Laman

Senin, 13 Agustus 2012

HIKMAH DALAM RAMADHAN



Irul, begitu aku disapa. Baru saja berhasil menyabet gelar sarjana hukum Islam salah satu perguruan tinggi Islam di Medan. Di kampung, aku sangat dihormati dan disegani oleh warga sekitar, bahkan masyarakat kota tempatku berdomisili banyak yang mengenalku karena aku menduduki jabatan penting dibeberapa organisasi kepemudaan setempat. Sekilas, aku tampak sangat beruntung. Tapi tunggu dulu, cerita baru saja akan dimulai.

Meski gelar S.HI sudah resmi dinobatkan kepada namaku, tidak serta-merta seorang ‘aku’ menjadi seperti layaknya seorang sarjana, apalagi dalam bidang keislaman. Aku tetap adalah aku yang dulu, seperti layaknya mahasiswa bandel pada khususnya. Bahkan lebih parah dari aku dulu yang seorang mahasiswa. Pulang tidak pernah sebelum jam dua malam, sesekali jika ada kesempatan aku meneguk minuman haram, wanitaku banyak, kupakai dan kubuang sesuka hatiku. Astaghfirullah ….

Tapi hanya satu dua orang saja yang tahu akan hal itu. Dimata masyarakat umum aku adalah orang yang baik dan sholeh. Aku selalu menjaga imejku dihadapan khalayak ramai. Mungkin, akulah orang yang disebut munafik atau lebih tepat lagi ‘pakai topeng’. Namun yang paling mengenaskan adalah ketika aku menjadikan agama sebagai topengku, sebagai tameng untuk membersihkan namaku atas maksiat-maksiat yang terus membabi buta kulakukan. Inginku berubah dan meninggalkan segala kemunafikan ini. Tapi aku terlanjur terlena dengan kenikmatan fana ala syetan.
Yang paling membuatku heran adalah kenapa sampai sekarang Allah masih menutupi aibku? Tidakkah Allah murka atas apa yang telah kuperbuat selama ini? Aku telah mempermainkan asma dan agama-Nya. Aku telah membodohi ummat-Nya. Tidakkah Allah pantas marah atas kerajaan maksiat yang terlanjur megah dalam nafsuku ini? Kenapa begitu mudah
aku mendapatkan penghargaan dan nama dari masyarakat?

Hingga pada bulan ramadhan tahun lalu, aku ditugaskan mengisi ceramah agama dibeberapa masjid dan mushalla. Tak sedikit para jamaah yang mengagumi dan memujiku sebagai seorang da’i dan ustadz muda yang berbakat. Padahal aku bicara super ngawur ketika menyampaikan ceramah agama. Apa semua ini Allah? Maka kutariklah kesimpulan, sesungguhnya Allah sangat menyayangiku.

Ya, Allah memang terlanjur menyayangiku. Seminggu sebelum ramadhan ayahku pensiun dari seorang guru. Kupikir tak apa, meski gaji pensiunannya tidak seberapa, toh, ayahku masih mempunyai delapan hektar sawit yang cukup untuk membiayai seorang adikku yang masih kuliah dan empat orang lagi yang masih sekolah.

Tapi Allah berkehendak lain, sehari sebelum ramadhan tiba, delapan hektar sawit milik ayahku itu ludas dilahap si jago merah. Mendengarnya, ayahku  syok hebat dan tiba-tiba saja jatuh pingsan. Dokter bilang, ayahku terkena serangan jantung dan harus segera dioperasi jika tidak nyawanya tidak akan tertolong. Mengetahui berita segenting itu aku sebagai putra sulungnya pun harus mengambil peran penting. Demi nyawa ayahku, kami harus menjual segala aset yang kami miliki. Sepeda motor, perhiasan, termasuk juga tanah kosong bekas sawit seluas delapan hektar itu yang harganya anjlok drsatis dan bahkan tidak sebanding dengan harga setengah hektar sawit.

Ayahku pun berhasil dioperasi dengan selamat. Seminggu kemudian, dokter sudah membelohkannya pulang dan dirawat dirumah meski minimal dua minggu sekali kami diwajibkan kontrol ke rumah sakit. Tapi, tak sampai dua minggu, mengetahui kabar tanahnya yang telah kami jual, segala kendaraan dan juga perhiasan membuatnya syok untuk kedua kalinya. Dan kali ini, Allah benar-benar menunjukkan keagungan-Nya. Nyawa ayahku pun tidak dapat ditolong.

Pasca kematian ayahku aku benar-benar mengambil peran penting dalam kelaurga. Sebagai seorang putra sulung segala kewajiban ayahku kini tertancap dipundakku. Aku tidak pernah mengira kewajiban sebesar ini datang begitu cepatnya menghimpitku. Apa yang harus kulakukan untuk membiayai kuliah dan sekolah adik-adikku sementara ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa.

Ramadhan kali ini adalah ramadhan terpahit dalam sejarah hidupku. Aku tidak sudi jika ada ramadhan yang seperti ini lagi nanti. Cukup hanya kali ini saja ya Allah, aku tidak kuat! Namun aku percaya, pasti ada setitik keberkahan yang tersisa untukku dibulan yang penuh berkah ini.

Mengharapkan setitik keberkahan itu, aku pun mencoba mencari kerja untuk membelikan ibuku segenggam beras dan sesendok gula pasir. Pekerjaan apa saja, aku akan lakukan. Aku pun dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan. Namun, dengan mudahnya pula aku ditendang keluar dari pekerjaan itu. Hanya dua hari aku bertahan menjadi anggota SPT atau semacam kuli pengangkat fiber bersisikan ikan segar keatas truk. Tulangku terasa seolah akan hancur mengangkat fiber seberat 200 kiloan itu.

Dengan mudah pula aku mendapatkan pekerjaan lain, sebagai seorang kernet angkot. Lagi, dihari ketiga aku tidak mampu menersukan pekerjaanku itu. Hidup dari jalanan lepas tidak seindah yang kubayangkan. Aku lebam dipukuli kernet dan sopir angkot lain saingan kami. Kisah seorang kernet pun berakhir.

Dihari berikutnya aku ditawari bekerja dipabrik es. Ditempat ini aku bertahan lebih lama dari tempat-tempat kerjaku sebelumnya. Dihari kelima aku dinyatakan tidak kerja dipabrik es itu lagi. Pasalnya, atasan kami membodoh-bodohi kami dengan memotong sebagian gaji pegawai. Aku yang mantan seorang mahasiswa pun tak tinggal diam. Aku protes dan mengumpulkan massa untuk mengadakan aksi protes. Tapi sebelum rencanaku berhasil aku terlebih dahulu dilempar keluar pabrik. Dan kisah pabrik pun berakhir.

Esoknya, aku pun kerja menjadi seorang kuli bangunan. Kebetulan ada orang yang sedang bangun rumah. Namun aku kerja tidak lebih dari satu hari. Karena pekerjaan itu memaksaku untuk tidak berpuasa dan aku tidak mau. Kuli pun lewat.
Keesokan harinya, aku kerja jaga warnet. Pekerjaan ini sedikit melegakan. Tidak berat dan gajinya pun memuaskan. Tapi, aku harus stand by jaga warnet dari pagi ke pagi lagi. Kebetulan malam itu adalah jadwalku mengisi ceramah dari tim safari ramadhan salah satu organisasi kepemudaan yang ku ikuti. Namun aku tidak diberi izin oleh pihak pengelola warnet akhirnya aku pun dibuang lagi. Karena aku bersikeras untuk mengisi ceramah agama itu yang kuanggap sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang muslim yang berpendidikan.

Untuk besok aku berpikir, pekerjaan apa lagi yang cocok untukku. Sementara sebentar lagi lebaran, adikku masih kecil-kecil, mereka sudah meminta baju baru pada ibuku. Ibuku hanya menatapku hampa berkaca-kaca. Ya Allah, katanya bulan ini suci dan penuh berkah, tidakkah Kau kuasa menurunkan setitik saja keberkahan-Mu itu untuk membelikan baju baru untuk adik-adikku? Andai ayahku masih hidup, aku pasti tak semenderita ini. Ah, sudahlah.

Besok tiba, aku mencari pekerjaan kesana-kesini, ke Barat-ke Timur, Selatan-Uatara, tak ada pekerjaan untukku, tak ada orang yang mau menerimaku, tak ada uang yang bisa kubawa pulang hari ini, tak segenggam nasi untuk ibuku. Hingga petang tiba mengajak sang suraya kembali ke tempat peristirahatannya, aku masih belum menemukan pekerjaan. Hingga bajuku basah dan dahaga menyapu kering lidah aku masih terduduk lesu dipinggir trotoar jalan Sudirman. Bedug terpukul dan beleter adzan menyadarkanku dari lamunan. Kulihat semua orang meneguk air segar membatalkan puasa. Hati riang, akhirnya tiba sudah waktu berbuka. Tapi, bahkan aku tidak mempunyai uang untuk membeli segelas air putih. Ya Allah, kugenggam erat batu trotoar itu dan tanpa sadar, air mataku menitik jatuh melewati garis sudut bibirku.

Kucari mushalla terdekat untuk meneguk air dari kran wudhu mushalla untuk membatalkan puasaku. Lalu aku pun shalat maghrib berjamaah di mushalla itu. Ada satu hal yang membuatku tersentak dan menangis hebat setelah selesai shalat. Ternyata, selama peristiwa yang kuanggap pahit itu menimpa diriku, aku tidak pernah lagi melakukan keburuk-keburukanku dulu. Dari awal puasa aku sibuk mengurusi ayahku yang sakit, hingga ia meninggal aku sibuk kerja dan kerja. Tak sekalipun terlintas diotakku untuk melakukan hal-hal yang dulu sering kulakukan. Subhanallah, Allah benar-benar telah merubah hidupku.

Kuangkat tanganku tinggi meminta ampun kepada Allah. Jika benar ini adalah bulan ramadhan bulan yang suci dan penuh ampunan, Kau pasti memaafkan segala dosa hamba-Mu yang hina ini ya Allah, seorang hamba yang tidak tahu diri ini ya Allah yang sudah Kau ulur waktu agar hamba mau berubah namun tak juga berubah, hamba yang tidak tahu malu ini ya Allah, yang sudah berkali-kali mengabaikan-Mu namun masih juga meminta kepada-Mu, seorang hamba yang bodoh ini ya Allah, yang sudah Kau beri kebaikan namun hamba buang kebaikan-Mu itu, ampuni hamba ya Allah, ampuni hamba … sujudku tersungkur, air mataku terus terkucur. Allahumma ‘afuwwum kariimun tuhibbul ‘afwa fa’fu’annaa ya kariimm ….

Allah memang tidak akan mengubah nasib seseorang melainkan orang itulah terlebih dahulu yang merubahnya. Yang demikian itu jelas dalam al-qur’an. Tapi Allah tidak akan diam apabila kehendak-Nya sudah diputuskan. Ketika Allah sudah menetapkan kau dalam kebaikan, maka kau pasti berada dalam kebaikan begitu pula sebaliknya. Karena itu, sebelum Allah merancang skenario besar yang melibatkan banyak pihak dan orang-orang yang kau cintai hanya demi berubahnya kau kepada ketetapan Allah, berubahlah terlebih dahulu mengikuti kalam Allah yang sudah nyata dalam al-qur’an bahwa manusia mempunyai andil dalam merubah arah hidupnya. Karena kelak, jika tangan-tangan Allah yang memaksamu, maka air mata takkan terelakkan sobat, karena dia Al-Hakiim Al-‘Aliim …

Sei. Merbau, 09 Agustus 2012 menunggu waktu subuh.
Abu Dohak,