Ini adalah cerita dari balik tembok suci. Sebuah pengalaman pahit
yang menimpa seseorang yang aku sayangi, aku kagumi, sahabatku, namanya Guntur.
Ikuti, insya Allah manfaat.
Ini tahun ketiga kami di pondok, beberapa bulan lagi kami akan
selesai dan lulus dari pesantren ini. Aku menatapnya. Ia sedang bicara dengan
seorang teman, lalu ia tertawa. Dia sangat ramah, baik, cerdas dan santun. Dia
temanku namanya Guntur. Jika Tuhan tidak mempertemukanku dengannya pada tahun
pertama mungkin aku tidak akan sampai pada tahun ketiga ini. Jelas saja, aku
tidak punya latar belakang pesantren sama sekali sebelum mondok di sini,
tiba-tiba saja di sini aku disuguhi kitab-kitab kuning tanpa syakal,
bagaimana bisa aku memahaminya?
Untung ada Guntur. Sejak awal mondok di sini aku bersamanya. Ia
membimbingku dan mengajariku dari nol hingga sedikit-sedikit aku bisa memahami
kitab gundulan itu.
Setiap malam ketika jam wajib pesantren selesai dan semua santri
tertidur nyenyak, aku membawa buku-bukuku ke masjid. Di sana sudah ada Guntur
yang sedang menungguku. Ia mengulangiku pelajaran kalimat demi kalimat,
semuanya, setiap malam. Terima kasih, Guntur.
Tidak hanya itu, Guntur juga orang yang taat beribadah, tak jarang
aku mendengar isakan tangisnya yang ia tahan-tahan ketika shalat.
Guntur juga dermawan dan baik hati. Biasanya ketika kiriman awal
bulan aku selalu ditraktir olehnya. Bagaimana bisa aku tidak mengagumi sosok
seorang Guntur yang ideal, sempurna,
perfect. Sesekali aku berpikir bagaimana nantinya masa depan orang seperti
Guntur ini?
Aku masih ingat, waktu itu :
“Gung, besok kan libur, ente mau ikut aku?”. Katanya padaku.
“kemana? Jangan aneh-aneh ente, meski libur kita kan ndak boleh
keluar pondok?”.
“ya ampun, sesekali gak apa-apa kali Gung, aku ingin mengajakmu
keliling Surabaya”.
“ngapain?”.
“eit, ngapain? Ya main-main lah. Ente tiga tahun di sini belum
pernah keliling Surabaya kan?”.
“pernah”.
“paling ke Ampel tok”.
“emang ente mo ngajak aku kemana? Keliling tok? Ntar abis itu
balik?”.
“lha enggak lah, ada suatu tempat yang harus kita teliti, aku
penasaran dengan tempat itu”.
“emm, pondok gimana?”.
“kia keluar entar sore, besok kan libur”.
“tapi aku tidak punya duit”.
“gampang, bisa diatur itu”.
Andai aku tahu, aku tidak akan mengiyakan ajakan Guntur itu. Aku
dan Guntur pun membungkus tas kami dengan kain sarung lalu menjinjingnya
melewati gerbang pondok dengan santai seolah tak berdosa. Lalu pada sebuah
warung, kami pun mengganti sarung kami dengan celana jeans yang kami
sembunyikan dalam tas. Lalu menderu menyerbu Surabaya.
Kami ke stasiun menunggu kereta api ke jurusan Surabaya. Aku masih
ingat, pada saat menunggu kereta api yang terlambat datang, Guntur masih sempat
mengajakku untuk shalat di mushalla. Dan kami pun shalat, Guntur yang jadi
imamnya.
“Tur, cepat! Spurnya udah datang”. Kataku menggugah guntuk yang
asyik bermunjat. Dan kemudian kami pun sampai di Surabaya.
Kuajak Guntuk ziarah ke Sunan Ampel. Dia bilang :
“nanti saja, itu perjalanan terakhir. Kita nonton saja dulu, ada
film bagus”.
Aku tertarik, kalo diajak nonton aku tidak mungkin menolak, aku
sangat menyukai film. Selesai nonton, kami masih mutar-mutar di mall,
menawar-nawar baju, sepatu, padahal uang kami pas-pasan, hanya sekedar melepas
lelah saja sambil menyapa penjaga toko yang cantik itu, lalu kami tertawa.
Malam semakin larut, aku mengajak Guntur untuk ke makam Sunan Ampel
lagi dan dia pun menyetujuinya. Namun karena sudah larut malam, angkot jurusan
JMP sudah habis. Guntur pun mngajakku kembali ke stasiun Wonokromo, barangkali
ada kereta api yang melaju menuju stasiun Semut.
Di stasiun Wonokromo, sepi hanya ada kami berdua dan kesyuian
malam. Guntur mengendikkan bahunya kepadaku. Aku putus asa lalu duduk terpekur
di kursi panjang merasa jengkel pada Guntur yang tak jelas. Lalu tiba-tiba
siulan seorang wanita mengagetkan kami. Guntur langsung menepuk pundakku dan
menunjukkanku wanita seksi yang bersiul itu.
“kesana yuk”. Kata Guntuk, aku tahu dia Cuma bercanda.
“gendeng ente, iya kalo cewek, siapa tahu banci”. Kataku dan kami
tertawa,.
Tapi dari badannya yang tegap sepertinya ia benar-benar banci. Lalu
kami menjauh dari stasiun itu menuju jalan raya. Sekarang entahlah, kami tidak
tahu harus kemana langkah mengarah.
“kalo tadi cewek beneren lumayan, Gung”. Kata Guntur.
“ngawur, boleh jadi dia nodongin pisau ke ente, ente mau apa?”.
Guntur diam.
“kita sekaran mau kemana nih?”. Kataku.
“ya udah, ikut aku”. Kata Guntur lalu berjalan mengabaikanku.
“kita jalan kaki?”.
“iya”.
“kemana? Jauh gak?”.
“tenang aja, pokoknya seru deh”.
Aku pun diam dan mengikutinya saja.
Kami pun jalan kaki tengah malam melintasi jalan raya kota
Surabaya. Kemudian Guntur mengajakku memasuki sebuah gang yang agak ramai. Aku
bertanya dalam hati, kenapa semuanya beraktivitas di malam hari seperti ini?
Namun seolah tampak biasa dan aku tidak begitu memikirkannya dan Guntur terus
saja menlangkah dan aku mengikutinya.
Hingga langkah kami dihentikan oleh suara halus yang bersahaja.
Guntur menoleh dan memaksaku untuk juga ikut menoleh. Aku melihat seorang
wanita yang lebih seksi dari banci di stasiun itu sedang melambaikan tangannya
kepada kami.
“gila, yuk kita pergi yuk”. Kataku dan Guntur tertawa lalu kami
mengabaikan wanita itu.
“kalo itu beneran cewek”.
“tapi jelek”. Kataku.
Kami tertawa lepas.
Lalu sebuah suara memanggil kami lagi. Kami pun sontak menoleh,
seorang wanita cantik yang tak kalah seksi memainkan matanya pada kami, Guntur
membalas memainkan matanya, lalu kami tertawa lagi.
“gial Tur, ini sih lokalisasi!”.
“iya, ini Gang Dolli”.
“edan ente bawa aku ke sini!”.
“aku juga baru pertama ke sini, tidak kusangka seperti ini, kocak
juga”. Katanya. Dan kami tertawa lagi.
“cabut yuk”. Kataku lagi. Dan kami sepakat untuk meninggalkan
tempat ini.
Kemudian pada sebuah warung yang masih ramai, Guntur mengajakku
untuk sejenak menyeruput secangkir teh hangat. Aku pun tidak menolak. Kami
duduk di bangku luar sambil menunggu pesanan kami sambil mengamati Dolli di
malam hari. Lalu suara bersahaja lagi memanggil kami, lembut.
“mas”.
Aku dan Guntur langusng menoleh, ternyata seorang gadis nan cantik
jelita berpakaian serba vulgar.
“samperin yuk”. Ajak Guntur.
“jangan, Tur”.
“kita ajak ngobrol aja, aku penasaran kenapa sih dia mau jadi PSK?”
“jangan, Tur”. Entah kenapa perasaan tidak enak kali ini.
“ya sudah, aku akan ke sana sendirian, sebentar saja”.
Guntur lalu menghampirinya. Aku pun hanya bisa mengamatinya dari
kejauhan. Guntur menjabat tangannya lalu duduk di sampingnya. Teh kami datang
dan Guntur mulai bercerita akrab dengannya. Aku bisa melihat jelas, Guntur
tertawa dan wanita itu ikut tertawa. Aku memalingkan pandanganku dan menikmati
secangkir teh hangat melewati tenggorokanku. Lalu aku menoleh kea rah Guntur
lagi dan wanita itu sudah menggenggam tangan Guntur. Aku terkejut lalu memekik
memanggil Guntur. Guntur dan wanita itu berdiri, lalu Guntur mengangguk dan
wanita itu pergi. Guntur pun datang dengan senyumnya yang lebar.
“ngapain aja ente?”. Tanyaku agak kasar.
Guntur lantas meminum tehnya.
“ke sana yuk”. Ajaknya.
“kemana?”.
“ke tempatnya dia”.
“astaghfirullah Guntur, sadar!”.
“enggak gak apa-apa, Cuma ngobrol doang”.
“tapi tadi kalian pegangan tangan”.
“sedikit, katanya dia mau curhat, aku penasaran, apa sih yang
membuatnya mau jadi psk?”
“lebih baik kita pergi aja deh”.
“ya udah, kalo begitu ente tunggu di sini, paling lama setengah
jam”.
“Guntur!”.
Dan Guntur pun pergi.
Aku pun menunggu Guntur setengah jam, se jam, dua jam, tiga jam,
hingga waktu subuh hampir masuk namun Guntur tak juga kembali aku pun memutuskan
untuk meninggalkan tempat itu dan menuju Ampel sendirian.
Dua hari kemudian, aku bertemu Guntur di pondok. Aku mengajaknya
bicara, menanyainya, tapi ia berubah jadi pendiam, sinis dan tak seramah dulu.
Sejak hari itu persahabatanku dan Guntur pun retak. Ia seperti orang asing
bagiku. Berpapasan pun ia tidak menegurku.
Beberapa bulan kemudian, kami lulus dari pondok dan aku mendapat
beasiswa kuliah ke luar negri. Sampai lulus S2 aku tidak pernah mendengar kabar
tentang Guntur sama sekali.
Sepulang ke Indonesia, aku pun mampir ke pondok sekadar sowan
pada pak kyai. Pondok memang banyak berubah tapi ingatanku bersama Guntur sama
sekali tak memudar. Aku pun memutuskan untuk menyambangi Guntur ke rumahnya.
Sampai di rumah Guntur aku malah di usir oleh orang tuanya.
“kenapa pak?”. Kataku heran.
“Guntur bukan anak kami, sebaiknya anda pergi saja dan jangan
kembali ke sini lagi!”.
Aku bingung dan penasaran. Aku pun menanyakan perihal Guntur pada
tetangganya. Mereka pun menunjukkan pada suatu tempat, dan aku langsung menuju
tempat itu.
Tempat itu adalah sebuah gubuk yang kumuh. Di dalam gubuk itu aku
mendapati seorang pria jorok sedang meneguk minuman keras. Aku memperhatikan
pria itu, dan bathinku menjerit, air mataku langsung tercucur. Aku ingat, orang
itu adalah orang yang mengajariku membaca kitab kunging di pondok dulu, orang
yang menangis dalam shalatnya, orang yang dermawan dan baik hati. Aku langsung
mendekatinya dan menyentuh pundaknya.
“Guntur”. Kataku dan air mataku semakin tak tertahan.
Botol minuman itu langsung jatuh dari genggaman Guntur. Ia
menatapku lama, lalu air matanya pun berlinang, lalu ia memelukku. Aku
mengajaknya keluar dari gubuk itu dan memaksanya agar bercerita apa sebenarnya
yang terjadi.
“malam itu, aku malakukannya, setan berhasil merusak imanku”.
Cerita Guntur.
“lalu?”.
“lalu setelah lulus dari pondok, aku ketagihan dan mengulanginya
lagi, lagi dan lagi hingga jadi kebiasaanku”.
“Allah Guntuuur, kenapa kau bisa jadi seperti ini?”.
Guntur hanya bisa menangis, cerita demi cerita yang ia ceritakan ia
hanya bisa menangis. Kutanya kenapa dia tidak segera bertobat? Dia bilang sudah
bertobat berkali-kali.
“aku sudah mencoba bertobat berkali-kali, tapi sulit, Gung. Setiap
kali hasrat itu datang, aku tidak bisa membendungnya. Sulit untuk keluar dari
kegelapan ini”.
Aku tidak bisa apa-apa. Sebagai seorang sahabat aku hanya bisa
mengingatkannya. Dan sebelum aku pergi, Guntur sempat bilang :
“hidupmu itu ibarat kaca, apabila sudah pernah pecah, biar sekuat
apa usahamu menyatukannya, retaknya akan selalu kelihatan dan jika tersentuh ia
akan kembali pecah. Jika kau sudah pernah masuk dalam kehidupan hitam, sulit
bagimu untuk kembali lagi. Maka dari itu, jaga baik-baik kaca itu jangan sampai
pecah”.
THE END
Abu Dohak, 03:31, menanti subuh.
Mohon doa dari para sahabat untuk kita yang sebentar lagi
menghadapi ujian semester di sini, semoga semua lulus dan berjalan dengan
lancar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar