Laman

Senin, 25 Februari 2013

CERITA RAKYAT DARI SUMATERA


TANJUNG BALAI ASAHAN*
Cerita ini merupakan sejarah yang hilang. Seorang tetua daerah (baca : adat) mencoba untuk menggali kembali sejarah itu dari buku dan manuskrip-manuskrip kuno. Namun sayang, tak banyak data yang diperoleh. Tapi, untuk sementara, data demi data yang terkumpul insya Allah dapat membentuk sebuah kesimpulan. Disini, secara singkat, saya ingin menceritakan kembali sejarah yang hilang itu dengan pendekatan sastra. Semoga bermanfaat.
Alkisah, konon hiduplah seorang raja bernama Syahrir Alamsyah, berkuasa di sebuah daerah yang disebut Pinang Awan, sebuah distrik di Kota Pinang, Sumatera. Raja Syahrir memiliki dua istri. Istri pertama memiliki tiga orang anak, dua orang putra bernama Tengku Husin dan Tengku Abas dan satu orang putri yang sangat cantik jelita bernama Siti Ungu atau Siti Unai. Sementara dari istri kedua sang raja dikaruniai seorang anak laki-laki. 
Ternyata, istri muda raja menginginkan agar anaknya lah kelak yang akan mewarisi kerajaan ayahnya. Hingga suatu hari ia menyebarkan fitnah terhadap kedua putra mahkota Tengku Husin dan Tenku Abas kepada segenap jajaran kerjaan dan membujuk rayu meyakinkan suaminya hingga akhirnya kedua putra mahkota tersebut diusir dari kerajaan.
Kedua putra mahkota pun dengan hanya dibekali sebuah perahu kecil berlayar melewati selat Malaka, Hingga akhirnya mereka berlabuh di sebuah tangkahan di Negri Aceh. Mereka pun berbaur dengan rakyat Aceh dengan baik hingga berhasil memasuki wilayah kerjaan. Sang Raja Aceh pun tertarik kepada mereka hingga menghadiahkan mereka sebuah kedudukan penting di kerajaannya.
Berlalu beberapa tahun, kedua putra mahkota ini pun rindu akan kampung halaman mereka. Lalu, pada suatu hari, mereka memutuskan untuk kembali ke kampung halaman dengan membawa sejumlah pasukan mengawal mereka. Dan dugaan mereka benar, kerajaan tidak lagi dipegang oleh sang ayah melainkan oleh adik tiri yang dulu pernah mengusir mereka. Kedatangan mereka pun disambut dengan perlawanan oleh sang raja adik tiri.
Akan tetapi, keberuntungan berada dipihak kedua putra mahkota. Mereka berhasil mengalahkan pasukan kerajaan Pinang Awan dengan gugurnya sang raja adik tiri. Dengan terbunuhnya raja, keadaan Negri Pinang Awan pun tidak teratur. Porak-poranda terjadi dimana-dimana. Hingga akhirnya, pasukan kerajaan Aceh yang datang bersama kedua putra mahkota itu menemukan seorang wanita yang sangat cantik jelita. Ya, Siti Ungu yang tak lain adalah saudari kedua putra mahkota. Terpana dengan kecantikannya pasukan kerajaan Aceh pun membawa Siti Ungu kepada baginda raja di Aceh yang kemudian sang raja Aceh pun menikahinya.
Sementara itu, Negri Pinang Awan berangsur pulih atas kepemimpinan dua putra mahkota. Lalu, pada suatu hari, kedua putra mahkota ini memutuskan untuk menjemput kembali adik mereka dari raja Aceh. Perjalanan pun dimulai dengan perahu kerajaan menuju negri Aceh. Namun ditengah perjalanan, perahu kerjaan berlabuh di sebuah tangkahan di Asahan. Ternyata kedua putra mahkota ini memiliki siasat tertentu untuk menghadapi raja Aceh.
Sesampainya di Negri Asahan, ditemuilah seseorang yang terkenal cerdas, mengerti bahasa Batak Karo, Melayu dan Aceh serta memiliki ilmu nujum yang tinggi. Seseorang itu dikenal dengan nama Bayak Lingga. Setelah  bertemu dengan Bayak Lingga mereka pun membuat perjanjian untuk mengikut sertakan Bayak Lingga bersama mereka ke Negri Aceh.
Rombongan pun tiba di Negri Aceh. Mereka disambut dengan sangat baik oleh kerajaan Aceh. Ternyata, pada saat yang bersamaan, kerjaan Aceh sedang berada diujung tombak permain yang dapat merugikan kerjaan. Tak satu orang pun yang dapat memecahkan masalah dalam permainan itu. Hingga akhirnya, sang Raja Aceh pun mengeluarkan keputusan bahwa barang siapa yang bisa memecahkan masalah tersebut maka akan dikabulkan satu permintaan apapun yang ia minta.
Adalah si Bayak Lingga, seorang ahli nujum berilmu tinggi yang mengacungkan tangan dan berhasil menjawab permasalahan kerjaan itu. - Hingga sekarang tak diketahui masalah dan permainan apa yang dijawab dan terjadi pada kerajaan Aceh saat itu. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa si Bayak Lingga berhasil setelah ia menyerahkan seekor ayam jantan hitam kepada Raja Aceh.
Betapa terkejut sang Raja, ketika Bayak Lingga dan rombongannya ternyata menginginkan istri kesayangannya Putri Ungu yang tak lain adalah saudara perempuan kedua putra mahkota. Tapi, janji tetaplah janji, dengan berat hati, sang Raja harus melepaskan istrinya bersama orang lain. Tapi tidak mutlak, raja mensyaratkan beberapa syarat.
1.   Harus dimaklumi bahwa Putri Ungu sedang dalam keadaan hamil, maka ia tidak boleh dinikahi sebelum melahirkan bayi kandungannya
2.    Apabila kelak bayinya laki-laki, maka harus diangkat menjadi raja di Asahan.
3.   Harus ikut serta seorang saksi atau pengasuh putra sultan bernama Putra Sakmadiraja
4.   Bayak Lingga sebagai calon suami Siti Ungu harus bertanggung jawab atas penobatan Putra Sultan.
Rombongan putra mahkota pun beranjak pergi meninggalkan Negri Aceh dan berhasil membawa sang adik bersama mereka. Namun, sesuai perjanjian di kerjaan Aceh, yang berhasil menjawab masalah kerjaanlah yang akan menikahi Siti Ungu dan dalam hal ini adalah Bayak Lingga dari Negri Asahan. Maka dari itu, Siti Ungu tidak bisa ikut kedua saudaranya ke Negri Pinang Awan. Ia harus turun bersama Bayak Lingga di Negri Asahan.
Beberapa bulan kemudian, Siti Ungu pun melahirkan. Dan ternyata seorang bayi laki-laki yang diberi nama Abdul Jalil. Setelah beberapa tahun berlalu, Abdul Jalil sudah dewasa dan dianggap mampu untuk mengemban tanggung jawab sebagai seseorang raja sebagaimana amanah Sultan Aceh dulu. Tetua-tetua adat, pemuka-pemuka kaum dan orang-orang penting di Negri Asahan pun berkumpul untuk membicarakan amanat Raja Aceh itu. Ternyata, musyawarah itu tidak mendapatkan titik temu dan akhirnya Abdul Jalil diasingkan ke Kampung Raja di Batu Bara, sebuah distrik yang sekarang berada sekitar 80 km dari jantung kota Asahan.
Melihat peristiwa itu, sang pemangku putra sultan Putra Sakmadiraja pun tidak senang dan mengadukannya kepada ayahanda Abdul Jalil di Aceh. Mengetahui kabar anaknya diperlakukan tidak baik, Raja Aceh pun sangat murka. Ia pun menyiapkan  pasukan dalam jumlah besar menuju Negri Asahan. Sebelum sampai di Negri Asahan, Raja Aceh terlebih dahulu menjemput anaknya di Kampung Raja di Batu Bara.
Kedatangan Raja Aceh ke Batu Bara disambut sangat hangat oleh kerajaan setempat. Raja setempat memerintahkan warganya agar tunduk takluk kepada Raja Aceh. Namun Raja Aceh menolak dan memerintahkan mereka agar tunduk kepada Abdul Jalil karena dialah sesungguhnya Sultan Asahan.
Setelah itu,  bersama Abdul Jalil Raja Aceh pun melanjutkan perjalanan ke Negri Asahan. Hingga akhirnya pada suatu tempat, Raja Aceh memerintahkan pasukannya untuk berhenti. Tempat itu adalah sebuah tanjung, tanah yang menjorok ketengah sungai, sebagai tempat bertemunya sungai Silau dan sungai Asahan. Raja Aceh pun memerintahkan agar ditempat itu dibangaun balai-balai dan tempat menghadap. Karena ditempat itulah Abdul Jalil akan ditabalkan sebagai sultan.
Setelah semuanya selesai dan balai-balai telah berdiri kokoh, Raja Aceh pun mengumpulkan semua orang di Asahan di Balai itu dan menabalkan anaknya sebagai raja Negri Asahan. “Pada hari ini, aku menetapkan putraku Abdul Jalil menjadi sultan untuk kamu sekalian di Negri Asahan ini, dengan daerahnya serta diteguhkan dengan alamat kebesaran yaitu : pedang kerjaan, bawar meriam bernama Sijuang Nahilang, sebuah jerung dan sikilap”.
Pada hari itu, Abdul Jalil pun sah menjadi raja pertama Negri Asahan. Sementara balai-balai itu semakin lama semakin ramai sebagai tempat pengumpulan upeti dan pusat perdagangan. Masyarakat pun akrab menyebutnya dengan sebutan “Tanjung Balai Asahan”. Sebuah kota kecil 11 km dari tepian selat Malaka,180 km dari kota Medan, Sumatera Utara. Dari beberapa sumber, bahwa peristiwa panabalan sultan dan kedatangan Raja Aceh ke Asahan adalah pada tahun 1620 M. Yang mana pada waktu itu Aceh sendiri masih dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Maka dapat disimpulkan bahwa raja yang datang ke Asahan dalam penabalan Sultan itu adalah Sultan Iskandar Muda dan yang berarti ayah dari Sultan Abdul Jalil sendiri.
Kini Tanjung Balai Asahan bukan lagi sebuah kampung seperti 393 tahun yang lalu. Tanjung Balai kini sebuah kota dengan luas wilayah 6.052 ha berpenduduk 136.623 jiwa berdasarkan data tahun 2002 terbagi atas 5 kecamatan dan 30 kelurahan. Pada peristiwa penabalan sultan pertama itulah (1620) kemudian dinyatakan sebagai hari jadi kota Tanjung Balai dengan keputusan DPRD dati II Kotamadya Tanjung Balai Nomor 04/DPRD_TB/1986 tanggal 25 November 1986.

Jum’at, 15 Februari 2013
OPISI SUMATERA.


* juara I dalam lomba menulis cerita rakyat pada gebyar milad AMI 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar