Malam
itu, semua tas Salim sudah siap. Semua baju dan beberapa buku sudah dimasukkan
rapi kedalam tas. Rupanya setelah beberapa bulan kematian bunda, Salim
memperoleh beasiswa untuk belajar ke Negri Saba' di Timur Tengah. Ini merupakan
kesempatan emas bagi Salim. Dengan segala pertimbangan dan pertimbangan,
akhirnya Salim memutuskan untuk menerima beasiswa itu dengan konsekwensi ia
harus meninggalkan kakaknya Linda seorang diri di tanah air. Karena beberapa
tahun sebelum kematian ibunda, ayah mereka terlebih dahulu berangkat kepangkuan
Ilahi dan Linda adalah satu-satunya saudara Salim. Berat rasanya meninggalkan
kakaknya itu sebatang kara. Dia satu-satunya yang Salim punya. Dan Salim sangat
menyayanginya. Selama lima tahun kedepan mereka tidak akan berjumpa. Dipisahkan
oleh daratan dan samudera.
Ini
adalah keberangkatan Salim untuk yang kedua kalinya meninggalkan rumah. Dulu,
sekitar enam tahun yang lalu, seorang anak Medan Salim Fakhruddin pernah
berangkat meniggalkan rumah untuk menimba ilmu di tanah Jawa. Masih terekam
jelas detik-detik keberangkatan enam tahun lalu itu dimemori kepala Salim.
Dikala itu, masih ada ibu dan ayah Salim. Ia masih ingat ketika bundanya dengan
titikan air mata memasukkan baju-bajunya kedalam tas. Ada sang ayah yang duduk
dibangku pojok rumah memperhatikan sertifikat-sertifikan prestasi anaknya. Ada
sang kakak Linda yang masih remaja membantu bunda mengemasi baju Salim kedalam
tas. Semuanya masih terekam jelas. Seakan baru dua jam yang lalu peristiwa enam
tahun silam itu. Ia masih ingat ketika air mata bundanya terjatuh keatas sebuah
mushaf al-qur'an yang diselipkan sang bunda kedalam tasnya. Lalu mereka
sekeluarga berpelukan.
"enam
tahun yang lalu" tandas Salim dalam hati. Waktu mengubahnya begitu cepat.
Ketika Salim kembali dari memori pikirannya, ia melihat gambaran enam tahun
lalu itu dihadapnnya. Ya, masih pada tempat dan tas yang sama dengan enam tahun
lalu itu, yang berubah adalah hanya ada seorang kakak dihadapannya. Ayah dan
sang bunda sudah sirna kealam baka. Salim spontan menoleh kekursi yang dulunya
diduduki sang ayah, lalu kemudian pandangan dan tubuh Salim mengendur dan
kepalanya menunduk. Kursi itu kini kosong. Ia menoleh ke al-qur'an yang dulunya
dijatuhi air mata sang bunda. Al-qur'an itu masih bagus dan utuh. Lalu Salim
mengambil dan mengusapnya. "mana air mata ibuku dulu" jerit suara
batin Salim. Kemudian Salim memeluk al-qur'an itu erat-erat. Salim sangat rindu
sekali kepada bundanya. Seandainya ada
suatu permintaan yang pasti dikabulkan Salim akan meminta keluarga mereka utuh
kembali. Air mata Salim pun tertumpah ketika memeluk al-qur;an itu. "ibu
…. Ibu …" bentak suara Salim dalam hati.
"sudahlah
Lim, kau harus tidur, besok pagi-pagi sekali kau harus berangkat" kata
Linda kakaknya. Linda tahu Salim memiliki masa depan yang cerah. Untuk itu
Linda tidak mau menjadi penghambat masa depan Salim. Linda harus kelihatan
tegar agar Salim tidak membatalkan niatnya berangkat ke negri Saba'. Walau hati
Linda sangat terenyuh sekali atas kepergian Salim, Linda tidak boleh menitikkan
air mata dihadapan Salim. Tapi Linda tidak tahan. Matanya mulai memerah dan
berair. Air mata itu ibarat air bak yang sedang turun dari pegunungan, deras
sekali. Sehingga bisa menghancurkan bendungan-bendungan air. Linda tidak bias
menahannya. Akhirnya : "kau tidur
lah cepat, kakak juga sudah mengantuk" kata Linda mencari alasan. Lalu
dengan buru-buru Linda beranjak dari tempat itu menuju kekamar. Tapi air mata
itu sudah tak terbendung lagi ingin keluar. Karena yang dekat dari tempat itu
adalah kamar mandi, dengan terpaksa Linda harus memuntahkan air matanya di
kamar mandi. Linda berusaha keras untuk meredam suara tangisannya agar tidak
diketahui oleh Salim. Linda sangat sayang sekali dengan adiknya itu.
"pergilah
dik, kau punya masa depan yang cerah, jangan kau pikirkan kakakmu ini"
kata Linda lirih sambil menitikkan air matanya.
***
Pagi-pagi
sekali dan matahari sudah mulai memunculkan diri. Entah kabar berita apa yang
ingin disampaikan bola api raksasa itu. Salim dan kakaknya pun bergegas menuju
Belawan, sebuah pelabuhan yang akan menjadi awal lonjakan Salim untuk berangkat
ke Jakarta. Dan setelah itu Salim akan melonjak tinggi terbang ke udara menuju
negri Saba' dipinggiran gunung sahara. Tepat pukul delapan pagi, kapal yang akan
ditumpangi Salim melaut diperairan Inodnesia. Seharusnya masa-masa seperti ini
adalah masa-masa yang menyenangkan bagi setiap orang. ‘Beasiswa luar negri’,
Seharusnya Salim gembira. Tapi sekali-kali tidak. Semakin dekat saat-saat
keberangkatannya Salim malah tambah semakin murung dan sedih. Apa lagi ketika
ia melihat kakak semata wayangnya. Hati Salim terus bertanya-tanya dan
khawatir. "sama siapakah kakakku akan tinggal? Siapa yang akan menjaganya?
Siapa yang akan memberinya uang untuk makan?" Salim terus bertanya-tanya.
Karena memang Salim meninggalkan seorang kakak yang belum menikah dan belum
mempunyai pekerjaan tetap. Tapi ketenangan dan ketegaran yang diaurakan
kakaknya membuat Salim merasa yakin dan mantap untuk tetap berangkat. Mungkin
inilah yang disebut dengan takdir Tuhan. Ketika Tuhan telah menetapkan bagi
Salim untuk berangkat maka tidak ada alasan bagi Salim untuk menawarnya.
Mereka
berdua sudah rapi dan siap untuk meninggalkan rumah.
"tunggu
sebentar" kata Salim kepada kakaknya yang ketika itu hendak mengunci
pintu. Pada saat itu mereka berdua dan semua tas-tas Salim sudah berada di luar
rumah.
"ada
yang tinggal Lim?" Tanya kakaknya.
"tidak"
jawab Salim. Salim kemudian membuka pintu yang hampir terkunci itu. Salim hanya
memasukkan sedikit sisi badannya kedalam rumah yang sekiranya ia bias melihat
jelas semua titik ruangan di rumah itu. Salim memadangi semua sudut ruangan
dengan seksama. Dirumah yang sempit itu di setiap sudutnya mengandung sejuta
kenangan. Tiba-tiba selintas lalu, Salim terbayang ada dua orang anak kecil
laki-laki dan perempuan yang sedang berkejar-kejaran lalu kedua anak kecil itu
jatuh kepelukan seorang wanita. Ya, lagi-lagi Salim teringat dengan masa
kecilnya. Memang sungguh banyak sekali kenangan. Salim pandangi lagi rumah itu
dengan dalam. Beberapa bulan lalu mayat bundanya terbungkus kain putih rapi
tergeletak disitu. Salim tak tahan. Air matanya pecah menyobek-nyobek masa
lalunya.
"lima
tahun aku akan kembali" tandas Salim dalam hati. "ayo kak kita
pergi!".
Mereka
berdua beranjak meninggalkan rumah kenangan itu. Jarum jam sudah menunjukkan
pukul 06.30. butuh satu jam dari rumah Salim untuk sampai kepelabuhan Belawan.
Dipinggir jalan lebar dan diujung gang perumahan Salim, Salim dan kakaknya
duduk diam menunggu taksi. Satu jam pun berlalu akhirnya mereka sampai ketempat
tujuan "Belawan". Ditempat inilah enam tahun lalu Salim meninggalkan
kakak dan ibundanya untuk berangkat mondok di tanah Jawa. Tapi waktu itu, Salim
ditemani sang ayah mengarungi perairan Indonesia. Namun sekarang semuanya
hanyalah tinggal bayang-bayang. Tak ada ayah dan ibu tak ada pula lah tempat
mengadu. Hanya ada rintikan air mata dan berjuta rasa rindu. Air mata Salim
terus mengalir deras tanpa mengeluarkan suara dari mulutnya, namun hatinya
menjerit-jerit berpilukan hampa. Masih terekam jelas saat-saat enam tahun lalu
itu di ingatan Salim bahkan di ingatan kakaknya Linda. Namun Linda, dia sudah
berjanji pada dirinya agar tidak mengeluarkan air mata dihadapan Salim. Linda
harus tegar karena saat-saat ini Linda adalah tempat Salim untuk bersandar.
Akhirya,
Salim dan Linda tiba dipenghujung jalan. Setelah batas jalan itu, selain
penumpang tidak diperbolehkan masuk. Salim dan Linda berhenti. Detik-detik itu
adalah detik-detik perpisahan mereka. Salim menyalami tangan kakaknya dan
menjunjung tangan itu kekeningnya. Dan air mata Salim tak juga kunjung berhenti
mengalir. Ia memandangi kakaknya. Dalam pandangan yang banjir air mata itu,
Salim menggelengkan kepalanya kepada Linda. Linda langsung menyambut kepala
adiknya itu dan memeluknya. Suara tangis Salim pecah seolah bocah yang baru
berusia lima tahun. Perasaan Linda terenyuh dan terpukul. "siapa yang rela
membiarkan kau pergi" bisik Linda dalam hati sambil berusaha keras menahan
tumpahan air matanya.
"sudahlah
nanti kau terlambat" kata kakaknya.
"jaga
dirimu baik-baik kak, mau bilang apa aku nanti dengan ayah dan bunda kalau
kakak kenapa-kenapa". Sambil senyum kakaknya menjawab :
"kau
tak usah takut Lim, kakak sudah dewasa, kau lah yang seharusnya berhati-hati,
kau akan jauh di negri orang, jagalah dirimu, buat ayah dan bunda kita bangga
Lim".
"Salim
tidak akan mengecewakan mereka kak, Salim janji!"
Mata
Linda mulai berair. Namun ia dengan usaha keras masih bisa berhasil
membendungnya. Lalu mereka berdua kembali berpelukan. Dan pelukan itu adalah
pelukan terakhir mereka diusia muda.
"hati-hati!
Jaga dirimu Lim" tangan mereka berdua pun terpisah terputus terhalangi
oleh jarak. Linda masih memandangi Salim menaiki tangga kapal. Terus sampai
Salim sudah benar-benar masuk kedalam kapal. Salim melambaikan tangannya kepada
sang kakak diluar kapal dari balik jerusi besi pinggiran kapal. Dan Linda pun
membalas lambaian tangan adiknya itu dengan lambaian pula. Dengan tersenyum
lebar Linda terus melambaikan tangannya. Namun Salim, air matanya semakin deras
keluar. Ia teringat peristiwa enam tahun lalu. Ketika ia dan ayahnya
melambaikan tangan dari balik jeruji besi kapal kepada Linda dan sang Bunda.
Linda belia yang waktu itu menangis hebat dibawah ketiak sang Bunda.
"kakak"
rintih Salim lembut. Ketegaran Linda yang sampai sekarang belum menitikkan air
mata membuat Salim mantap dan percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Lalu
suara berisik hebat dari corong kapal pun berbunyi. Pertanda bahwa kapal akan
segera lepas landas melaut di perairan Indonesia. Perlahan tangga kapal pun
mulai mengatupkan diri kebadan kapal. Tali-tali penghambat kapal pun mulai
dilepas satu persatu. Salim dan Linda masih terus saling melambaikan tangan.
Salim menangis begitu kencang. Sementara Linda masih terus berusaha menahan
tangisannya. Suara corong kapal itu berbunyi kembali. Lalu kapal perlahan-lahan
menjauh dari sisi pelabuhan. Sambil melambaikan tangan Linda berlari mengitari
sisi pelabuhan untuk bisa melihat wajah Salim dengan jelas. Dan diujung sisi
pelabuhan itu, Linda tak kuasa lagi berlari. Ia memuntahkan air matanya yang
selama ini ia tahan-tahan. Ia menjerit "Saliiiiiimm…jaga dirimu
baik-baik". Melihat tumpahan air mata kakaknya itu, Salim menjadi gamang
dan ragu.
"kakaaaakk…"
jerit Salim sekuat hatinya. Raut wajah Salim berubah drastis. Ketakutan,
kekhawatiran, kesedihan dan penyesalan semuanya berbaur membentuk raut wajah
itu. Kemudian Salim berlari mengitari jeruji besi kapal untuk menemukan tangga
yang ia naiki tadi dengan maksud hati agar ia bisa keluar dan kembali kepada
kakaknya. Namun semuanya sudah terkunci dan tergembok rapi. Sementara itu jarak
mereka berduapun sudah semakin menjauh. Wajah Linda tak lagi terlihat dimata
Salim. Begitu juga dengan Linda. Hanya lambaian tangan Lindalah yang terlihat
kecil dari kejauhan.
"kakaaak…"
jerit Salim lagi. Seluruh badan Salim melemas. Ia terduduk menyesali segalanya.
"seharusnya aku tidak pergi" rintih Salim. "kak, maafkan aku,
jaga dirimu kak". Air matanya terus mengalir dan jatuh menitiki lautan.
Hingga akhirnya dihadapannya sosok Linda sirna berubah menjadi hamparan lautan
biru yang luas yang tidak tahu entah mana ujung dan mana pangkalnya.
***
Selama
tiga hari Salim berlayar diperairan Indonesia. Dan akhirnya ia tiba di Jakarta.
Salim bimbang, ia ingin kembali pulang. Tapi sayang, uang yang ada disakunya
tidak akan mencukupi tiket perjalanan pulang kembali ke Medan. Duduk lama ia di
pelabuhan Tanjung Periok Jakarta memikirkan konsekwensi segala keadaan.
Akhirnya ia memutuskan untuk menelpon kakaknya terlebih dahulu dengan sisa uang
yang ada disakunya. Alasan demi alasan, pertimbangan demi pertimbangan mereka
bicarakan dan kesepakatan pun mereka temukan. Kesepakatannya adalah takdir
Tuhan yang tidak bisa dielakkan. Salim harus tetap berangkat demi masa depan. Salim
sudah mulai mantap lagi untuk mengambil jalannya. Memang Linda adalah sandaran
yang luar biasa bagi Salim. Saat Salim bimbang dan ragu ada Linda yang selalu
bisa meyakinkannya. Ia pun keluar dari pelabuhan Tanjung Periok Jakarta. Dengan
uang yang masih tersisa, Salim menahan sebuah taksi yang akan menghantarkannya
ke salah satu pesantren di Jakarta yang menjadi tempat berkumpulnya para calon
mahasiswa penerima beasiswa.
Sesampainya
di tempat tujuan, Salim dan para calon mahasiswa penerima beasiswa lainnya
masih digembleng selama satu hari disana. Mereka menerima berbagai
pengarahan dan bimbingan dari lembaga pemerintah dan lembaga pemberi beasiswa.
Sebagian dari penerima beasiswa itu ada yang masih bersama orang tua mereka
dipesantren. Ada lagi yang seluruh keluarga besarnya ikut serta menghantarkan
pelepasan putra tercinta. Ada dipojok sana beberapa orang calon mahasiswa
sedang bercanda ria dengan teman-teman mereka. Ada yang sibuk menelepon. Disisi
pojok yang lain ada beberapa orang yang sedang asyik mengobrol dengan ditemani
sebatang rokok dan secangkir kopi. Macam-macam keadaan para calon mahasiswa
penerima beasiswa itu. Tapi, dipojok tempat Salim terduduk, hanya ada kesunyian
dan keheningan. Dia sendiri tanpa kata dan tanpa suara. Tanpa ada kakak dan
keluarga. Tanpa ada teman dan canda ria. Salim masih memikirkan sang kakak.
Ditemani dengan nyanyian-nyanyian angin dingin yang merasuki kulitnya, Salim
kembali menjatuhkan air matanya. Menitik membasahi guratan-guratan cinta yang
terpatri dari wajah anak yang menginjak usia dewasa. Malam itu pun berlalu
begitu saja. Tanpa ada suara dan teguran dari teman sebaya. Ditemani oleh bulan
dan gemerlap bintang-bintang angkasa Salim tertidur lelap di pojok tempat ia
duduk tadi sambil menunggu kabar penting diesok hari dari sang surya.
***
Akhirnya,
seiring dengan perputaran jarum jam, Salim dan para calon mahasiswa penerima
beasiswa lainnya segera menuju bandara Soekarno-Hatta. Segala persiapan sudah
mereka selesaikan. Dan sekarang giliran meninggalkan pesantren lalu kemudian
terbang meninggalkan tanah air Indonesia.
Dan
takdir Tuhan sungguh pasti terlaksana. Salim dan Linda kakaknya kini telah
terpisahkan daratan tandus dan samudera. Salim telah sampai ketempat sahara.
Negri Saba’ tempat seribu awliya’. Namun, tak ada yang berubah pada diri
Salim. Dia tetap saja murung dan merasa bersalah.
Setelah
sampai di negri Saba’ dan mendapatkan tempat tinggal (sakan) teman-teman yang
seberangkatan dengan Salim sudah saling kenal mengenal. Mereka sudah saling
tukar menukar tawa dan canda ria. Tapi Salim dia masih malas untuk mengeluarkan
kata. Hari-harinya lebih dia isi dengan merenung dan merenung. Hingga suatu
hari, ketika Salim sudah tidak bisa lagi menahan rasa rindu kepada sang kakak
satu-satunya keluarga yang masih tersisa, Salim pun berpikir untuk menelponnya.
Lalu ia keluarkan sisa uang real yang dia tukarkan di bandara waktu itu. Tinggal
itu satu-satunya uang Salim. Salim diam sejenak dan memandangi uangnya lalu
senyuman kecil terekah dibibirnya. Entah apa arti rekahan senyuman itu. Mungkin
ada sedikit kegembiraan hadir dilubuk jiwanya Karena pikirnya dia akan mendengar
suara kakak tercintanya.
Salim
menggenggam uang itu erat-erat. “uang terakhir” Salim tidak tahu lagi entah
bagaimana kedepannya nanti. “yang penting kakakku dulu” pikirnya. Lalu Salim
bergegas dengan langkah cepat keluar dari kamar dan menelusuri anak tangga
hingga tepat sampai didepan pintu masuk asrama tiba-tiba langkah kaki Salim
terhenti. Ia menoleh kekiri dan ia melihat ada beberapa kertas putih yang
tertempel ditembok yang dilirik matanya. Diatas kertas putih itu tergurat
nama-nama kitab muqoror kuliah beserta harga-harganya. Disamping kertas
itu ada kertas lain lagi yang berisi tentang berbagai macam pemberitahuan.
Termasuk pemberitahuan wajib bayar iqomah dengan harga yang cukup mahal.
Langkah
Salim yang tadinya sigap sekarang menjadi kaku dan beku. Seluruh badannya lemas
mengendur dan kepalanya menunduk. Lalu perlahan ia mendekat kearah salah satu
tembok dan menyandarkan dirinya pada tembok tersebut. Kemudian perlahan badan
Salim jatuh dan terduduk. Salim kembali membuka tangannya yang erat menggenggam
uang tadi. Ia tahu, bahkan uang yang ada ditangannya sekarang tidak cukup untuk
memenuhi semua tuntutan yang tertulis diatas guratan kertas itu. “Bagaimana aku
harus menelpon kakakku” pikirnya. Dengan berat langkah Salim kembali mendaki
tangga itu dan mengurungkan niatnya untuk mendengar suara kakak tercinta.
***
Pagi
itu seusai shalat subuh, Salim duduk termangu ditempat sujudnya. Ia sudah tidak
mampu lagi untuk mengartikan takdir dunia. Seakan segala sesuatunya tidak
berpihak lagi kepadanya. Dia telah kehilangan keluarganya dan sekarang dia
merasa telah kehilangan semangat hidup. Air matanya mulai mengalir lagi
membasahi guratan-guratan wajahnya yang mulai melelah menghadapi teka-teki
dunia. Kemudian salah seorang teman tak dikenal menegurnya dari samping.
Mungkin itu adalah teguran pertama dari teman seangkatannya. Karena selama ini
Salim hanya diam dan menyendiri.
“ada
ijtima’ (kumpulan) di asrama” kata teman tak dikenal itu mengajak Salim.
Semua
orang seangkatan Salim dikumpulkan disebuah ruangan yang cukup besar di asrama
itu. “ada kejadian apa?” pikir Salim kaget dan penasaran. Terlihat di pojok paling
depan ada seorang anak muda yang sedang berpidato. Salim menyimak sejenak isi
pidato pemuda itu. Ternyata pemuda itu adalah ketua dari organisasi perkumpulan
pelajar Indonesia di negri Saba’. Dan dari pidatonya itu Salim mengerti.
Lagi-lagi dia harus mengeluarkan duit.
Salim
menjauh dari perkumpulan itu dan diam sejenak untuk kembali memikirkan
keadaannya. Salim memutar balikkan pikirannya. “aku tidak akan bisa bertahan
selamanya seperti ini” pikirnya. Salim harus mempunyai penghasilan untuk bisa
memenuhi semua tuntutan kebutuhannya. Sejenak sosok sang kakak mulai terlintas
lagi dipikirannya. Lalu “aku harus bekerja” pikirnya lagi. Salim terus berpikir
tentang pekerjaan yang cocok untuknya. Suatu pekerjaan yang tidak membutuhkan
modal. Suatu pekerjaan yang bisa ia lakukan. Suatu pekerjaan yang tidak begitu
memakan waktu banyak. “tapi apa?” jerit Salim dalam pikirannya. Mata Salim
mulai liar memandangi sekitarnya berharap akan ada masukan dari mereka-mereka
yang terekam oleh penglihatannya. Ternyata benar, Salim mendapat ide. Suatu
pekerjaan yang tidak membutuhkan modal besar, ringan dan bisa dilakukan setiap
orang dan juga tidak memakan waktu yang begitu banyak.
Keesokan
harinya, para mahasiswa yang tinggal di asrama itu memadati sebuah tembok di
lantai bawah dekat pintu masuk. Ternyata ada sebuah pengumuman aneh yang
tertempel di tembok itu. Pengumuman itu ditulis diatas sebuah kertas tulis
dengan tulisan tangan sekenanya. Isi pengumuman itu kira-kira :
“menerima
cucian dengan jenis pakaian apa saja. 10 real per potong pakaian besar dan 5
real per potong pakaian kecil”. Dibaris paling bawah tertulis jelas nama “SALIM
FAKHRUDDIN”.
Akhirnya
sedikit demi sedikit Salim bisa memenuhi kebutuhannya. Dengan uang yang ia
punya sebelumnya dan ditambah hasil mencucinya yang tidak seberapa akhirnya
Salim bisa membeli kitab muqoror kuliah. Namun Salim tidak bisa membayar
iqomah. Akhirnya dengan terpaksa Salim harus menjual handphone kuno
miliknya. Lalu Salim dengan giat lagi untuk menerima pakian-pakaian kotor teman-temannya.
Banyak sekali mahasiswa yang menyucikan baju mereka kepada Salim. Sehingga
Salim, hampir sebagian waktunya ia habiskan dikamar mandi. Salim tahu, mungkin
pekerjaan ini sangat tidak terhormat. Tapi apa mau dikata. Begitulah dunia
mendikte anak manusia. Tangan Salim mulai pucat, kriput dan hancur. “kakak”
terlintas lagi dalam pikirannya. Air matanya mengalir lagi menitiki
pakaian-pakaian yang remas-remas oleh tangannya.
Walau
hasil keringatnya itu tidak seberapa, tapi Salim ikhlas menerima takdir
hidupnya. “aku bukan seperti mereka” kata Salim dalam hati sambil melihat
kearah teman-temannya. Salim semakin menjadi asing diantara teman-temannya.
Pasalnya, semua teman Salim memiliki handphone yang bagus-bagus dan laptop yang
mahal-mahal. Sementara Salim hanya seorang tukang cuci yang terbuang dari
kumpulan orang-orang tinggi. Salim harus bekerja keras untuk mendapatkan hasil
yang tidak pas. Sementara temannya, cukup menghubungi Indonesia lalu uang cair
berjuta-juta.
***
Waktu
demi waktu telah ia lalui sebagai tukang cuci. Namanya sebagai Salim si Tukang
cuci sudah masyhur sekali ditelinga para mahasiswa lainnya. Tapi hasil yang ia
dapat dari mencuci tetap saja tidak dapat mensejahterakan hidupnya. Setiap
bulannya uang hasil ia mencuci selalu saja habis untuk membeli kebutuhannya
sehari-sehari. Karena memang hasil mencuci itu tidak seberapa banyaknya.
Akhirnya
beberapa bulan setelah kedatangan mereka di Negri Saba’, lebaran Idul Adha
tiba. Suara takbir menggema dimana-dimana.
Allahu akbar
Allahu akbar
Allahu akbar
La ilaha illa Allah
hua Allahu akbar
Allahu akbar
walillahil hamd
Semua
teman-teman Salim sibuk dengan handphone mereka. Ada juga sebagian mereka yang
menelpon diwarnet. Itu adalah malam yang mulia untuk berkumpul pada keluarga.
Tapi Salim, semenjak dari hari kedatangannya ia belum pernah mendengar suara
kakaknya. Dan sekarang uangnya tidak cukup untuk menelpon ke Indonesia. Kemudian
ia ingat lagi dengan masa kecilnya yang masih utuh sekeluarga. Ada ayah, bunda
dan sang kakak. Dan, dia menyeka air matanya yang mulai jatuh itu dan
tersenyum. “Aku harus tegar” bentaknya kuat dalam batin. Lalu ia mengeluarkan
selembar poto dari lepitan bukunya. Poto itu adalah poto lengkap mereka
sekeluarga yang paling baru diambil sekitar tujuh tahun yang lalu sesaat
sebelum Salim berangkat ke tanah Jawa. Air mata Salim pecah memandangi poto
itu. Ia sangat merindukan keluarganya. “mungkin tidak sekarang” pikirnya “dalam
kehidupan yang kedua kami sekeluarga pasti akan bersama, ayah, bunda, tunggu
kami disana”. Lalu ia peluk photo itu erat sekali ditemani gema takbir sampai
akhirnya mentari esok bersinar lagi.
THE
END.
Abu
Dohak, hari tasyriq terakhir, Tareem 2010.