TANJUNG BALAI ASAHAN*
Cerita ini merupakan sejarah yang hilang. Seorang tetua daerah
(baca : adat) mencoba untuk menggali kembali sejarah itu dari buku dan
manuskrip-manuskrip kuno. Namun sayang, tak banyak data yang diperoleh. Tapi,
untuk sementara, data demi data yang terkumpul insya Allah dapat membentuk
sebuah kesimpulan. Disini, secara singkat, saya ingin menceritakan kembali
sejarah yang hilang itu dengan pendekatan sastra. Semoga bermanfaat.
Alkisah, konon hiduplah seorang raja bernama Syahrir Alamsyah,
berkuasa di sebuah daerah yang disebut Pinang Awan, sebuah distrik di Kota
Pinang, Sumatera. Raja Syahrir memiliki dua istri. Istri pertama memiliki tiga
orang anak, dua orang putra bernama Tengku Husin dan Tengku Abas dan satu orang
putri yang sangat cantik jelita bernama Siti Ungu atau Siti Unai. Sementara
dari istri kedua sang raja dikaruniai seorang anak laki-laki.
Ternyata, istri muda raja menginginkan agar anaknya lah kelak yang
akan mewarisi kerajaan ayahnya. Hingga suatu hari ia menyebarkan fitnah terhadap
kedua putra mahkota Tengku Husin dan Tenku Abas kepada segenap jajaran kerjaan
dan membujuk rayu meyakinkan suaminya hingga akhirnya kedua putra mahkota
tersebut diusir dari kerajaan.
Kedua putra mahkota pun dengan hanya dibekali sebuah perahu kecil berlayar
melewati selat Malaka, Hingga akhirnya mereka berlabuh di sebuah tangkahan di
Negri Aceh. Mereka pun berbaur dengan rakyat Aceh dengan baik hingga berhasil
memasuki wilayah kerjaan. Sang Raja Aceh pun tertarik kepada mereka hingga
menghadiahkan mereka sebuah kedudukan penting di kerajaannya.
Berlalu beberapa tahun, kedua putra mahkota ini pun rindu akan
kampung halaman mereka. Lalu, pada suatu hari, mereka memutuskan untuk kembali
ke kampung halaman dengan membawa sejumlah pasukan mengawal mereka. Dan dugaan
mereka benar, kerajaan tidak lagi dipegang oleh sang ayah melainkan oleh adik
tiri yang dulu pernah mengusir mereka. Kedatangan mereka pun disambut dengan
perlawanan oleh sang raja adik tiri.
Akan tetapi, keberuntungan berada dipihak kedua putra mahkota.
Mereka berhasil mengalahkan pasukan kerajaan Pinang Awan dengan gugurnya sang
raja adik tiri. Dengan terbunuhnya raja, keadaan Negri Pinang Awan pun tidak
teratur. Porak-poranda terjadi dimana-dimana. Hingga akhirnya, pasukan kerajaan
Aceh yang datang bersama kedua putra mahkota itu menemukan seorang wanita yang
sangat cantik jelita. Ya, Siti Ungu yang tak lain adalah saudari kedua putra
mahkota. Terpana dengan kecantikannya pasukan kerajaan Aceh pun membawa Siti
Ungu kepada baginda raja di Aceh yang kemudian sang raja Aceh pun menikahinya.
Sementara itu, Negri Pinang Awan berangsur pulih atas kepemimpinan
dua putra mahkota. Lalu, pada suatu hari, kedua putra mahkota ini memutuskan
untuk menjemput kembali adik mereka dari raja Aceh. Perjalanan pun dimulai
dengan perahu kerajaan menuju negri Aceh. Namun ditengah perjalanan, perahu
kerjaan berlabuh di sebuah tangkahan di Asahan. Ternyata kedua putra mahkota
ini memiliki siasat tertentu untuk menghadapi raja Aceh.
Sesampainya di Negri Asahan, ditemuilah seseorang yang terkenal
cerdas, mengerti bahasa Batak Karo, Melayu dan Aceh serta memiliki ilmu nujum
yang tinggi. Seseorang itu dikenal dengan nama Bayak Lingga. Setelah bertemu dengan Bayak Lingga mereka pun membuat
perjanjian untuk mengikut sertakan Bayak Lingga bersama mereka ke Negri Aceh.
Rombongan pun tiba di Negri Aceh. Mereka disambut dengan sangat
baik oleh kerajaan Aceh. Ternyata, pada saat yang bersamaan, kerjaan Aceh
sedang berada diujung tombak permain yang dapat merugikan kerjaan. Tak satu
orang pun yang dapat memecahkan masalah dalam permainan itu. Hingga akhirnya,
sang Raja Aceh pun mengeluarkan keputusan bahwa barang siapa yang bisa
memecahkan masalah tersebut maka akan dikabulkan satu permintaan apapun yang ia
minta.
Adalah si Bayak Lingga, seorang ahli nujum berilmu tinggi yang
mengacungkan tangan dan berhasil menjawab permasalahan kerjaan itu. - Hingga sekarang
tak diketahui masalah dan permainan apa yang dijawab dan terjadi pada kerajaan
Aceh saat itu. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa si Bayak Lingga berhasil
setelah ia menyerahkan seekor ayam jantan hitam kepada Raja Aceh.
Betapa terkejut sang Raja, ketika Bayak Lingga dan rombongannya
ternyata menginginkan istri kesayangannya Putri Ungu yang tak lain adalah saudara
perempuan kedua putra mahkota. Tapi, janji tetaplah janji, dengan berat hati,
sang Raja harus melepaskan istrinya bersama orang lain. Tapi tidak mutlak, raja
mensyaratkan beberapa syarat.
1.
Harus
dimaklumi bahwa Putri Ungu sedang dalam keadaan hamil, maka ia tidak boleh
dinikahi sebelum melahirkan bayi kandungannya
2.
Apabila kelak bayinya laki-laki, maka harus
diangkat menjadi raja di Asahan.
3.
Harus
ikut serta seorang saksi atau pengasuh putra sultan bernama Putra Sakmadiraja
4.
Bayak
Lingga sebagai calon suami Siti Ungu harus bertanggung jawab atas penobatan
Putra Sultan.
Rombongan putra mahkota pun beranjak pergi meninggalkan Negri Aceh
dan berhasil membawa sang adik bersama mereka. Namun, sesuai perjanjian di
kerjaan Aceh, yang berhasil menjawab masalah kerjaanlah yang akan menikahi Siti
Ungu dan dalam hal ini adalah Bayak Lingga dari Negri Asahan. Maka dari itu,
Siti Ungu tidak bisa ikut kedua saudaranya ke Negri Pinang Awan. Ia harus turun
bersama Bayak Lingga di Negri Asahan.
Beberapa bulan kemudian, Siti Ungu pun melahirkan. Dan ternyata
seorang bayi laki-laki yang diberi nama Abdul Jalil. Setelah beberapa tahun
berlalu, Abdul Jalil sudah dewasa dan dianggap mampu untuk mengemban tanggung
jawab sebagai seseorang raja sebagaimana amanah Sultan Aceh dulu. Tetua-tetua
adat, pemuka-pemuka kaum dan orang-orang penting di Negri Asahan pun berkumpul
untuk membicarakan amanat Raja Aceh itu. Ternyata, musyawarah itu tidak
mendapatkan titik temu dan akhirnya Abdul Jalil diasingkan ke Kampung Raja di
Batu Bara, sebuah distrik yang sekarang berada sekitar 80 km dari jantung kota
Asahan.
Melihat peristiwa itu, sang pemangku putra sultan Putra Sakmadiraja
pun tidak senang dan mengadukannya kepada ayahanda Abdul Jalil di Aceh.
Mengetahui kabar anaknya diperlakukan tidak baik, Raja Aceh pun sangat murka.
Ia pun menyiapkan pasukan dalam jumlah
besar menuju Negri Asahan. Sebelum sampai di Negri Asahan, Raja Aceh terlebih
dahulu menjemput anaknya di Kampung Raja di Batu Bara.
Kedatangan Raja Aceh ke Batu Bara disambut sangat hangat oleh
kerajaan setempat. Raja setempat memerintahkan warganya agar tunduk takluk
kepada Raja Aceh. Namun Raja Aceh menolak dan memerintahkan mereka agar tunduk
kepada Abdul Jalil karena dialah sesungguhnya Sultan Asahan.
Setelah itu, bersama Abdul
Jalil Raja Aceh pun melanjutkan perjalanan ke Negri Asahan. Hingga akhirnya
pada suatu tempat, Raja Aceh memerintahkan pasukannya untuk berhenti. Tempat
itu adalah sebuah tanjung, tanah yang menjorok ketengah sungai, sebagai tempat
bertemunya sungai Silau dan sungai Asahan. Raja Aceh pun memerintahkan agar
ditempat itu dibangaun balai-balai dan tempat menghadap. Karena ditempat itulah
Abdul Jalil akan ditabalkan sebagai sultan.
Setelah semuanya selesai dan balai-balai telah berdiri kokoh, Raja
Aceh pun mengumpulkan semua orang di Asahan di Balai itu dan menabalkan anaknya
sebagai raja Negri Asahan. “Pada hari ini, aku menetapkan putraku Abdul Jalil
menjadi sultan untuk kamu sekalian di Negri Asahan ini, dengan daerahnya serta
diteguhkan dengan alamat kebesaran yaitu : pedang kerjaan, bawar meriam bernama
Sijuang Nahilang, sebuah jerung dan sikilap”.
Pada hari itu, Abdul Jalil pun sah menjadi raja pertama Negri
Asahan. Sementara balai-balai itu semakin lama semakin ramai sebagai tempat
pengumpulan upeti dan pusat perdagangan. Masyarakat pun akrab menyebutnya
dengan sebutan “Tanjung Balai Asahan”. Sebuah kota kecil 11 km dari tepian
selat Malaka,180 km dari kota Medan, Sumatera Utara. Dari beberapa sumber,
bahwa peristiwa panabalan sultan dan kedatangan Raja Aceh ke Asahan adalah pada
tahun 1620 M. Yang mana pada waktu itu Aceh sendiri masih dipimpin oleh Sultan
Iskandar Muda (1607-1636). Maka dapat disimpulkan bahwa raja yang datang ke
Asahan dalam penabalan Sultan itu adalah Sultan Iskandar Muda dan yang berarti
ayah dari Sultan Abdul Jalil sendiri.
Kini Tanjung Balai Asahan bukan lagi sebuah kampung seperti 393
tahun yang lalu. Tanjung Balai kini sebuah kota dengan luas wilayah 6.052 ha
berpenduduk 136.623 jiwa berdasarkan data tahun 2002 terbagi atas 5 kecamatan
dan 30 kelurahan. Pada peristiwa penabalan sultan pertama itulah (1620)
kemudian dinyatakan sebagai hari jadi kota Tanjung Balai dengan keputusan DPRD
dati II Kotamadya Tanjung Balai Nomor 04/DPRD_TB/1986 tanggal 25 November 1986.
Jum’at, 15 Februari 2013
OPISI SUMATERA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar