Laman

Jumat, 18 Mei 2012

BERIRAMA AIR MATA



Malam itu, semua tas Salim sudah siap. Semua baju dan beberapa buku sudah dimasukkan rapi kedalam tas. Rupanya setelah beberapa bulan kematian bunda, Salim memperoleh beasiswa untuk belajar ke Negri Saba' di Timur Tengah. Ini merupakan kesempatan emas bagi Salim. Dengan segala pertimbangan dan pertimbangan, akhirnya Salim memutuskan untuk menerima beasiswa itu dengan konsekwensi ia harus meninggalkan kakaknya Linda seorang diri di tanah air. Karena beberapa tahun sebelum kematian ibunda, ayah mereka terlebih dahulu berangkat kepangkuan Ilahi dan Linda adalah satu-satunya saudara Salim. Berat rasanya meninggalkan kakaknya itu sebatang kara. Dia satu-satunya yang Salim punya. Dan Salim sangat menyayanginya. Selama lima tahun kedepan mereka tidak akan berjumpa. Dipisahkan oleh daratan dan samudera.

Ini adalah keberangkatan Salim untuk yang kedua kalinya meninggalkan rumah. Dulu, sekitar enam tahun yang lalu, seorang anak Medan Salim Fakhruddin pernah berangkat meniggalkan rumah untuk menimba ilmu di tanah Jawa. Masih terekam jelas detik-detik keberangkatan enam tahun lalu itu dimemori kepala Salim. Dikala itu, masih ada ibu dan ayah Salim. Ia masih ingat ketika bundanya dengan titikan air mata memasukkan baju-bajunya kedalam tas. Ada sang ayah yang duduk dibangku pojok rumah memperhatikan sertifikat-sertifikan prestasi anaknya. Ada sang kakak Linda yang masih remaja membantu bunda mengemasi baju Salim kedalam tas. Semuanya masih terekam jelas. Seakan baru dua jam yang lalu peristiwa enam tahun silam itu. Ia masih ingat ketika air mata bundanya terjatuh keatas sebuah mushaf al-qur'an yang diselipkan sang bunda kedalam tasnya. Lalu mereka sekeluarga berpelukan.

"enam tahun yang lalu" tandas Salim dalam hati. Waktu mengubahnya begitu cepat. Ketika Salim kembali dari memori pikirannya, ia melihat gambaran enam tahun lalu itu dihadapnnya. Ya, masih pada tempat dan tas yang sama dengan enam tahun lalu itu, yang berubah adalah hanya ada seorang kakak dihadapannya. Ayah dan sang bunda sudah sirna kealam baka. Salim spontan menoleh kekursi yang dulunya diduduki sang ayah, lalu kemudian pandangan dan tubuh Salim mengendur dan kepalanya menunduk. Kursi itu kini kosong. Ia menoleh ke al-qur'an yang dulunya dijatuhi air mata sang bunda. Al-qur'an itu masih bagus dan utuh. Lalu Salim mengambil dan mengusapnya. "mana air mata ibuku dulu" jerit suara batin Salim. Kemudian Salim memeluk al-qur'an itu erat-erat. Salim sangat rindu sekali kepada  bundanya. Seandainya ada suatu permintaan yang pasti dikabulkan Salim akan meminta keluarga mereka utuh kembali. Air mata Salim pun tertumpah ketika memeluk al-qur;an itu. "ibu …. Ibu …" bentak suara Salim dalam hati.

"sudahlah Lim, kau harus tidur, besok pagi-pagi sekali kau harus berangkat" kata Linda kakaknya. Linda tahu Salim memiliki masa depan yang cerah. Untuk itu Linda tidak mau menjadi penghambat masa depan Salim. Linda harus kelihatan tegar agar Salim tidak membatalkan niatnya berangkat ke negri Saba'. Walau hati Linda sangat terenyuh sekali atas kepergian Salim, Linda tidak boleh menitikkan air mata dihadapan Salim. Tapi Linda tidak tahan. Matanya mulai memerah dan berair. Air mata itu ibarat air bak yang sedang turun dari pegunungan, deras sekali. Sehingga bisa menghancurkan bendungan-bendungan air. Linda tidak bias menahannya. Akhirnya :  "kau tidur lah cepat, kakak juga sudah mengantuk" kata Linda mencari alasan. Lalu dengan buru-buru Linda beranjak dari tempat itu menuju kekamar. Tapi air mata itu sudah tak terbendung lagi ingin keluar. Karena yang dekat dari tempat itu adalah kamar mandi, dengan terpaksa Linda harus memuntahkan air matanya di kamar mandi. Linda berusaha keras untuk meredam suara tangisannya agar tidak diketahui oleh Salim. Linda sangat sayang sekali dengan adiknya itu.
"pergilah dik, kau punya masa depan yang cerah, jangan kau pikirkan kakakmu ini" kata Linda lirih sambil menitikkan air matanya.

***
Pagi-pagi sekali dan matahari sudah mulai memunculkan diri. Entah kabar berita apa yang ingin disampaikan bola api raksasa itu. Salim dan kakaknya pun bergegas menuju Belawan, sebuah pelabuhan yang akan menjadi awal lonjakan Salim untuk berangkat ke Jakarta. Dan setelah itu Salim akan melonjak tinggi terbang ke udara menuju negri Saba' dipinggiran gunung sahara. Tepat pukul delapan pagi, kapal yang akan ditumpangi Salim melaut diperairan Inodnesia. Seharusnya masa-masa seperti ini adalah masa-masa yang menyenangkan bagi setiap orang. ‘Beasiswa luar negri’, Seharusnya Salim gembira. Tapi sekali-kali tidak. Semakin dekat saat-saat keberangkatannya Salim malah tambah semakin murung dan sedih. Apa lagi ketika ia melihat kakak semata wayangnya. Hati Salim terus bertanya-tanya dan khawatir. "sama siapakah kakakku akan tinggal? Siapa yang akan menjaganya? Siapa yang akan memberinya uang untuk makan?" Salim terus bertanya-tanya. Karena memang Salim meninggalkan seorang kakak yang belum menikah dan belum mempunyai pekerjaan tetap. Tapi ketenangan dan ketegaran yang diaurakan kakaknya membuat Salim merasa yakin dan mantap untuk tetap berangkat. Mungkin inilah yang disebut dengan takdir Tuhan. Ketika Tuhan telah menetapkan bagi Salim untuk berangkat maka tidak ada alasan bagi Salim untuk menawarnya.

Mereka berdua sudah rapi dan siap untuk meninggalkan rumah.
"tunggu sebentar" kata Salim kepada kakaknya yang ketika itu hendak mengunci pintu. Pada saat itu mereka berdua dan semua tas-tas Salim sudah berada di luar rumah.
"ada yang tinggal Lim?" Tanya kakaknya.
"tidak" jawab Salim. Salim kemudian membuka pintu yang hampir terkunci itu. Salim hanya memasukkan sedikit sisi badannya kedalam rumah yang sekiranya ia bias melihat jelas semua titik ruangan di rumah itu. Salim memadangi semua sudut ruangan dengan seksama. Dirumah yang sempit itu di setiap sudutnya mengandung sejuta kenangan. Tiba-tiba selintas lalu, Salim terbayang ada dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan yang sedang berkejar-kejaran lalu kedua anak kecil itu jatuh kepelukan seorang wanita. Ya, lagi-lagi Salim teringat dengan masa kecilnya. Memang sungguh banyak sekali kenangan. Salim pandangi lagi rumah itu dengan dalam. Beberapa bulan lalu mayat bundanya terbungkus kain putih rapi tergeletak disitu. Salim tak tahan. Air matanya pecah menyobek-nyobek masa lalunya.
"lima tahun aku akan kembali" tandas Salim dalam hati. "ayo kak kita pergi!".

Mereka berdua beranjak meninggalkan rumah kenangan itu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.30. butuh satu jam dari rumah Salim untuk sampai kepelabuhan Belawan. Dipinggir jalan lebar dan diujung gang perumahan Salim, Salim dan kakaknya duduk diam menunggu taksi. Satu jam pun berlalu akhirnya mereka sampai ketempat tujuan "Belawan". Ditempat inilah enam tahun lalu Salim meninggalkan kakak dan ibundanya untuk berangkat mondok di tanah Jawa. Tapi waktu itu, Salim ditemani sang ayah mengarungi perairan Indonesia. Namun sekarang semuanya hanyalah tinggal bayang-bayang. Tak ada ayah dan ibu tak ada pula lah tempat mengadu. Hanya ada rintikan air mata dan berjuta rasa rindu. Air mata Salim terus mengalir deras tanpa mengeluarkan suara dari mulutnya, namun hatinya menjerit-jerit berpilukan hampa. Masih terekam jelas saat-saat enam tahun lalu itu di ingatan Salim bahkan di ingatan kakaknya Linda. Namun Linda, dia sudah berjanji pada dirinya agar tidak mengeluarkan air mata dihadapan Salim. Linda harus tegar karena saat-saat ini Linda adalah tempat Salim untuk bersandar.

Akhirya, Salim dan Linda tiba dipenghujung jalan. Setelah batas jalan itu, selain penumpang tidak diperbolehkan masuk. Salim dan Linda berhenti. Detik-detik itu adalah detik-detik perpisahan mereka. Salim menyalami tangan kakaknya dan menjunjung tangan itu kekeningnya. Dan air mata Salim tak juga kunjung berhenti mengalir. Ia memandangi kakaknya. Dalam pandangan yang banjir air mata itu, Salim menggelengkan kepalanya kepada Linda. Linda langsung menyambut kepala adiknya itu dan memeluknya. Suara tangis Salim pecah seolah bocah yang baru berusia lima tahun. Perasaan Linda terenyuh dan terpukul. "siapa yang rela membiarkan kau pergi" bisik Linda dalam hati sambil berusaha keras menahan tumpahan air matanya.
"sudahlah nanti kau terlambat" kata kakaknya.
"jaga dirimu baik-baik kak, mau bilang apa aku nanti dengan ayah dan bunda kalau kakak kenapa-kenapa". Sambil senyum kakaknya menjawab :
"kau tak usah takut Lim, kakak sudah dewasa, kau lah yang seharusnya berhati-hati, kau akan jauh di negri orang, jagalah dirimu, buat ayah dan bunda kita bangga Lim".
"Salim tidak akan mengecewakan mereka kak, Salim janji!"

Mata Linda mulai berair. Namun ia dengan usaha keras masih bisa berhasil membendungnya. Lalu mereka berdua kembali berpelukan. Dan pelukan itu adalah pelukan terakhir mereka diusia muda.
"hati-hati! Jaga dirimu Lim" tangan mereka berdua pun terpisah terputus terhalangi oleh jarak. Linda masih memandangi Salim menaiki tangga kapal. Terus sampai Salim sudah benar-benar masuk kedalam kapal. Salim melambaikan tangannya kepada sang kakak diluar kapal dari balik jerusi besi pinggiran kapal. Dan Linda pun membalas lambaian tangan adiknya itu dengan lambaian pula. Dengan tersenyum lebar Linda terus melambaikan tangannya. Namun Salim, air matanya semakin deras keluar. Ia teringat peristiwa enam tahun lalu. Ketika ia dan ayahnya melambaikan tangan dari balik jeruji besi kapal kepada Linda dan sang Bunda. Linda belia yang waktu itu menangis hebat dibawah ketiak sang Bunda.
"kakak" rintih Salim lembut. Ketegaran Linda yang sampai sekarang belum menitikkan air mata membuat Salim mantap dan percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Lalu suara berisik hebat dari corong kapal pun berbunyi. Pertanda bahwa kapal akan segera lepas landas melaut di perairan Indonesia. Perlahan tangga kapal pun mulai mengatupkan diri kebadan kapal. Tali-tali penghambat kapal pun mulai dilepas satu persatu. Salim dan Linda masih terus saling melambaikan tangan. Salim menangis begitu kencang. Sementara Linda masih terus berusaha menahan tangisannya. Suara corong kapal itu berbunyi kembali. Lalu kapal perlahan-lahan menjauh dari sisi pelabuhan. Sambil melambaikan tangan Linda berlari mengitari sisi pelabuhan untuk bisa melihat wajah Salim dengan jelas. Dan diujung sisi pelabuhan itu, Linda tak kuasa lagi berlari. Ia memuntahkan air matanya yang selama ini ia tahan-tahan. Ia menjerit "Saliiiiiimm…jaga dirimu baik-baik". Melihat tumpahan air mata kakaknya itu, Salim menjadi gamang dan ragu.
"kakaaaakk…" jerit Salim sekuat hatinya. Raut wajah Salim berubah drastis. Ketakutan, kekhawatiran, kesedihan dan penyesalan semuanya berbaur membentuk raut wajah itu. Kemudian Salim berlari mengitari jeruji besi kapal untuk menemukan tangga yang ia naiki tadi dengan maksud hati agar ia bisa keluar dan kembali kepada kakaknya. Namun semuanya sudah terkunci dan tergembok rapi. Sementara itu jarak mereka berduapun sudah semakin menjauh. Wajah Linda tak lagi terlihat dimata Salim. Begitu juga dengan Linda. Hanya lambaian tangan Lindalah yang terlihat kecil dari kejauhan.
"kakaaak…" jerit Salim lagi. Seluruh badan Salim melemas. Ia terduduk menyesali segalanya. "seharusnya aku tidak pergi" rintih Salim. "kak, maafkan aku, jaga dirimu kak". Air matanya terus mengalir dan jatuh menitiki lautan. Hingga akhirnya dihadapannya sosok Linda sirna berubah menjadi hamparan lautan biru yang luas yang tidak tahu entah mana ujung dan mana pangkalnya.

***
Selama tiga hari Salim berlayar diperairan Indonesia. Dan akhirnya ia tiba di Jakarta. Salim bimbang, ia ingin kembali pulang. Tapi sayang, uang yang ada disakunya tidak akan mencukupi tiket perjalanan pulang kembali ke Medan. Duduk lama ia di pelabuhan Tanjung Periok Jakarta memikirkan konsekwensi segala keadaan. Akhirnya ia memutuskan untuk menelpon kakaknya terlebih dahulu dengan sisa uang yang ada disakunya. Alasan demi alasan, pertimbangan demi pertimbangan mereka bicarakan dan kesepakatan pun mereka temukan. Kesepakatannya adalah takdir Tuhan yang tidak bisa dielakkan. Salim harus tetap berangkat demi masa depan. Salim sudah mulai mantap lagi untuk mengambil jalannya. Memang Linda adalah sandaran yang luar biasa bagi Salim. Saat Salim bimbang dan ragu ada Linda yang selalu bisa meyakinkannya. Ia pun keluar dari pelabuhan Tanjung Periok Jakarta. Dengan uang yang masih tersisa, Salim menahan sebuah taksi yang akan menghantarkannya ke salah satu pesantren di Jakarta yang menjadi tempat berkumpulnya para calon mahasiswa penerima beasiswa.

Sesampainya di tempat tujuan, Salim dan para calon mahasiswa penerima beasiswa lainnya masih digembleng selama satu hari disana. Mereka menerima berbagai pengarahan dan bimbingan dari lembaga pemerintah dan lembaga pemberi beasiswa. Sebagian dari penerima beasiswa itu ada yang masih bersama orang tua mereka dipesantren. Ada lagi yang seluruh keluarga besarnya ikut serta menghantarkan pelepasan putra tercinta. Ada dipojok sana beberapa orang calon mahasiswa sedang bercanda ria dengan teman-teman mereka. Ada yang sibuk menelepon. Disisi pojok yang lain ada beberapa orang yang sedang asyik mengobrol dengan ditemani sebatang rokok dan secangkir kopi. Macam-macam keadaan para calon mahasiswa penerima beasiswa itu. Tapi, dipojok tempat Salim terduduk, hanya ada kesunyian dan keheningan. Dia sendiri tanpa kata dan tanpa suara. Tanpa ada kakak dan keluarga. Tanpa ada teman dan canda ria. Salim masih memikirkan sang kakak. Ditemani dengan nyanyian-nyanyian angin dingin yang merasuki kulitnya, Salim kembali menjatuhkan air matanya. Menitik membasahi guratan-guratan cinta yang terpatri dari wajah anak yang menginjak usia dewasa. Malam itu pun berlalu begitu saja. Tanpa ada suara dan teguran dari teman sebaya. Ditemani oleh bulan dan gemerlap bintang-bintang angkasa Salim tertidur lelap di pojok tempat ia duduk tadi sambil menunggu kabar penting diesok hari dari sang surya.

***
Akhirnya, seiring dengan perputaran jarum jam, Salim dan para calon mahasiswa penerima beasiswa lainnya segera menuju bandara Soekarno-Hatta. Segala persiapan sudah mereka selesaikan. Dan sekarang giliran meninggalkan pesantren lalu kemudian terbang meninggalkan tanah air Indonesia.

Dan takdir Tuhan sungguh pasti terlaksana. Salim dan Linda kakaknya kini telah terpisahkan daratan tandus dan samudera. Salim telah sampai ketempat sahara. Negri Saba’ tempat seribu awliya’. Namun, tak ada yang berubah pada diri Salim. Dia tetap saja murung dan merasa bersalah.

Setelah sampai di negri Saba’ dan mendapatkan tempat tinggal (sakan) teman-teman yang seberangkatan dengan Salim sudah saling kenal mengenal. Mereka sudah saling tukar menukar tawa dan canda ria. Tapi Salim dia masih malas untuk mengeluarkan kata. Hari-harinya lebih dia isi dengan merenung dan merenung. Hingga suatu hari, ketika Salim sudah tidak bisa lagi menahan rasa rindu kepada sang kakak satu-satunya keluarga yang masih tersisa, Salim pun berpikir untuk menelponnya. Lalu ia keluarkan sisa uang real yang dia tukarkan di bandara waktu itu. Tinggal itu satu-satunya uang Salim. Salim diam sejenak dan memandangi uangnya lalu senyuman kecil terekah dibibirnya. Entah apa arti rekahan senyuman itu. Mungkin ada sedikit kegembiraan hadir dilubuk jiwanya Karena pikirnya dia akan mendengar suara kakak tercintanya.

Salim menggenggam uang itu erat-erat. “uang terakhir” Salim tidak tahu lagi entah bagaimana kedepannya nanti. “yang penting kakakku dulu” pikirnya. Lalu Salim bergegas dengan langkah cepat keluar dari kamar dan menelusuri anak tangga hingga tepat sampai didepan pintu masuk asrama tiba-tiba langkah kaki Salim terhenti. Ia menoleh kekiri dan ia melihat ada beberapa kertas putih yang tertempel ditembok yang dilirik matanya. Diatas kertas putih itu tergurat nama-nama kitab muqoror kuliah beserta harga-harganya. Disamping kertas itu ada kertas lain lagi yang berisi tentang berbagai macam pemberitahuan. Termasuk pemberitahuan wajib bayar iqomah dengan harga yang cukup mahal.  

Langkah Salim yang tadinya sigap sekarang menjadi kaku dan beku. Seluruh badannya lemas mengendur dan kepalanya menunduk. Lalu perlahan ia mendekat kearah salah satu tembok dan menyandarkan dirinya pada tembok tersebut. Kemudian perlahan badan Salim jatuh dan terduduk. Salim kembali membuka tangannya yang erat menggenggam uang tadi. Ia tahu, bahkan uang yang ada ditangannya sekarang tidak cukup untuk memenuhi semua tuntutan yang tertulis diatas guratan kertas itu. “Bagaimana aku harus menelpon kakakku” pikirnya. Dengan berat langkah Salim kembali mendaki tangga itu dan mengurungkan niatnya untuk mendengar suara kakak tercinta.

***
  

Pagi itu seusai shalat subuh, Salim duduk termangu ditempat sujudnya. Ia sudah tidak mampu lagi untuk mengartikan takdir dunia. Seakan segala sesuatunya tidak berpihak lagi kepadanya. Dia telah kehilangan keluarganya dan sekarang dia merasa telah kehilangan semangat hidup. Air matanya mulai mengalir lagi membasahi guratan-guratan wajahnya yang mulai melelah menghadapi teka-teki dunia. Kemudian salah seorang teman tak dikenal menegurnya dari samping. Mungkin itu adalah teguran pertama dari teman seangkatannya. Karena selama ini Salim hanya diam dan menyendiri.
“ada ijtima’ (kumpulan) di asrama” kata teman tak dikenal itu mengajak Salim.

Semua orang seangkatan Salim dikumpulkan disebuah ruangan yang cukup besar di asrama itu. “ada kejadian apa?” pikir Salim kaget dan penasaran. Terlihat di pojok paling depan ada seorang anak muda yang sedang berpidato. Salim menyimak sejenak isi pidato pemuda itu. Ternyata pemuda itu adalah ketua dari organisasi perkumpulan pelajar Indonesia di negri Saba’. Dan dari pidatonya itu Salim mengerti. Lagi-lagi dia harus mengeluarkan duit.

Salim menjauh dari perkumpulan itu dan diam sejenak untuk kembali memikirkan keadaannya. Salim memutar balikkan pikirannya. “aku tidak akan bisa bertahan selamanya seperti ini” pikirnya. Salim harus mempunyai penghasilan untuk bisa memenuhi semua tuntutan kebutuhannya. Sejenak sosok sang kakak mulai terlintas lagi dipikirannya. Lalu “aku harus bekerja” pikirnya lagi. Salim terus berpikir tentang pekerjaan yang cocok untuknya. Suatu pekerjaan yang tidak membutuhkan modal. Suatu pekerjaan yang bisa ia lakukan. Suatu pekerjaan yang tidak begitu memakan waktu banyak. “tapi apa?” jerit Salim dalam pikirannya. Mata Salim mulai liar memandangi sekitarnya berharap akan ada masukan dari mereka-mereka yang terekam oleh penglihatannya. Ternyata benar, Salim mendapat ide. Suatu pekerjaan yang tidak membutuhkan modal besar, ringan dan bisa dilakukan setiap orang dan juga tidak memakan waktu yang begitu banyak.

Keesokan harinya, para mahasiswa yang tinggal di asrama itu memadati sebuah tembok di lantai bawah dekat pintu masuk. Ternyata ada sebuah pengumuman aneh yang tertempel di tembok itu. Pengumuman itu ditulis diatas sebuah kertas tulis dengan tulisan tangan sekenanya. Isi pengumuman itu kira-kira :
“menerima cucian dengan jenis pakaian apa saja. 10 real per potong pakaian besar dan 5 real per potong pakaian kecil”. Dibaris paling bawah tertulis jelas nama “SALIM FAKHRUDDIN”.

Akhirnya sedikit demi sedikit Salim bisa memenuhi kebutuhannya. Dengan uang yang ia punya sebelumnya dan ditambah hasil mencucinya yang tidak seberapa akhirnya Salim bisa membeli kitab muqoror kuliah. Namun Salim tidak bisa membayar iqomah. Akhirnya dengan terpaksa Salim harus menjual handphone kuno miliknya. Lalu Salim dengan giat lagi untuk menerima pakian-pakaian kotor teman-temannya. Banyak sekali mahasiswa yang menyucikan baju mereka kepada Salim. Sehingga Salim, hampir sebagian waktunya ia habiskan dikamar mandi. Salim tahu, mungkin pekerjaan ini sangat tidak terhormat. Tapi apa mau dikata. Begitulah dunia mendikte anak manusia. Tangan Salim mulai pucat, kriput dan hancur. “kakak” terlintas lagi dalam pikirannya. Air matanya mengalir lagi menitiki pakaian-pakaian yang remas-remas oleh tangannya.

Walau hasil keringatnya itu tidak seberapa, tapi Salim ikhlas menerima takdir hidupnya. “aku bukan seperti mereka” kata Salim dalam hati sambil melihat kearah teman-temannya. Salim semakin menjadi asing diantara teman-temannya. Pasalnya, semua teman Salim memiliki handphone yang bagus-bagus dan laptop yang mahal-mahal. Sementara Salim hanya seorang tukang cuci yang terbuang dari kumpulan orang-orang tinggi. Salim harus bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang tidak pas. Sementara temannya, cukup menghubungi Indonesia lalu uang cair berjuta-juta.

***
Waktu demi waktu telah ia lalui sebagai tukang cuci. Namanya sebagai Salim si Tukang cuci sudah masyhur sekali ditelinga para mahasiswa lainnya. Tapi hasil yang ia dapat dari mencuci tetap saja tidak dapat mensejahterakan hidupnya. Setiap bulannya uang hasil ia mencuci selalu saja habis untuk membeli kebutuhannya sehari-sehari. Karena memang hasil mencuci itu tidak seberapa banyaknya.

Akhirnya beberapa bulan setelah kedatangan mereka di Negri Saba’, lebaran Idul Adha tiba. Suara takbir menggema dimana-dimana.

Allahu akbar
Allahu akbar
Allahu akbar
La ilaha illa Allah
hua Allahu akbar
Allahu akbar
walillahil hamd

Semua teman-teman Salim sibuk dengan handphone mereka. Ada juga sebagian mereka yang menelpon diwarnet. Itu adalah malam yang mulia untuk berkumpul pada keluarga. Tapi Salim, semenjak dari hari kedatangannya ia belum pernah mendengar suara kakaknya. Dan sekarang uangnya tidak cukup untuk menelpon ke Indonesia. Kemudian ia ingat lagi dengan masa kecilnya yang masih utuh sekeluarga. Ada ayah, bunda dan sang kakak. Dan, dia menyeka air matanya yang mulai jatuh itu dan tersenyum. “Aku harus tegar” bentaknya kuat dalam batin. Lalu ia mengeluarkan selembar poto dari lepitan bukunya. Poto itu adalah poto lengkap mereka sekeluarga yang paling baru diambil sekitar tujuh tahun yang lalu sesaat sebelum Salim berangkat ke tanah Jawa. Air mata Salim pecah memandangi poto itu. Ia sangat merindukan keluarganya. “mungkin tidak sekarang” pikirnya “dalam kehidupan yang kedua kami sekeluarga pasti akan bersama, ayah, bunda, tunggu kami disana”. Lalu ia peluk photo itu erat sekali ditemani gema takbir sampai akhirnya mentari esok bersinar lagi.


THE END.


Abu Dohak, hari tasyriq terakhir, Tareem 2010.



Sabtu, 12 Mei 2012

AKU INGIN TERUS BERMIMPI

Keningku terkecup, dan tatapku melekat menututi ibu. Pintu terhempas pelan dan ibuku menghilang dari pandanganku. Kutarik nafas panjang kedalam, menikmati kesendirianku. Beberapa jengkal tepat diatas kepalaku ada air yang tak pernah jemu menetes. Kata mereka, air itu obat, sangat penting untukku.

“selamat!!”. Tangannya terjulur menanti tanganku.
Lalu aku menggenggam tangannya yang halus, kemudian tersenyum menyambut senyumya yang manis.
“aku pasti akan sangat merindukanmu”. Ujarnya.
Dan bibirku runyam untuk membahasakan segala perasaanku.
“bisakah kau menunggu?”.
Ia diam tersenyum lebar.
Aku benci menunggunya bicara.
“mungkin akan sangat berat bagimu”. Kataku melepas sedikit harapan.
“aku akan menunggumu!”.
Membuat semangatku matahari. Iya! Untuk segala urusan hidupku.
Kemudian aku terbang meninggalkan kepulauan Indonesia.

“Lion, ini buburnya, makan mama suapin ya”.
Entah kapan ibuku masuk, aku tidak sadar. Kupandangi ibu yang begitu tegar menyuapiku. Baru tiga sendok kutelan, aku terpaksa harus mengeluarkannya. Aku tak ingin tapi terpaksa. Namun tidak ada kekesalan diraut wajah ibu. Dengan tabah ia membersihkan muntahku dan mencoba menyuapiku sekali lagi. Namun tetap saja percuma!.

“Mr. Lion, Indonesian”. Seorang wanita mengangkat tulisan itu ditangannya.
Riang aku menggeret koperku menghampirinya.
“yes, I am Lion”.
Wanita itu menggeleng.
“I am here, my name is Lion”.
Ia menggeleng lagi dan bilang :
“no, I wait Lion (ia baca Laen) not you!”.

Dingin terasa menyentuh dadaku. Mataku terbuka, ada seorang pria tampan berjas putih dihadapanku. Hampir saja aku mengira pria itu adalah malaikat yang akan mencabut nyawaku.
“bagus, tapi Lion harus banyak makan agar kuat ya”.
Aku diam dan pria itu pergi menghampiri ibu yang berdiri didekat pintu. Mereka berbincang lama dan aku enggan memperdulikan itu.

“ibu, doakan anakmu. Ujian kali ini penentu siapa yang akan diajak terbang mengangkasa nantinya, Your son, Lion”. Pesan singkat itu pun terkirim. Hanya sekitar seratus mahasiswa dari beberapa Negara yang berhasil mengikuti ujian itu termasuk aku dari Indonesia. Tapi sayangnya, hanya dua orang saja yang dipilih. Apakah termasuk juga aku dari Indonesia?.

Aku terjaga lagi karena suara ramai yang membisingi telingaku. Dan ternyata, teman-temanku dari SDN 5 beserta ibu guru datang menjengukku.
“apa kabar Lion?”. Kata mereka serempak menggemuruhi ruangan.
Dan aku pun tersenyum, suka. Terasa hangat dalam keramaian yang meriakan, rintihku terenyuh.
“aku ingin seperti mereka!”. Dan air mataku terpaksa harus mencucur untuk yang kesekian kalinya.
“jangan sedih! Ibu guru dan teman-temanmu ada disini bersamamu”. Ibu guru menenangkanku.

“selamat ibu! Kau melahirkan anak yang cerdas! Anakmu termasuk dua orang yang terpilih untuk terbang keluar angkasa. Seminggu lagi kami akan mulai uji coba dan beberap keperluan lainnya. Jika tidak ada halangan, tahun depan Lion akan berada diluar angkasa. Doamu selalu, Ibu”.
Sumpah aku sangat senang sekali.
“ibu pasti bangga”. Pikirku dalam hati.

Suara ramai lagi. Kali ini keloga-kolega ibu yang datang. Mereka baik-baik. Mereka meberikan bunga padaku. Bahkan ada yang iba dan mengecup keningku. Agak jauh dariku, mereka bicara pada ibu. Dan ibu menangis menelan kata-katanya. Aku tidak kuasa melihatnya. Seharusnya akku membuat ibu bangga. Aku anak satu-satunya ibu, tanpa saudara, tanpa ayah. Aku tidak pernah mengenal ayahku.

“one, two, three, ready?”.
Kami semua tegang dengan posisi kami. Tapi aku sangat gembira. Dan tiba-tiba bergetar dan bergetar semakin kencang hingga benturan dahsyat terjadi ketika pesawat kami berusaha menembus atmosfer bumi. Kemudian bumi biru tampak olehku dengan bulatnya. Aku sungguh takjub dan takjub. Dan kami melayang semakin menjauh.

Kupikir pesawat kami hilang dan aku sendiri tanpa tabung oksigen melayang diangkasa. Sesakku sungguh luar biasa dan wanita-wanita cantik berpakaian putih mengelilingiku, memasang selang oksigenku, memeriksa tekanan darahku dan denyut nadiku. Ibuku menangis kencang dikejauhan.
“ibu, kenapa kau?”.
Lalu ibuku memudar dari tatapku. Kecantikan-kecantikan wanita berseragam serba putih itu pun hilang.
“kenapa semuanya hitam, menggelap?”.

Kilauan cahaya potret kamera sibuk menjamu kedatanganku. Tanah air yang kucinta, aku kembali menjejaknya. Bukan aku sombong, tapi aku tidak punya waktu menjawab semua pertanyaan wartawan yang mengiang tidak jelas ditelingaku. Karena aku pun tidak lama di Indonesia. Aku pulang hanya untuk dua hal. Memeluk ibu dan menepati janji. Karena dulu aku sudah berjanji untuk kembali ke Indonesia setelah selesai kuliah. Kupikir aku akan selesai 5 tahun, ternyata 13 tahun. Tapi ia tetap sabar menungguku. Untuk itulah aku harus cepat-cepat melamarnya lalu membawanya dan ibu kembali ke Amerika karena NASA memintaku untuk bergabung bersama mereka.

Ricuh, aku mendengarnya. Tangisan ibu yang paling kencang. Ya, aku dapat mendengar tangisan ibu dengan jelas. Tapi kenapa aku susah membuka mataku?.

Aku harus konsentrasi penuh belakangan ini untuk misi besar NASA tahun depan. NASA akan terbang kebulan, termasuk aku. Hampir 20 jam sehari kuhabiskan waktuku di laboratorium meninggalkan anak dan istri dan juga ibuku. I am sorry.

Akhirnya aku bisa membuka mataku. Meski masih sayu, tapi aku dapat melihat kecemasan terpatri diwajah wanita-wanita berseragam serba putih yang mendorongku. Dimana ibu? Setetes air terjatuh menitiki keningku. Ternyata air mata ibu. Dan tangannya dingin erat menggenggam tanganku. Aku ingin sapa : “ibu”. Tapi bibirku susah untuk kuangkat. Kucoba, namun tetap tidak bisa. Lalu seorang pria berbaju putih menahan ibuku untuk masuk bersamaku. Pria itu jahat. Ia paksa menarik genggaman ibuku dari tanganku. Aku ingin ibu, ibu, ibu.

“ibu !!!!!!!!!!!!!”. jeritku kuat.
Aku kembali kebelakang dan berlari memeluk ibu kuat.
“ibu akan menunggumu disini. Pergilah! Dan kembali dengan selamat”.
Dibawah pesawat yang akan menerbangkan kami kebulan, patner-patner kerjaku haru menungguku.
“apa ibu bangga dengan putramu?”.
“ibu bangga, ibu bangga sekali kepadamu, Lion”. Isak ibu dengan tangisnya pecah.
Dan aku pun melambaikan tangan kepada ibu, anak dan istriku. Lalu aku terbang, terbang tinggi meninggalkan bumi.

Aku Lion 9 tahun. Meski ibu tidak pernah memberitahuku yang sebenarnya, tapi aku tahu dari percakapan-percakapan samar yang kau curi dari penjengukku. Kata mereka, Lion terserang kanker ganas, entah kanker apa dan sudah stadium akhir. Bahkan aku dengar dokter bilang, hidupku tidak mungkin lebih dari 6 bulan. Tapi satu hal yang perlu kau tahu kawan, meski apapun takdirku, aku tidak pernah mau berhenti bermimpi. Karena bermimpi itu, begitu indah.








ABU DOHAK, HOSPITAL LAM WAH EE, MALAYSIA, 02.30 am, 07/05/2012.