Keningku
terkecup, dan tatapku melekat menututi ibu. Pintu terhempas pelan dan
ibuku menghilang dari pandanganku. Kutarik nafas panjang kedalam,
menikmati kesendirianku. Beberapa jengkal tepat diatas kepalaku ada air
yang tak pernah jemu menetes. Kata mereka, air itu obat, sangat penting
untukku.
“selamat!!”. Tangannya terjulur menanti tanganku.
Lalu aku menggenggam tangannya yang halus, kemudian tersenyum menyambut senyumya yang manis.
“aku pasti akan sangat merindukanmu”. Ujarnya.
Dan bibirku runyam untuk membahasakan segala perasaanku.
“bisakah kau menunggu?”.
Ia diam tersenyum lebar.
Aku benci menunggunya bicara.
“mungkin akan sangat berat bagimu”. Kataku melepas sedikit harapan.
“aku akan menunggumu!”.
Membuat semangatku matahari. Iya! Untuk segala urusan hidupku.
Kemudian aku terbang meninggalkan kepulauan Indonesia.
“Lion, ini buburnya, makan mama suapin ya”.
Entah
kapan ibuku masuk, aku tidak sadar. Kupandangi ibu yang begitu tegar
menyuapiku. Baru tiga sendok kutelan, aku terpaksa harus
mengeluarkannya. Aku tak ingin tapi terpaksa. Namun tidak ada kekesalan
diraut wajah ibu. Dengan tabah ia membersihkan muntahku dan mencoba
menyuapiku sekali lagi. Namun tetap saja percuma!.
“Mr. Lion, Indonesian”. Seorang wanita mengangkat tulisan itu ditangannya.
Riang aku menggeret koperku menghampirinya.
“yes, I am Lion”.
Wanita itu menggeleng.
“I am here, my name is Lion”.
Ia menggeleng lagi dan bilang :
“no, I wait Lion (ia baca Laen) not you!”.
Dingin
terasa menyentuh dadaku. Mataku terbuka, ada seorang pria tampan berjas
putih dihadapanku. Hampir saja aku mengira pria itu adalah malaikat
yang akan mencabut nyawaku.
“bagus, tapi Lion harus banyak makan agar kuat ya”.
Aku diam dan pria itu pergi menghampiri ibu yang berdiri didekat pintu. Mereka berbincang lama dan aku enggan memperdulikan itu.
“ibu,
doakan anakmu. Ujian kali ini penentu siapa yang akan diajak terbang
mengangkasa nantinya, Your son, Lion”. Pesan singkat itu pun terkirim.
Hanya sekitar seratus mahasiswa dari beberapa Negara yang berhasil
mengikuti ujian itu termasuk aku dari Indonesia. Tapi sayangnya, hanya
dua orang saja yang dipilih. Apakah termasuk juga aku dari Indonesia?.
Aku
terjaga lagi karena suara ramai yang membisingi telingaku. Dan
ternyata, teman-temanku dari SDN 5 beserta ibu guru datang menjengukku.
“apa kabar Lion?”. Kata mereka serempak menggemuruhi ruangan.
Dan aku pun tersenyum, suka. Terasa hangat dalam keramaian yang meriakan, rintihku terenyuh.
“aku ingin seperti mereka!”. Dan air mataku terpaksa harus mencucur untuk yang kesekian kalinya.
“jangan sedih! Ibu guru dan teman-temanmu ada disini bersamamu”. Ibu guru menenangkanku.
“selamat
ibu! Kau melahirkan anak yang cerdas! Anakmu termasuk dua orang yang
terpilih untuk terbang keluar angkasa. Seminggu lagi kami akan mulai uji
coba dan beberap keperluan lainnya. Jika tidak ada halangan, tahun
depan Lion akan berada diluar angkasa. Doamu selalu, Ibu”.
Sumpah aku sangat senang sekali.
“ibu pasti bangga”. Pikirku dalam hati.
Suara
ramai lagi. Kali ini keloga-kolega ibu yang datang. Mereka baik-baik.
Mereka meberikan bunga padaku. Bahkan ada yang iba dan mengecup
keningku. Agak jauh dariku, mereka bicara pada ibu. Dan ibu menangis
menelan kata-katanya. Aku tidak kuasa melihatnya. Seharusnya akku
membuat ibu bangga. Aku anak satu-satunya ibu, tanpa saudara, tanpa
ayah. Aku tidak pernah mengenal ayahku.
“one, two, three, ready?”.
Kami
semua tegang dengan posisi kami. Tapi aku sangat gembira. Dan tiba-tiba
bergetar dan bergetar semakin kencang hingga benturan dahsyat terjadi
ketika pesawat kami berusaha menembus atmosfer bumi. Kemudian bumi biru
tampak olehku dengan bulatnya. Aku sungguh takjub dan takjub. Dan kami
melayang semakin menjauh.
Kupikir pesawat
kami hilang dan aku sendiri tanpa tabung oksigen melayang diangkasa.
Sesakku sungguh luar biasa dan wanita-wanita cantik berpakaian putih
mengelilingiku, memasang selang oksigenku, memeriksa tekanan darahku dan
denyut nadiku. Ibuku menangis kencang dikejauhan.
“ibu, kenapa kau?”.
Lalu ibuku memudar dari tatapku. Kecantikan-kecantikan wanita berseragam serba putih itu pun hilang.
“kenapa semuanya hitam, menggelap?”.
Kilauan
cahaya potret kamera sibuk menjamu kedatanganku. Tanah air yang
kucinta, aku kembali menjejaknya. Bukan aku sombong, tapi aku tidak
punya waktu menjawab semua pertanyaan wartawan yang mengiang tidak jelas
ditelingaku. Karena aku pun tidak lama di Indonesia. Aku pulang hanya
untuk dua hal. Memeluk ibu dan menepati janji. Karena dulu aku sudah
berjanji untuk kembali ke Indonesia setelah selesai kuliah. Kupikir aku
akan selesai 5 tahun, ternyata 13 tahun. Tapi ia tetap sabar menungguku.
Untuk itulah aku harus cepat-cepat melamarnya lalu membawanya dan ibu
kembali ke Amerika karena NASA memintaku untuk bergabung bersama mereka.
Ricuh, aku mendengarnya. Tangisan ibu yang
paling kencang. Ya, aku dapat mendengar tangisan ibu dengan jelas. Tapi
kenapa aku susah membuka mataku?.
Aku harus
konsentrasi penuh belakangan ini untuk misi besar NASA tahun depan. NASA
akan terbang kebulan, termasuk aku. Hampir 20 jam sehari kuhabiskan
waktuku di laboratorium meninggalkan anak dan istri dan juga ibuku. I am
sorry.
Akhirnya aku bisa membuka mataku.
Meski masih sayu, tapi aku dapat melihat kecemasan terpatri diwajah
wanita-wanita berseragam serba putih yang mendorongku. Dimana ibu?
Setetes air terjatuh menitiki keningku. Ternyata air mata ibu. Dan
tangannya dingin erat menggenggam tanganku. Aku ingin sapa : “ibu”. Tapi
bibirku susah untuk kuangkat. Kucoba, namun tetap tidak bisa. Lalu
seorang pria berbaju putih menahan ibuku untuk masuk bersamaku. Pria itu
jahat. Ia paksa menarik genggaman ibuku dari tanganku. Aku ingin ibu,
ibu, ibu.
“ibu !!!!!!!!!!!!!”. jeritku kuat.
Aku kembali kebelakang dan berlari memeluk ibu kuat.
“ibu akan menunggumu disini. Pergilah! Dan kembali dengan selamat”.
Dibawah pesawat yang akan menerbangkan kami kebulan, patner-patner kerjaku haru menungguku.
“apa ibu bangga dengan putramu?”.
“ibu bangga, ibu bangga sekali kepadamu, Lion”. Isak ibu dengan tangisnya pecah.
Dan aku pun melambaikan tangan kepada ibu, anak dan istriku. Lalu aku terbang, terbang tinggi meninggalkan bumi.
Aku
Lion 9 tahun. Meski ibu tidak pernah memberitahuku yang sebenarnya,
tapi aku tahu dari percakapan-percakapan samar yang kau curi dari
penjengukku. Kata mereka, Lion terserang kanker ganas, entah kanker apa
dan sudah stadium akhir. Bahkan aku dengar dokter bilang, hidupku tidak
mungkin lebih dari 6 bulan. Tapi satu hal yang perlu kau tahu kawan,
meski apapun takdirku, aku tidak pernah mau berhenti bermimpi. Karena
bermimpi itu, begitu indah.
ABU DOHAK, HOSPITAL LAM WAH EE, MALAYSIA, 02.30 am, 07/05/2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar