Laman

Selasa, 11 Juni 2013

KENANGAN HITAM DARI BALIK TEMBOK SUCI





Ini adalah cerita dari balik tembok suci. Sebuah pengalaman pahit yang menimpa seseorang yang aku sayangi, aku kagumi, sahabatku, namanya Guntur. Ikuti, insya Allah manfaat.
Ini tahun ketiga kami di pondok, beberapa bulan lagi kami akan selesai dan lulus dari pesantren ini. Aku menatapnya. Ia sedang bicara dengan seorang teman, lalu ia tertawa. Dia sangat ramah, baik, cerdas dan santun. Dia temanku namanya Guntur. Jika Tuhan tidak mempertemukanku dengannya pada tahun pertama mungkin aku tidak akan sampai pada tahun ketiga ini. Jelas saja, aku tidak punya latar belakang pesantren sama sekali sebelum mondok di sini, tiba-tiba saja di sini aku disuguhi kitab-kitab kuning tanpa syakal, bagaimana bisa aku memahaminya?
Untung ada Guntur. Sejak awal mondok di sini aku bersamanya. Ia membimbingku dan mengajariku dari nol hingga sedikit-sedikit aku bisa memahami kitab gundulan itu.
Setiap malam ketika jam wajib pesantren selesai dan semua santri tertidur nyenyak, aku membawa buku-bukuku ke masjid. Di sana sudah ada Guntur yang sedang menungguku. Ia mengulangiku pelajaran kalimat demi kalimat, semuanya, setiap malam. Terima kasih, Guntur.
Tidak hanya itu, Guntur juga orang yang taat beribadah, tak jarang aku mendengar isakan tangisnya yang ia tahan-tahan ketika shalat.
Guntur juga dermawan dan baik hati. Biasanya ketika kiriman awal bulan aku selalu ditraktir olehnya. Bagaimana bisa aku tidak mengagumi sosok seorang  Guntur yang ideal, sempurna, perfect. Sesekali aku berpikir bagaimana nantinya masa depan orang seperti Guntur ini?
Aku masih ingat, waktu itu :
“Gung, besok kan libur, ente mau ikut aku?”. Katanya padaku.
“kemana? Jangan aneh-aneh ente, meski libur kita kan ndak boleh keluar pondok?”.
“ya ampun, sesekali gak apa-apa kali Gung, aku ingin mengajakmu keliling Surabaya”.
“ngapain?”.
“eit, ngapain? Ya main-main lah. Ente tiga tahun di sini belum pernah keliling Surabaya kan?”.
“pernah”.
“paling ke Ampel tok”.
“emang ente mo ngajak aku kemana? Keliling tok? Ntar abis itu balik?”.
“lha enggak lah, ada suatu tempat yang harus kita teliti, aku penasaran dengan tempat itu”.
“emm, pondok gimana?”.
“kia keluar entar sore, besok kan libur”.
“tapi aku tidak punya duit”.
“gampang, bisa diatur itu”.
Andai aku tahu, aku tidak akan mengiyakan ajakan Guntur itu. Aku dan Guntur pun membungkus tas kami dengan kain sarung lalu menjinjingnya melewati gerbang pondok dengan santai seolah tak berdosa. Lalu pada sebuah warung, kami pun mengganti sarung kami dengan celana jeans yang kami sembunyikan dalam tas. Lalu menderu menyerbu Surabaya.
Kami ke stasiun menunggu kereta api ke jurusan Surabaya. Aku masih ingat, pada saat menunggu kereta api yang terlambat datang, Guntur masih sempat mengajakku untuk shalat di mushalla. Dan kami pun shalat, Guntur yang jadi imamnya.
“Tur, cepat! Spurnya udah datang”. Kataku menggugah guntuk yang asyik bermunjat. Dan kemudian kami pun sampai di Surabaya.
Kuajak Guntuk ziarah ke Sunan Ampel. Dia bilang :
“nanti saja, itu perjalanan terakhir. Kita nonton saja dulu, ada film bagus”.
Aku tertarik, kalo diajak nonton aku tidak mungkin menolak, aku sangat menyukai film. Selesai nonton, kami masih mutar-mutar di mall, menawar-nawar baju, sepatu, padahal uang kami pas-pasan, hanya sekedar melepas lelah saja sambil menyapa penjaga toko yang cantik itu, lalu kami tertawa.
Malam semakin larut, aku mengajak Guntur untuk ke makam Sunan Ampel lagi dan dia pun menyetujuinya. Namun karena sudah larut malam, angkot jurusan JMP sudah habis. Guntur pun mngajakku kembali ke stasiun Wonokromo, barangkali ada kereta api yang melaju menuju stasiun Semut.
Di stasiun Wonokromo, sepi hanya ada kami berdua dan kesyuian malam. Guntur mengendikkan bahunya kepadaku. Aku putus asa lalu duduk terpekur di kursi panjang merasa jengkel pada Guntur yang tak jelas. Lalu tiba-tiba siulan seorang wanita mengagetkan kami. Guntur langsung menepuk pundakku dan menunjukkanku wanita seksi yang bersiul itu.
“kesana yuk”. Kata Guntuk, aku tahu dia Cuma bercanda.
“gendeng ente, iya kalo cewek, siapa tahu banci”. Kataku dan kami tertawa,.
Tapi dari badannya yang tegap sepertinya ia benar-benar banci. Lalu kami menjauh dari stasiun itu menuju jalan raya. Sekarang entahlah, kami tidak tahu harus kemana langkah mengarah.
“kalo tadi cewek beneren lumayan, Gung”. Kata Guntur.
“ngawur, boleh jadi dia nodongin pisau ke ente, ente mau apa?”.
Guntur diam.
“kita sekaran mau kemana nih?”. Kataku.
“ya udah, ikut aku”. Kata Guntur lalu berjalan mengabaikanku.
“kita jalan kaki?”.
“iya”.
“kemana? Jauh gak?”.
“tenang aja, pokoknya seru deh”.
Aku pun diam dan mengikutinya saja.
Kami pun jalan kaki tengah malam melintasi jalan raya kota Surabaya. Kemudian Guntur mengajakku memasuki sebuah gang yang agak ramai. Aku bertanya dalam hati, kenapa semuanya beraktivitas di malam hari seperti ini? Namun seolah tampak biasa dan aku tidak begitu memikirkannya dan Guntur terus saja menlangkah dan aku mengikutinya.
Hingga langkah kami dihentikan oleh suara halus yang bersahaja. Guntur menoleh dan memaksaku untuk juga ikut menoleh. Aku melihat seorang wanita yang lebih seksi dari banci di stasiun itu sedang melambaikan tangannya kepada kami.
“gila, yuk kita pergi yuk”. Kataku dan Guntur tertawa lalu kami mengabaikan wanita itu.
“kalo itu beneran cewek”.
“tapi jelek”. Kataku.
Kami tertawa lepas.
Lalu sebuah suara memanggil kami lagi. Kami pun sontak menoleh, seorang wanita cantik yang tak kalah seksi memainkan matanya pada kami, Guntur membalas memainkan matanya, lalu kami tertawa lagi.
“gial Tur, ini sih lokalisasi!”.
“iya, ini Gang Dolli”.
“edan ente bawa aku ke sini!”.
“aku juga baru pertama ke sini, tidak kusangka seperti ini, kocak juga”. Katanya. Dan kami tertawa lagi.
“cabut yuk”. Kataku lagi. Dan kami sepakat untuk meninggalkan tempat ini.
Kemudian pada sebuah warung yang masih ramai, Guntur mengajakku untuk sejenak menyeruput secangkir teh hangat. Aku pun tidak menolak. Kami duduk di bangku luar sambil menunggu pesanan kami sambil mengamati Dolli di malam hari. Lalu suara bersahaja lagi memanggil kami, lembut.
“mas”.
Aku dan Guntur langusng menoleh, ternyata seorang gadis nan cantik jelita berpakaian serba vulgar.
“samperin yuk”. Ajak Guntur.
“jangan, Tur”.
“kita ajak ngobrol aja, aku penasaran kenapa sih dia mau jadi PSK?”
“jangan, Tur”. Entah kenapa perasaan tidak enak kali ini.
“ya sudah, aku akan ke sana sendirian, sebentar saja”.
Guntur lalu menghampirinya. Aku pun hanya bisa mengamatinya dari kejauhan. Guntur menjabat tangannya lalu duduk di sampingnya. Teh kami datang dan Guntur mulai bercerita akrab dengannya. Aku bisa melihat jelas, Guntur tertawa dan wanita itu ikut tertawa. Aku memalingkan pandanganku dan menikmati secangkir teh hangat melewati tenggorokanku. Lalu aku menoleh kea rah Guntur lagi dan wanita itu sudah menggenggam tangan Guntur. Aku terkejut lalu memekik memanggil Guntur. Guntur dan wanita itu berdiri, lalu Guntur mengangguk dan wanita itu pergi. Guntur pun datang dengan senyumnya yang lebar.
“ngapain aja ente?”. Tanyaku agak kasar.
Guntur lantas meminum tehnya.
“ke sana yuk”. Ajaknya.
“kemana?”.
“ke tempatnya dia”.
“astaghfirullah Guntur, sadar!”.
“enggak gak apa-apa, Cuma ngobrol doang”.
“tapi tadi kalian pegangan tangan”.
“sedikit, katanya dia mau curhat, aku penasaran, apa sih yang membuatnya mau jadi psk?”
“lebih baik kita pergi aja deh”.
“ya udah, kalo begitu ente tunggu di sini, paling lama setengah jam”.
“Guntur!”.
Dan Guntur pun pergi.
Aku pun menunggu Guntur setengah jam, se jam, dua jam, tiga jam, hingga waktu subuh hampir masuk namun Guntur tak juga kembali aku pun memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan menuju Ampel sendirian.
Dua hari kemudian, aku bertemu Guntur di pondok. Aku mengajaknya bicara, menanyainya, tapi ia berubah jadi pendiam, sinis dan tak seramah dulu. Sejak hari itu persahabatanku dan Guntur pun retak. Ia seperti orang asing bagiku. Berpapasan pun ia tidak menegurku.
Beberapa bulan kemudian, kami lulus dari pondok dan aku mendapat beasiswa kuliah ke luar negri. Sampai lulus S2 aku tidak pernah mendengar kabar tentang Guntur sama sekali.
Sepulang ke Indonesia, aku pun mampir ke pondok sekadar sowan pada pak kyai. Pondok memang banyak berubah tapi ingatanku bersama Guntur sama sekali tak memudar. Aku pun memutuskan untuk menyambangi Guntur ke rumahnya.
Sampai di rumah Guntur aku malah di usir oleh orang tuanya.
“kenapa pak?”. Kataku heran.
“Guntur bukan anak kami, sebaiknya anda pergi saja dan jangan kembali ke sini lagi!”.
Aku bingung dan penasaran. Aku pun menanyakan perihal Guntur pada tetangganya. Mereka pun menunjukkan pada suatu tempat, dan aku langsung menuju tempat itu.
Tempat itu adalah sebuah gubuk yang kumuh. Di dalam gubuk itu aku mendapati seorang pria jorok sedang meneguk minuman keras. Aku memperhatikan pria itu, dan bathinku menjerit, air mataku langsung tercucur. Aku ingat, orang itu adalah orang yang mengajariku membaca kitab kunging di pondok dulu, orang yang menangis dalam shalatnya, orang yang dermawan dan baik hati. Aku langsung mendekatinya dan menyentuh pundaknya.
“Guntur”. Kataku dan air mataku semakin tak tertahan.
Botol minuman itu langsung jatuh dari genggaman Guntur. Ia menatapku lama, lalu air matanya pun berlinang, lalu ia memelukku. Aku mengajaknya keluar dari gubuk itu dan memaksanya agar bercerita apa sebenarnya yang terjadi.
“malam itu, aku malakukannya, setan berhasil merusak imanku”. Cerita Guntur.
“lalu?”.
“lalu setelah lulus dari pondok, aku ketagihan dan mengulanginya lagi, lagi dan lagi hingga jadi kebiasaanku”.
“Allah Guntuuur, kenapa kau bisa jadi seperti ini?”.
Guntur hanya bisa menangis, cerita demi cerita yang ia ceritakan ia hanya bisa menangis. Kutanya kenapa dia tidak segera bertobat? Dia bilang sudah bertobat berkali-kali.
“aku sudah mencoba bertobat berkali-kali, tapi sulit, Gung. Setiap kali hasrat itu datang, aku tidak bisa membendungnya. Sulit untuk keluar dari kegelapan ini”.
Aku tidak bisa apa-apa. Sebagai seorang sahabat aku hanya bisa mengingatkannya. Dan sebelum aku pergi, Guntur sempat bilang :
“hidupmu itu ibarat kaca, apabila sudah pernah pecah, biar sekuat apa usahamu menyatukannya, retaknya akan selalu kelihatan dan jika tersentuh ia akan kembali pecah. Jika kau sudah pernah masuk dalam kehidupan hitam, sulit bagimu untuk kembali lagi. Maka dari itu, jaga baik-baik kaca itu jangan sampai pecah”.

THE END

Abu Dohak, 03:31, menanti subuh.

Mohon doa dari para sahabat untuk kita yang sebentar lagi menghadapi ujian semester di sini, semoga semua lulus dan berjalan dengan lancar.

Senin, 20 Mei 2013

CERITA USTADZ MALIK

Hampir tiga tahun berlalu, tempat ini tampak tak berubah, masih seperti dulu saat ibuku mengantarku ke tempat ini tiga tahun lalu. Masih terekam jelas di kepala ini saat ibuku duduk di bangku pojok samping warung pak Jojo, mengenakan jilbab kuning dan tersenyum melihat anak laki-laki semata wayangnya memakai sarung dan baju koko putih, memakai peci hitam yang terteplok di kepalaku sambil menenteng sajadah merah meloncati batu-batu suci menuju masjid.
‘Tembok suci, benteng agama’.
Tiga tahun lalu bagiku istilah ini sangat menakutkan. Kupikir aku akan di pasung di dalam penjara suci ini, hingga aku membantah perkataan ayah dan ibuku untuk tidak mondok di pesantren. Tapi setelah kulalui, ternyata hidup di pesantren indah juga. Aku suka! Tapi sebentar lagi aku akan meninggalkan pesantren ini.
Kugenggam erat kitab kuning bertuliskan arab gundul yang ada di genggamanku ini, kitab Alfiyah ibn Malik dan membuatku sadar, sekarang waktunya ngaji. Aku harus masuk kelas, jika tidak aku akan terlambat.
Alfiyah ibn Malik adalah kitab nahwu yang sangat populer di kalangan pesantren, dikemas dalam bentuk sya’ir arab untuk mempermudah santri menghafalnya, dikarang oleh Abu Abdillah Muhammad Jamaluddin bin Malik Al-Andalus wafat pada tahun 672 H.
Disamping populer kitab Alfiyah ibn Malik juga terkenal dengan tingkat kesulitannya. Tapi meski sulit, aku menyukai pelajaran ini. Selain pelajarannya yang menyenangkan guru yang mengajarkannya juga sangat mengagumkan, aku menyukainya.  Namanya ustadz Malik, menantu pengasuh pesantren ini. Ustadz Malik memiliki sejuta cerita yang bisa membuat setiap orang yang mendengarnya terlamun panjang. Setiap sebelum memulai pelajaran beliau selalu bercerita.Nah, itu ustadznya datang, nanti beliau pasti cerita.
Ustadz Malik pun masuk dengan pakaian dan keadaannya yang sangat sederhana. Ia tersenyum kepada kami untuk memulai pelajarannya. Ia pun membuka lembaran demi lembaran kitabnyanya yang tua lalu menatap kami dan mulai bercerita.
“dulu, saya adalah seorang idealis. Saya memiliki karakter, keterampilan dan prinsip. Salah satu prinsip saya yang paling kuat adalah kebebasan. Ya, ‘saya ingin bebas!’. Semboyan itu selalu saya bisikkan kepada teman-teman saya. Tapi saya sadar, saya sendiri waktu itu tidak bebas karena saya masih terpenjara di balik belenggu tembok suci pesantren. Saya orang yang cerdas, tangkas, hingga pada saat saya lulus dari pesantren pak kyai langsung merekrut saya untuk mengajar di pesantren ini. Saya tidak bisa menolak karena rasa ta’dzim saya kepada beliau. Selama dua tahun saya jalani menjadi seorang pengajar di pesantren ini.
Tapi kemudian saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri. Bathin saya berontak, jiwa saya tidak terima, idealisme saya hampir pecah namun rasa keprinsipan saya semakin kuat, bahwa ‘saya harus bebas! Saya bisa melakukan banyak hal di luar sana, banyak hal! Saya bisa jadi seorang aktivis, atau menjadi penyanyi, atau pelawak, atau wartawan atau bahkan penulis lepas’.
Hingga akhirnya, suatu hari, saya menemui pak kyai. Saya utarakan maksud hati untuk keluar dari pesantren. Tapi pak kyai menentangnya dan melarang saya. Saya tidak terima, dan akhirnya saya membentak pak kyai. Saya bilang :
“ini hidup saya! Saya lebih tahu dan lebih berhak untuk menentukan jalan hidup saya sendiri!”. Lalu saya pergi meninggalkan pak kyai dan pesantren.
Saya langsung menuju ibu kota Jakarta, tempat yang segala kemungkinan bisa terjadi di sana. Saya pun mendaftarkan diri untuk menjadi salah satu perserta kemungkinan itu.
Bulan-bulan pertama saya beruntung. Saya bertemu dengan seorang teman lama yang aktif di salah satu lembaga kemasyarakatan (LSM) yang bergerak di bidang hak asasi manusia. Mereka merekrut saya hingga dengan bergulirnya waktu saya pun memiliki peran penting di lembaga kemasyarakatan tersebut.
Saya aktif turun langsung ke lapangan menolong orang yang tertindas dan terzholimi dari hak-haknya. Juga memberi pengajaran kepada masyarakat tentang hidup bersosial yang baik serta mengajarkan mereka betapa pentingnya arti kebebasan. Saya pun mulai dikenal orang dan nama saya mulai diperhitungkan.
Hingga pada suatu hari, pada sebuah kasus HAM yang memilukan, saya terjebak ke dalam sebuah fitnah orang jahat, hingga angkara berbalik menyerang saya. Saya pun dijebolaskan ke dalam sel tahanan untuk yang pertama kalinya dan untuk beberapa bulan.
Setelah keluar dari penjara, pamor saya turun drastis, LSM yang menjadi rumah saya dulu pun tak sudi lagi menampung saya. Tapi saya tidak menyerah. Saya memiliki idealisme dan kemampuan yang luar biasa. Saya harus bisa buktikan!
Beberapa bulan saya menganggur di ibu kota. Kontrakan yang dulunya mewah kini berubah menjadi kamar kos-kosan selebar 4x3 m. Saya terenyuh namun Tuhan dengan cepat menolong saya.
Seorang teman mengajak saya untuk ikut casting dalam sebuah rumah produksi. Mereka pun tertarik pada saya karena suara saya yang lumayan merdu lah dan acting saya yang bagus. Saya mulai menjalin kontrak dengan dunia entertainment. Saya menjadi pemain figuran penting dalam beberapa sinetron dan film layar lebar, tentunya saat itu kalian belum lahir. Tak jarang saya juga diundang untuk menyanyi satu panggung dengan para penyanyi papan atas.
Nama saya mulai harum kembali. Kontrakan saya berubah menjadi istana lagi. Dan saya pun bisa membeli mobil mewah untuk kendaraan saya.
Tapi sayang keindahan itu tidak berlangsung lama. Lagi-lagi saya dijerumuskan ke dalam sebuah jebakan fitnah orang dengki. Saya dituduh menghamili seorang artis hingga saya dituntut dan mendekam kembali di balik terali besi. Seluruh harta saya pun habis disiti untuk membayar tebusan keluar dari penjara.
Setelah keluar dari penjara, tak satu pun rumah produksi yang bersedia menampung saya. Saya kembali menderita oleh kekejaman dunia ibu kota. Tapi saya tidak menyerah. Saya akan apapun selagi saya bebas. Karena itu adalah prinsi saya, sebuah idealsime yang selalu saya pegang teguh.
Beberapa waktu berikutnya, saya berhasil diterima menjadi salah seorang kru dalam redaksi koran nasional. Awalnya saya hanya menjadi wartawan amatiran. Tapi setelah mengetahui reputasi saya dalam mengangkat dan mengolah berita pihak redaksi pun mengontrak saya. Tak tanggung saya pun seolah kaya mendadak.
Meski nama saya secara langsung tidak diperhitungkan, setidaknya tangan saya hanya dengan sekali gores bisa merubah orang menjadi diperhitungkan menjadi. Dengan tarian jari-jari saya seseorang bisa terkenal, bisa mengungkap fakta bahkan bisa merubah dunia.
Saya pun menjadi wartawan yang professional, cerdas dalam mengimbangi berita dan saya bebas untuk mengajarkan orang ideologi tentang kebebasan. Hingga suatu hari, musibah itu datang lagi. Salah satu tulisan saya membuat seorang politikus besar marah. Hingga saya dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik dan kembali dilemparkan ke dalam penjara. Saya pun menjual seluruh asset kekayaan saya untuk tebusan. Dan saya kembali terpekur dalam kamar kos-kosan 3x4 m. Tapi perjuangan belum berakhir.
Saya kembali berpikir tentang jalan hidup ini yang begitu rumit. Nasib saya kah yang seperti ini? Atau takdir ? atau ibu kota yang terlalu kejam? Tapi saya tidak menyerah. Saya mencoba strategi baru, hal baru.
Saya memilih untuk tidak terjun langsung ke dalam dunia kejam ini. Saya lebih memilih untuk bersembunyi di balik ruangan kecil ini dan menulis beberapa cerita dan melayangkannya ke penerbitan.
Dan Tuhan sungguh punya kuasa. Setiap karya yang saya tulis langsung disambut baik oleh pihak penerbit dan beberapa bulan kemudian langsung menjadi mega best seller.
Saya terus menulis hingga novel-novel saya mewarnai pasar buku Indonesia. Lalu saya kembali menjadi orang kaya. Saya bisa kembali membeli rumah dan mobil. Saya bisa hidup mewah dan senang.
Tapi hal itu tidak lama. Suatu hari, sebuah LSM mengkritik novel saya yang mereka anggap kontroversi dan melukai sebagian kelompok. Perkaranya pun membesar hingga buku-buku saya ditarik dari toko-toko buku. Setiap novel karangan saya dilarang terbit dan saya kembali dijebloskan ke dalam penjara. Terakhir saya tahu, otak di balik penjeblosan ini adalah rival-rival saya di LSM yang dengki terhadap saya dulu.
Saya pun terpaksa menjual seluruh asset kekayaan saya untuk yang kesekian kalinya. Lalu dengan keluar masuknya saya ke dalam penjara, nama saya pun berubah menjadi hitam. Saya sangat ditakuti dan diwaspadai. Saya tidak boleh menulis buku lagi. Saya mencoba melamar pekerjaan ke sana ke sini namun tak satu pun perusahaan yang mau menerima saya.
Hingga suatu hari, saya kelelahan dan mampir mengistirahatkan kaki ini di sebuah warung kaki lima di trotoar jalan. Saya mendengar kumandang adzan yang begitu keras. Saya tersentak dan tersadar, ternyata ada masjid besar di samping warung kecil ini yang tertutup tembok besar. Di atas tembok itu tertempel sebuah pamphlet bertuliskan “Pondok Pesantren Al-Irsyad”. Saya terenyuh dan bathin saya menyuruh saya untuk shalat di masjid pesantren itu.
Seusai shalat, betapa pilunya hati saya melihat anak-anak kecil sarungan dan berbaju taqwa tertawa pukul-pukulan sajadah, seolah tak ada beban di kepala mereka. Membuat saya teringat dengan pesantren saya dulu. Sudah lama saya tidak merasakan suasana seperti ini. Itu pertama kalinya saya menginjak persantren sesudah saya membantah perkataannya pak kyai.
Saya teringat pada pak kyai yang dulu pernah saya bentak. Saya merasa bersalah dan seketik air mata saya jatuh. Saya menangis, saya rindu pak kyai, saya rindu pesantren. Saya sadar, ternyata selama ini saya tertipu dengan yang namanya kebebasan.
Saya pun memutuskan, ramadhan saya akan meninggalkan ibu kota dan kembali ke pesantren dan menghadap pak kyai, meski saya tidak yakin, apakah pak kyai masih mau menerima saya.
Dan malam itu, saya benar-benar sampai di pesantren. Saya langsung menuju ndalem pak kyai lalu mengetuk pintunya. Kemudian seseorang membukakan pintu itu. Ternyata orang itu pak kyai yang sudah semakin renta dan masih tetap dengan tasbihnya yang dulu. Saya langsung menyungkur menangis dan meminta maaf pada pak kyai.
Pak kyai hanya tersenyum lalu membangkitkan saya. Beliau berkata :
“ di sini adalah hidupmu!”. Sambil mejatuhkan telunjuknya pada bumi tempatnya berpijak.
Ya, saya pun kembali mengajar di pesantren ini hingga sekarang. Ternyata saya menemukan suatu hal di sini yang tidak saya temukan di tempat lain, sebuah ketenangan. Ketenangan yang indah dalam kehidupan yang sempurna.
Akhirnya saya sadar, dulu saya pernah salah menempatkan kebebasan. Saya meletakkannya tidak pada tempatnya. Karena setiap orang memiliki makna kebebasan yang berbeda dari orang lain. Dan terkadang juga, ada hal-hal dalam hidup ini yang tidak bisa dibeli dengan kebebasan, sebuah ketenangan”.

Tarim, 3 May 2013, 03:50 dini hari.
Abu Dohak.