada seorang bapak berkepala botak memanggil kami untuk menyanyikan sebuah lagu. Kami pun bernyanyi amat ria.

“mau yang ini atau yang ini?”. Kata si Bapak menjulurkan uang logam Rp. 25 dan uang kertas Rp.500

Tentu saja kami mau uang monyet itu.

“tapi kalian harus menjawab pertanyaan bapak dulu”.

Kami mengangguk meski hati kami memaki bapak itu yang bertele-tele.

“kalian masih sekolah?”.

Aku mengangguk dan Kepong menggeleng.

“masih punya orang tua?”.

Aku mengangguk dan Kepong menggeleng.

“orang tuamu tahu kau disini mengamen?”.

Aku mengangguk.

“mereka yang suruh?”.

Aku menggeleng.

“mau sampai kapan kalian mengamen?”.

Kami diam, muak dan ingin pergi walau tak mendapat apa-apa dari bapak itu. Tapi bapak itu terus mendesak kami untuk menjawabnya.

Kepong diam, dan aku terus memikirkan untuk menjawab berapa lama. Setahun, sepuluh tahun, atau seratus tahun.

“kalian tahu, kalian adalah asset bangsa yang paling berharga! Lihat, jalan kalian masih panjang. Jadikan orang tua kalian menangis bangga pada kalian. Pergi! Dan genggamlah dunia.”. senyum bapak itu, pergi dan meninggalkan uang monyet.

Itu pertama kalinya aku bangga pada diriku. Itu pertama kalinya aku belajar untuk memahami kehidupan ini. Setiap hari kuhitung harus berapa tahun aku mengamen. Tapi aku masih tetap saja mengamen. Namun dalam lubuk jiwaku yang paling dalam “akan kugenggam dunia!”. Hingga selulus SD aku ikut tetangga ke Jakarta. Sekolah sambil kerja menjadi pembantu rumah tangga kujalani selama enam tahun. Hingga akhirnya aku mendapat beasiswa ke Harvard.

Masih begitu akrab meski lama tak kembali ke Asahan. Banyak bangunan yang belum berganti. Bahkan SPBU dekat alun-alun itu masih aktif. Rumah makan sea food itu pun masih ada. Aku mampir ke rumah makan itu, mengobati rasa rinduku akan masakan Asahan yang khas dan rinduku pada masa lalu.

Menunggu masakan terhidang, seorang lelaki tua memukul gendang bersama seorang anak kecil. Pukulan gendangnya, suaranya dan tatapnya yang garang mengatakan lelaki itu adalah Kepong. Ingin ku memanggilnya, merangkulnya, memukulnya. Tapi sudahlah, itu hidupnya dan ini hidupku. Dan ia berhasil mencari aku-aku yang lain sebagai penggantiku memetik ukulele.

Dan sekarang, aku mengerti apa itu kebebasan. Bebas bukan berarti melakukan apa yang kumau. Tapi bebas itu melakukan apa yang seharusnya. Dan jangan biarkan asset bangsa yang paling berharga itu hilang. Mulai sekarang, bantu saya atau prof. Rapta untuk menyelamatkannya.



Abu Dohak.