Laman

Sabtu, 29 September 2012

SI ‘BENANG MERAH’





Salam cantik untuk seluruh sahabat.
Sebuah kisah yang membuatku tak berhenti merenung. Memikirkan dan mencoba untuk benar-benar menjawabnya. Tapi hanya Tuhan yang tahu ketidak atau benarannya. Semuanya misteri. Ya, misteri. Tapi karena misteri itulah hidup ini terasa menarik untuk dijalani. Ikuti ceritaku berikut ini!

Kata mereka aku tidak punya keluarga. Salah! Mereka salah. Aku memiliki Dani yang semenjak kecil sudah bersamaku. Dani dua tahun lebih tua dariku. Dani sudah kuanggap sebagai keluargaku satu-satunya, Karena kami sama-sama tidak mempunyai orang tua. Aku dan Dani sering kemana-mana bersama, melakukan banyak hal bersama, serta mengukir mimpi bersama.

Kami dibesarkan disebuah panti asuhan di Jakarta. Hidup di tengah-tengah hiruk-pikuk ibu kota membuat kami ingin merasakan banyak hal. Ingin menjadi kami yang menggenggam hidup kami seutuhnya. Tanpa harus terpenjara dalam gerbong ekonomi panti asuhan. Tapi tidak bisa, untuk sementara tidak bisa. Karena kami belum memiliki umur yang seimbang untuk menaklukkan dunia. Yang bisa kami lakukan sekarang hanya satu, bermimpi.

Hari pun berlalu. Dan seiring dengan berkurangnya waktu, akhirnya aku dan Dani pun diperbolehkan meninggalkan panti. Tapi aku, aku bersikeras untuk melanjutkan studiku. Sementara Dani tetap dengan pendiriannya untuk membuka usaha, meski kecil-kecilan. Ini pertama kalinya aku dan Dani tak sepaham. Disini pertama kalinya aku dan Dani bertengkar. Ini pertama kalinya aku dan Dani memiliki mimpi masing-masing.

Aku pun berjalan dengan langkahku dan Dani berjalan dengan langkahnya. Aku dapat beasiswa disalah satu universitas ternama di Jakarta dan Dani mulai merintis usahanya. Hubungan kami pun mulai merenggang. Tapi hanya untuk sementara. Di tahun kedua masa perkuliahanku, aku terancam di keluarkan karena prestasiku menurun akibatnya beasiswaku dicabut dan aku tidak memiliki cukup uang untuk membayar semua keperluan kuliah.

Suatu malam, aku pun mengadukan perihalku ini kepada Dani. Dani yang sudah menganggapku seperti adiknya sendiri pun iba kepadaku. Namun tak lantas ia memberiku uang lalu aku dengan santai melanjutkan kuliahku, tidak. Bukan seorang Dani seperti itu. Dani tipe orang yang ulet dan berprinsip. Termasuk berdiri diatas kedua kaki sendiri adalah prinsip Dani yang paling mendasar. Dan ia ingin menanamkan prinsip itu di jiwaku.

Aku pun disuruh Dani agar pintar membagi wakut dan  ikut berkerja bersamanya agar mendapatkan cukup uang untuk membiayai kuliahku. Aku menjalaninya dengan senang hati. Dan toh, mungkin ini kesempatan bagi kami untuk memperbaiki diri seperti dulu lagi yang melakukan segalanya bersama-sama.
Sebulan, dua bulan dan satu semester berlalu. Aku menjadi mahasiswa terkaya di kuliah. Usaha yang kujalankan bersama Dani meraup untung tak tanggung-tanggung banyaknya. Aku pun bisa membeli mobil dan membawanya dengan gaya ke kuliah. Hingga aku lulus sarjana aku masih bekerja bersama Dani.

Seteah resmi menyabet predikat sarjana, jiwa akademisku tak lantas luntur. Semangat yang menggebu semakin menguat dan mengharuskanku untuk melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi. Aku dan Dani mulai bertengkar lagi. Pasalnya kami baru saja menyepakati rencana bisnis yang super besar dan sepertinya akan terkendala dengan kuliahnya aku kembali distrata yang lebih tinggi. Aku pun berusaha meyakinkan Dani bahwa pendidikan itu jauh lebih penting dari pada uang. Tapi Dani tak mau setuju. Baginya, uang adalah benang merah hidupnya.

Aku pun melanjutkan S2ku dan rencana bisnis super besar itu terpaksa dilakukan Dani seorang diri. Tapi meski begitu, aku masih membantu Dani dibeberapa perusahaannya yang tak sedikit meraup untung. Dua tahun berlalu, aku lulus S2 dan tak kusangka, Dani sukses dengan rencana bisnis raksasa itu dan ia termasuk 50 orang terkaya se Indoensia.

Cerdas dan berpendidikan tinggi aku pun diminta Dani untuk mengisi jabatan penting diperusahaannya. Aku menerimanya meski tak lama kemudian kami juga bertengkar kembali. Pasalnya karena semangat akademisku yang tak bisa kuhilangkan. Bulan depan aku resmi dinobatkan sebagai kandidat doctor. Kerjaanku di kantor pun amburadul dan minta cuti beberapa waktu yang cukup lama pada Dani dan ia pun mengamininya.

Sebelum aku resmi menjadi doctor, Dani menikah dengan seorang wanita yang sangat sederhana. Perkenalan Dani dengan wanita itu membuat sosok Dani menjadi lebih sederhana. Ia sama sekali tak tampak sebagai pengusaha kaya yang sukses. Melainkan hanya seorang biasa yang bukan siapa-siapa. Ia lebih banyak bersedekah dan membantu kegiatan-kegiatan social yang positif dan membangun. Tapi bersamaan dengan itu, justru usaha Dani semakin maju pesat. Omzetnya bisa melonjak hingga 7 kali lipat.

Aku lulus, dan Dani masih memberikanku jabatan strategis dikantornya. Tapi kali ini, aku menolaknya. Semangat akademisku membawaku untuk tetap berada dilingkungan kampus. Aku pun lebih memilih menjadi dosen yang setiap hari bisa bertemu dengan mahasiswaku membicarakan hal-hal ilmiah. Itu membuatku sangat senang dan sungguh tak terbayarkan dengan uang. Meski aku menerima gaji seadanya dan jauh tak sebanding dengan pendapatanku dikantor Dani.
Terakhir aku resmi dinobatkan menjadi seorang professor, gelar tertinggi dibidang akademi. Dan aku berhasil. Disamping Dani juga yang berhasil masuk dalam 10 orang terkaya di Indonesia. Dani urutan ketujuh dengan kekayaan sejumlah 27 trilyun rupiah.

Sejenak aku merenung tentang hidupku dan hidup Dani.  Aku punya mobil bagus dan rumah bagus, bagus untuk orang sekelasku. Dani juga punya mobil bagus dan rumah bagus untuk orang sekelas Dani. Tapi tak jarang aku mengunakan jasa angkutan umum bila berpergian, Dani juga sama. Dani kaya, ia bisa beribadah dengan hartanya. Aku juga sama, meski tidak dengan uang, aku bisa beribadah dengan ilmuku. Dani tertawa aku juga tertawa. Saat Dani jatuh, ia pasti sedih dan aku juga pasti seperti itu. Nanti Dani akan mati dan meninggalkan uang trilyunannya itu, aku juga sama, nanti akan mati dan meninggalkan ilmu dan gelarku itu. Lantas apa?

Terakhir aku tahu jawabannya. Hidup. Hidup adalah kata kuncinya. Setiap orang memiliki hidupnya masing-masing. Terserah mau diapakan atau dibawa kemana hidupnya. Tapi tak boleh kau berhenti disembarang tempat dalam hidupmu. Dengan beriringnya waktu, kau juga harus menjalankan hidupmu, setidaknya seperti air sungai yang pelan namun tak pernah berhenti bergerak. Dan terserah, mau didermaga mana kau berlabuh. Karena sesungguhnya hakikat dari kehidupan ini hanyalah satu, yaitu kepuasan bathin. Tak ada yang lebih hebat dari sebuah kepuasan bathin. Uang, tahta, wanita, takkan berarti apa-apa jika bathinmu tersisksa. Dan bahkan, mimpi yang selalu kau ukir, cita-cita yang selalu kau rajut adalah buah dari keinginan bathinmu. Tapi jangan lupa, kau harus mengawinkan bathinmu itu dengan sejuta kebaikan karena setelah kehidupan ini, ada kehidupan lagi yang amat indah.

Maha suci Allah yang telah menjadikan manusia bermacam dan beraneka ragam. Ada si kaya, si miskin, si pemimpin, si dokter, si guru, si tukang sapu, si tukang cerita (hehe), dan subhanah yang telah meletakkan kepuasan bathin bagi mereka terhadap hakikat kesiapaan mereka.







Tareem, 29 september 2012, 00:15.
Abu Dohak.

Sebuah cerita yang terbuka dari hasil pengaduanku kepada seorang teman di sutuh sakan dakhili. Pada suatu malam yang tenang, kami menikmati bintang yang bergelimpangan tanpa tertutupi setitik awan. Lalu seekor burung melintas. Aku Tanya “kang, sampeyan lebih suka mana jadi bintang itu atau jadi burung itu?”. Dan sekarang aku bilang “kang, aku tidak ingin sampeyan pulang ke Indonesia secepat ini”. Semoga Allah meringankan bebanmu, kawan.