Hampir tiga tahun berlalu, tempat ini tampak tak berubah, masih
seperti dulu saat ibuku mengantarku ke tempat ini tiga tahun lalu. Masih
terekam jelas di kepala ini saat ibuku duduk di bangku pojok samping warung pak
Jojo, mengenakan jilbab kuning dan tersenyum melihat anak laki-laki semata
wayangnya memakai sarung dan baju koko putih, memakai peci hitam yang terteplok
di kepalaku sambil menenteng sajadah merah meloncati batu-batu suci menuju masjid.
‘Tembok suci, benteng agama’.
Tiga tahun lalu bagiku istilah ini sangat menakutkan. Kupikir aku
akan di pasung di dalam penjara suci ini, hingga aku membantah perkataan ayah
dan ibuku untuk tidak mondok di pesantren. Tapi setelah kulalui, ternyata
hidup di pesantren indah juga. Aku suka! Tapi sebentar lagi aku akan
meninggalkan pesantren ini.
Kugenggam erat kitab kuning bertuliskan arab gundul yang ada di
genggamanku ini, kitab Alfiyah ibn Malik dan membuatku sadar, sekarang
waktunya ngaji. Aku harus masuk kelas, jika tidak aku akan terlambat.
Alfiyah ibn Malik
adalah kitab nahwu yang sangat populer di kalangan pesantren, dikemas dalam
bentuk sya’ir arab untuk mempermudah santri menghafalnya, dikarang oleh
Abu Abdillah Muhammad Jamaluddin bin Malik Al-Andalus wafat pada tahun 672 H.
Disamping populer kitab Alfiyah ibn Malik juga terkenal
dengan tingkat kesulitannya. Tapi meski sulit, aku menyukai pelajaran ini.
Selain pelajarannya yang menyenangkan guru yang mengajarkannya juga sangat mengagumkan,
aku menyukainya. Namanya ustadz Malik,
menantu pengasuh pesantren ini. Ustadz Malik memiliki sejuta cerita yang bisa
membuat setiap orang yang mendengarnya terlamun panjang. Setiap sebelum memulai
pelajaran beliau selalu bercerita.Nah, itu ustadznya datang, nanti beliau pasti
cerita.
Ustadz Malik pun masuk dengan pakaian dan keadaannya yang sangat
sederhana. Ia tersenyum kepada kami untuk memulai pelajarannya. Ia pun membuka
lembaran demi lembaran kitabnyanya yang tua lalu menatap kami dan mulai
bercerita.
“dulu, saya adalah seorang idealis. Saya memiliki karakter,
keterampilan dan prinsip. Salah satu prinsip saya yang paling kuat adalah
kebebasan. Ya, ‘saya ingin bebas!’. Semboyan itu selalu saya bisikkan kepada
teman-teman saya. Tapi saya sadar, saya sendiri waktu itu tidak bebas karena
saya masih terpenjara di balik belenggu tembok suci pesantren. Saya orang yang
cerdas, tangkas, hingga pada saat saya lulus dari pesantren pak kyai langsung
merekrut saya untuk mengajar di pesantren ini. Saya tidak bisa menolak karena
rasa ta’dzim saya kepada beliau. Selama dua tahun saya jalani menjadi
seorang pengajar di pesantren ini.
Tapi kemudian saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri. Bathin
saya berontak, jiwa saya tidak terima, idealisme saya hampir pecah namun rasa
keprinsipan saya semakin kuat, bahwa ‘saya harus bebas! Saya bisa melakukan
banyak hal di luar sana, banyak hal! Saya bisa jadi seorang aktivis, atau
menjadi penyanyi, atau pelawak, atau wartawan atau bahkan penulis lepas’.
Hingga akhirnya, suatu hari, saya menemui pak kyai. Saya utarakan
maksud hati untuk keluar dari pesantren. Tapi pak kyai menentangnya dan
melarang saya. Saya tidak terima, dan akhirnya saya membentak pak kyai. Saya
bilang :
“ini hidup saya! Saya lebih tahu dan lebih berhak untuk menentukan
jalan hidup saya sendiri!”. Lalu saya pergi meninggalkan pak kyai dan
pesantren.
Saya langsung menuju ibu kota Jakarta, tempat yang segala
kemungkinan bisa terjadi di sana. Saya pun mendaftarkan diri untuk menjadi
salah satu perserta kemungkinan itu.
Bulan-bulan pertama saya beruntung. Saya bertemu dengan seorang
teman lama yang aktif di salah satu lembaga kemasyarakatan (LSM) yang bergerak
di bidang hak asasi manusia. Mereka merekrut saya hingga dengan bergulirnya
waktu saya pun memiliki peran penting di lembaga kemasyarakatan tersebut.
Saya aktif turun langsung ke lapangan menolong orang yang tertindas
dan terzholimi dari hak-haknya. Juga memberi pengajaran kepada masyarakat
tentang hidup bersosial yang baik serta mengajarkan mereka betapa pentingnya
arti kebebasan. Saya pun mulai dikenal orang dan nama saya mulai
diperhitungkan.
Hingga pada suatu hari, pada sebuah kasus HAM yang memilukan, saya
terjebak ke dalam sebuah fitnah orang jahat, hingga angkara berbalik menyerang
saya. Saya pun dijebolaskan ke dalam sel tahanan untuk yang pertama kalinya dan
untuk beberapa bulan.
Setelah keluar dari penjara, pamor saya turun drastis, LSM yang
menjadi rumah saya dulu pun tak sudi lagi menampung saya. Tapi saya tidak
menyerah. Saya memiliki idealisme dan kemampuan yang luar biasa. Saya harus
bisa buktikan!
Beberapa bulan saya menganggur di ibu kota. Kontrakan yang dulunya
mewah kini berubah menjadi kamar kos-kosan selebar 4x3 m. Saya terenyuh namun
Tuhan dengan cepat menolong saya.
Seorang teman mengajak saya untuk ikut casting dalam sebuah rumah
produksi. Mereka pun tertarik pada saya karena suara saya yang lumayan merdu
lah dan acting saya yang bagus. Saya mulai menjalin kontrak dengan dunia
entertainment. Saya menjadi pemain figuran penting dalam beberapa sinetron dan
film layar lebar, tentunya saat itu kalian belum lahir. Tak jarang saya juga
diundang untuk menyanyi satu panggung dengan para penyanyi papan atas.
Nama saya mulai harum kembali. Kontrakan saya berubah menjadi
istana lagi. Dan saya pun bisa membeli mobil mewah untuk kendaraan saya.
Tapi sayang keindahan itu tidak berlangsung lama. Lagi-lagi saya
dijerumuskan ke dalam sebuah jebakan fitnah orang dengki. Saya dituduh
menghamili seorang artis hingga saya dituntut dan mendekam kembali di balik
terali besi. Seluruh harta saya pun habis disiti untuk membayar tebusan keluar
dari penjara.
Setelah keluar dari penjara, tak satu pun rumah produksi yang
bersedia menampung saya. Saya kembali menderita oleh kekejaman dunia ibu kota.
Tapi saya tidak menyerah. Saya akan apapun selagi saya bebas. Karena itu adalah
prinsi saya, sebuah idealsime yang selalu saya pegang teguh.
Beberapa waktu berikutnya, saya berhasil diterima menjadi salah
seorang kru dalam redaksi koran nasional. Awalnya saya hanya menjadi wartawan amatiran.
Tapi setelah mengetahui reputasi saya dalam mengangkat dan mengolah berita
pihak redaksi pun mengontrak saya. Tak tanggung saya pun seolah kaya mendadak.
Meski nama saya secara langsung tidak diperhitungkan, setidaknya
tangan saya hanya dengan sekali gores bisa merubah orang menjadi diperhitungkan
menjadi. Dengan tarian jari-jari saya seseorang bisa terkenal, bisa mengungkap
fakta bahkan bisa merubah dunia.
Saya pun menjadi wartawan yang professional, cerdas dalam
mengimbangi berita dan saya bebas untuk mengajarkan orang ideologi tentang
kebebasan. Hingga suatu hari, musibah itu datang lagi. Salah satu tulisan saya
membuat seorang politikus besar marah. Hingga saya dijerat dengan tuduhan
pencemaran nama baik dan kembali dilemparkan ke dalam penjara. Saya pun menjual
seluruh asset kekayaan saya untuk tebusan. Dan saya kembali terpekur dalam
kamar kos-kosan 3x4 m. Tapi perjuangan belum berakhir.
Saya kembali berpikir tentang jalan hidup ini yang begitu rumit.
Nasib saya kah yang seperti ini? Atau takdir ? atau ibu kota yang terlalu
kejam? Tapi saya tidak menyerah. Saya mencoba strategi baru, hal baru.
Saya memilih untuk tidak terjun langsung ke dalam dunia kejam ini.
Saya lebih memilih untuk bersembunyi di balik ruangan kecil ini dan menulis beberapa
cerita dan melayangkannya ke penerbitan.
Dan Tuhan sungguh punya kuasa. Setiap karya yang saya tulis
langsung disambut baik oleh pihak penerbit dan beberapa bulan kemudian langsung
menjadi mega best seller.
Saya terus menulis hingga novel-novel saya mewarnai pasar buku
Indonesia. Lalu saya kembali menjadi orang kaya. Saya bisa kembali membeli
rumah dan mobil. Saya bisa hidup mewah dan senang.
Tapi hal itu tidak lama. Suatu hari, sebuah LSM mengkritik novel
saya yang mereka anggap kontroversi dan melukai sebagian kelompok. Perkaranya
pun membesar hingga buku-buku saya ditarik dari toko-toko buku. Setiap novel
karangan saya dilarang terbit dan saya kembali dijebloskan ke dalam penjara.
Terakhir saya tahu, otak di balik penjeblosan ini adalah rival-rival saya di
LSM yang dengki terhadap saya dulu.
Saya pun terpaksa menjual seluruh asset kekayaan saya untuk yang
kesekian kalinya. Lalu dengan keluar masuknya saya ke dalam penjara, nama saya
pun berubah menjadi hitam. Saya sangat ditakuti dan diwaspadai. Saya tidak
boleh menulis buku lagi. Saya mencoba melamar pekerjaan ke sana ke sini namun
tak satu pun perusahaan yang mau menerima saya.
Hingga suatu hari, saya kelelahan dan mampir mengistirahatkan kaki
ini di sebuah warung kaki lima di trotoar jalan. Saya mendengar kumandang adzan
yang begitu keras. Saya tersentak dan tersadar, ternyata ada masjid besar di
samping warung kecil ini yang tertutup tembok besar. Di atas tembok itu
tertempel sebuah pamphlet bertuliskan “Pondok Pesantren Al-Irsyad”. Saya
terenyuh dan bathin saya menyuruh saya untuk shalat di masjid pesantren itu.
Seusai shalat, betapa pilunya hati saya melihat anak-anak kecil
sarungan dan berbaju taqwa tertawa pukul-pukulan sajadah, seolah tak ada beban
di kepala mereka. Membuat saya teringat dengan pesantren saya dulu. Sudah lama
saya tidak merasakan suasana seperti ini. Itu pertama kalinya saya menginjak
persantren sesudah saya membantah perkataannya pak kyai.
Saya teringat pada pak kyai yang dulu pernah saya bentak. Saya
merasa bersalah dan seketik air mata saya jatuh. Saya menangis, saya rindu pak
kyai, saya rindu pesantren. Saya sadar, ternyata selama ini saya tertipu dengan
yang namanya kebebasan.
Saya pun memutuskan, ramadhan saya akan meninggalkan ibu kota dan
kembali ke pesantren dan menghadap pak kyai, meski saya tidak yakin, apakah pak
kyai masih mau menerima saya.
Dan malam itu, saya benar-benar sampai di pesantren. Saya langsung
menuju ndalem pak kyai lalu mengetuk pintunya. Kemudian seseorang
membukakan pintu itu. Ternyata orang itu pak kyai yang sudah semakin renta dan
masih tetap dengan tasbihnya yang dulu. Saya langsung menyungkur menangis dan
meminta maaf pada pak kyai.
Pak kyai hanya tersenyum lalu membangkitkan saya. Beliau berkata :
“ di sini adalah hidupmu!”. Sambil mejatuhkan telunjuknya pada bumi
tempatnya berpijak.
Ya, saya pun kembali mengajar di pesantren ini hingga sekarang.
Ternyata saya menemukan suatu hal di sini yang tidak saya temukan di tempat
lain, sebuah ketenangan. Ketenangan yang indah dalam kehidupan yang sempurna.
Akhirnya saya sadar, dulu saya pernah salah menempatkan kebebasan.
Saya meletakkannya tidak pada tempatnya. Karena setiap orang memiliki makna
kebebasan yang berbeda dari orang lain. Dan terkadang juga, ada hal-hal dalam
hidup ini yang tidak bisa dibeli dengan kebebasan, sebuah ketenangan”.
Tarim, 3 May 2013, 03:50 dini hari.
Abu Dohak.