Laman

Sabtu, 16 Juni 2012

GURU TERHEBAT

Dua tahun sudah aku mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Selama dua tahun itu pula aku sendiri, tanpa teman. Kata mereka, aku cengeng, pendiam, tidak bisa bergaul, makanya aku tidak punya teman. Tapi tunggu dulu, ditahun ketiga aku mengenal seseorang yang akhirnya menjadi sejarah tersendiri dalam hidupku.

Mereka bilang sih ia bandel, nakal dan bodoh. Tapi bagiku tidak! Ia malah sangat baik, ramah dan menyenangkan. Tapi kalau bodoh, mungkin mereka benar. Ia memang bodoh. Namanya Eko Sugiopranoto. Wah, nama orang jawa. Panggil saja Eko,memiliki IQ 88 dan, aku mengenalnya semenjak tahun ketiga sekolah dasar. Ia tidak naik kelas karena waktu itu Eko masih belum bisa membaca.

Semenjak itu kami berteman dan semakin akrab. Aku yang pendiam pun sedikit demi sedikit berubah. Kelas tiga aku sudah berani berkelahi ikut-ikutan Eko, lalu ikut tawuran dan berani menggoda wanita.

Tapi tunggu dulu, bukan hanya aku yang berubah. Eko pun mulai berubah.  Meski setiap pagi harus menjadi mangsa amarah guru, tapi setiap malam, setelah berhasil menaklukkan bintang, Eko duduk manis dihadapanku belajar membaca dan berhitung. Sangat susah memang mengajari orang yang memiliki IQ 88. Tapi meski tak semulus  jalan tol, Eko akhirnya berhasil naik kelas ditahun berikutnya.

Yang mengejutkan, ketika kami  kelas lima, Eko benar-benar berubah 180 derajat. Ia menjadi anak baik dan penurut. Mungkin karena orang tuanya baru meninggal dunia akibat kecelakaan. Waktu itu seorang Ek yang ber IQ 88 mulai berfikir selangkah lebih maju dariku. Ia mulai berfikir tentang mimpi dan masa depannya.

Siang itu, kami baru saja selesai ujian cawu II, tiba-tiba saja Eko menarik tanganku dari antrin panjang untuk memebeli es tung-tung favoritku.
“aku hampir saja mendapatkan esnya!”. Marahku pada Eko.
Ia tersenyum dan membisikkan satu hal kepadaku.

Aku bangga, senang, haru sekaligus geli. Betapa tidak, seorang Eko mengajakku untuk ikut kursus kaligrafi dengannya. Berkali-kali aku menolaknya karena kaligrafi bukan minatku. Tapi Eko terus memaksa hingga akhirnya aku menyerah dan menuruti keinginan Eko.

Empat bulan sudah kami belajar kaligrafi. Bahkan hingga empat bulan berlalu Eko masih belum bisa menulis huruf alif dengan baik dan benar. Ditambah lagi teguran yang terus-menerus datang dari pihak sekolah karena nilai Eko yang semakin anjlok. Hingga dua minggu sebelum ujian cawu III Eko terpaksa keluar dari kursus kaligrafi itu. Aku pun ikut keluar, karena dari awal kaligrafi bukanlah minatku. Tapi meski begitu, khattku jauh lebih baik dari empat bulan yang lalu.

Ujian pun berakhir. Dan dengan segala pertimbangan akhirnya pihak sekolah mengizin Eko untuk naik kelas enam.

Aku terkejut lagi, ketika Eko diam-diam mengajakku ikut les menyanyi.
“hey, sudahlah! Sebentar lagi kita akan menghadapi ujian akhir”.
Namun Eko tetap bersikeras dan aku harus mengalah lagi. Suara Eko memang tidak merdu, tapi aku bangga memiliki teman seperti Eko, memiliki sebukit semangat dan sangat menginspirasiku.

Enam bulan sudah kami belajar menyanyi. Tapi, tak satu lagu pun yang bisa dinyanyikan Eko dengan baik. Vokalnya sungguh hancur. Dan lagi, pihak sekolah arus turun tangan menjemput Eko untuk lebih memperhatikan sekolahnya.

SD selesai. Dan Eko lulus dengan nilai terendah se kabupaten. Kupikir, Eko butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri. Karena waktu itu tidak ada ceritanya anak SD tidak lulus sekolah. Semuanya pasti lulus. Tapi, entah ada sekolah menengah pertama yang mau menerimanya atau tidak.

Tapi aku salah besar.Eko dengan girangnya berlari dan langsung memelukku.
“aku lulus!!”. Teriaknya lantang. Lalu kami mengadakan pesta besar malam itu merayakan kelulusan kami.

Tahun ajaran baru dimulai. Eko satu sekolah lagi denganku. Ia diterima sebagai siswa sisipan dan percobaan karena nilai ijazahnya yang sangat jelek.

Masih sama sewaktu SD. Lagi Eko mengajakku melakukan hal yang tidak pernah aku duga. Kali ini ia mengajakku untuk menekuni music. Ia yang pertama kali mengajari memainkan gitar. Tapi, hingga lulus kelas tiga tak ada satu pun lgu yang bisa dinyanyikan Eko dengan gitarnya sempurna sampai akhir.

SMA aku satu sekolah lagi dengan Eko. Dan sekali lagi, semangatnya yang ingin melakukan segala hal membuatku mengaguminya. Ditahun pertama SMA Eko mengajakku ikut bergabung dengan grup teater. Tapi sayang, Eko gagap, Eko susah menyatu dengan perannya dalam scenario. Hingga dipenghujung tahun pertama, lagi-lagi Eko harus tercampakkan dari golongannya.

Dan untuk pertama kalinya aku melihat Eko duduk sendiri, menyendiri. Aku yakin, Eko pasti merenungi hidupnya. Ia tampak syok dan putus asa. Seakan semanat hidup itu padam diterpa badai kehidupan yang begitu menyeramkan. Apa lagi Eko mengalami krisis biaya dan terancan tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Karena bibi yang mengasuhnya meninggal dunia. Ditahun kedua SMA, Eko benar-benar tidak sekolah lagi. Ia bekerja di sebuah bengkel motor.

Pagi itu, berseragam sekolah, aku menemui Eko dibengkel tempatnya bekerja. Kau tak bicara, Eko pun tak bicara. Lalu aku mengeluarkan sepucuk surat. Eko membacanya dan, ia menangis dan langsung memelukku.
“raih mimpimu, kawan!”. Bisiknya.
Seminggu kemudian, aku berangkat ke Italy dalam program pertukaran pelajar selama setahun. Ya, aku terpilih.

Setahun berakhir dan aku kembali ke Indonesia. Karena ada beberapa prosedur yang tidak kulengkapi, akhirnya aku harus kembali belajar dibangku kelas dua. Aku tidak menyesal, toh aku harus menimba ilmu dikelas dua. Dan, yang membuatku tidak risau adalah Eko kembali besekolah dan kami satu kelas lagi.

Eko kembali pada semangatnya. Ia seperti dulu lagi. Kali ini, Eko mengajakku untuk ikut perguruan seni bela diri wushu. Dua tahun kami menekuni dunia itu. Tapi, setiap turnamen diselenggarakan, Eko tidak pernah lepas dari babak penyisihan, padahal dulu Eko sering berkelahi. Hingga suatu hari, Eko mengalami cidera serius pada saat latihan. Tulang pahanya patah dan tidak bisa melakukan split lagi.

Dan pada waktu yang sama, Eko tepilih menjadi ketua osis. Tapi, pertengahan tahun, Eko dengan legowo turun dari jabatannya karena tak satu agenda kegiatan yang telaksana selama Eko menjabat sebagai ketua Osis.

Dan, yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika Eko harus menelan ludah pahit karena tidak lulus ujian nasional.

Semenjak itu, aku tidak pernah lagi melihat Eko. Tidak pernah mendengar suaranya, bahkan tidak pernah  mendengar kabarnya sama sekali. Kami berdua benar-benar putus kontak. Karena selepas SMA, aku mendapat beasiswa ke Sorbonne. Hingga menamatkan pendidikanku sampai S3 selama 14 tahun. Menikah di Prancis dan, selama 14 tahun pula aku baru pulang ke Indonesia. Hanya beberapa minggu lalu kembali lagi ke Prancis, karena aku merasa cukup nyaman tinggal dinegara baruku dengan pekerjaanku sebagai seorang dosen.

Dan sekarang, aku hampir pensiun. Kupikir, ada baiknya jika menghabiskan masa tuaku di Indonesia. Aku memutuskan untuk terbang ke Indonesia dan mencari lahan yang cocok untuk ku garap dimasa tua.

Tapi, langkah dan minatku terhenti sejenak. Aku terpaku melihat poster super  besar seorang pria tua dijalan-jalan raya. Orang itu diiming-iming akan menjadi calon terkuat pemilihan presiden mendatang. Tapi, aku seperti mengenal orang itu. Ya, tak salah lagi, pria tua dipapan reklame itu adalah Eko Sugiopranoto temanku yang ber IQ 88 itu. Sedikit tak percaya dan rasa jpenasaran mendorongku untuk menyelidiki orang itu. Aku mendatangi kediaman keluarga jauh Eko, karena hanya mereka saudara EKo yang masih tersisa. Dari mereka, aku hanya mendapatkan alamat email Eko.

Aku langsung mengirim pesan ke calon orang nomor 1 di Indonesia itu.
“assalamu’alaikum. Aku Ipul, teman lamamu. Jika kau benar Eko Sugiopranoto yang kukenal dulu, maka balaslah pesan ini.”.

Sehari kemudian, ia benar-benar membalasnya.
“walaikumsalaaaaamm.. apa kabar kau? Kau meninggalkanku tanpa sebarang pesan, kawan. Tapi sudahlah, itu masa lalu. Aku senang kau baik-baik saja dan menghubungiku sekarang. Aku merindukanmu, kawan”.

Aku senyum membacanya. Dan ia benar-benar Eko Sugiopranoto temanku dari SD dulu. Kami pun berbalas-balasan pesan, menceritakan keadaan dan kondisi kami masing-masing. Hingga akhirnya aku bertanya :

“Ko, apa yang membuatmu menjadi seperti ini? Ini sangat mengejutkanku!”.

“hmmm… kau pasti penasaran kenapa seorang Eko yang bodoh dan tak punya talenta bisa menjadi seperti ini? Jawabannya sederhana. Karena aku memiliki guru terhebat sedunia”.

Aku girang minta ampun. Kupikir ia memaksudkanku karena akulah orang yang mengajarinya hingga ia bisa membaca.

“siapa?”. Tanyaku.

Kau tahu apa jawabnya?

“kegagalan!”.

Setelah membaca pesan itu, aku hanya bisa diam, malu pada diriku sendiri. Hari ini, aku harus mengakui Eko adalah benar-benar guruku. Ia mengajarkanku apa yang tidak pernah kusadari selama ini. Mungkin karena jalanku yang terlalu datar sehingga aku tidak pernah mengerti arti sebuah kegagalan.

“kegagalan adalah guru yang mampu mengajarkan apa yang tidak bisa diajarkan oleh guru yang lain. Selagi kau gagal, maka adalah kesempatan emas untuk kau belajar banyak hal dari guru terhebat sedunia”. Balas Eko Sugiopranoto lagi.

Abu Dohak, Mewah Court, Malaysia. 12 Jun 2012.