Laman

Kamis, 01 November 2012

WIRA VERSUS DODI

 Assalamu’alaikum kawan-kawan …



Salam semangat!
Hmm,, udah lewat dua minggu ya? Sepertinya saya telat mosting cerita lagi nih .. maaf ya. Kali ini, saya suguhkan cerita syibeh nyata dari kehidupan beberapa orang yang jauh dari negri mereka tercinta, Indonesia. Suatu cerita yang aku sendiri merasa jijik menceritakannya. Kau tahu kenapa? Karena aku tidak suka orang-orang seperti mereka. Ingin tahu selayak apa mereka untuk tidak disukai? Ikuti ceritaku berikut ini.

Disini, banyak orang Indonesia yang mempertaruhkan waktunya. Demi hidup, demi masa depan (kata mereka), demi orang-orang yang sudah banyak berkorban untuk mereka. Aku ingin geram menggenggam mereka semua. Lalu memilah mereka satu demi satu dengan jariku, untuk kujadikan bonekaku. Lalu kupinjam dua orang, yah, dua orang saja, untuk bermain dalam ceritaku.

Sebut saja namanya Dodi dan satu lagi Wira. Sebagai hamba Tuhan, mereka terlahir sama, tapi sebagai manusia, mereka terlahir begitu berbeda.

Dua tahun lalu, nama mereka sama-sama dimuat dalam website resmi Al-Ahgaff sebagai calon mahasiswa yang berhasil menyabet beasiswa untuk studi s1 dalam fakultas Syariah wal Qonun di Yaman. Dodi berangkat dengan segala sesatu yang sangat lancar dan super mudah. Mungkin karena Dodi anak seorang terpandang di negri Indonesia itu. Sedangkan Wira, nyaris saja tidak jadi berangkat. Banyak kendala, terutama dalam hal biaya. Kabarnya, ayah Wira menjual satu-satunya sawah warisan kakek Wira untuk biaya keberangkatan Wira.

Cerita punya cerita, akhirnya Dodi dan Wira pun berhasil mendarat di negri seribu para wali alias Tarim dan belajar di fakultas Syariah wal Qonun di Univeritas Al-Ahgaff Yaman. Kau anggap saja Ahgaff itu seperti perangkap tikus yang selalu menganga untuk menggampit mangsanya. Karena peraturannya yang begitu ketat dan mengerikan. Salah sedikit, maka tiket bicara dan kau harus pulang ke Indoensia tanpa mendapatkan apa-apa. Itu bagi Wira. Karena ujiannya yang semakin hari semakin sulit, semakin kau lulus maka ujian yang lebih ‘sangar’ menantimu. Itu bagi Wira. Karena agar air mata yang terjatuh saat kepergianmu itu tidak terbuang sia-sia. Itu bagi Wira. Agar tadahan tangan ibumu yang setiap malam meminta untukmu ada hasilnya. Itu bagi Wira. Agar sepetak sawah yang dijual dulu terbayar dengan kebanggaan yang kau berikan. Itu bagi juga Wira.

Tidak bagi Dodi. Dodi terlahir sebagai seorang bermultitanlenta. Tampan, suaranya bagus, otaknya sangat cerdas, elokuen, disenangi banyak orang, anak seorang kyai besar, dan pastinya anak orang kaya. Sekali baca saja Dodi sudah langsung paham dan bisa menjabarkannya seolah orang yang sudah bertahun-tahun mendalami disiplin ilmu itu. Dua kali baca, Dodi langsung hafal dan bisa mengulangnya dengan sangat lancar tanpa salah diluar kepala.  Dengan elokuensinya, Dodi banyak disenangi oleh teman-temannya juga para dosen-dosennya, Dodi berhasil mencuri hati mereka semua. Hal itu pun membuat Dodi tampak lebih santai dari pada mahasiswa-mahasiswa yang lain. Ia hanya belajar pada malam ujian, itu pun hanya sebentar, selebihnya ia pakai untuk main game dari laptopnya. Ketika jadwal setoran qur’an dipajang, Dodi hanya perlu menyiapkan diri dua hari, tidak seperti mahasiswa lainnya yang langsung gemetaran ketika melihat nama mereka terpampang dikolom pengumuman itu.

Sementara Wira, ia tidak seberuntung Dodi. Lahir dari kerluarga yang sederhana, gagap, pas-pasan, membuat sosok Wira lebih pendiam dan jarang bergaul dengan teman-temannya. Setiap menjelang petang, Wira selalu mendayung sepedanya untuk nyepi ke masjid-masjid sekitar Tarim untuk muroja’ah pelajaran yang bagi sebagian orang sangat mudah dipahami. Setiap kali malam semakin melarut, Wira masih terbangun dengan menggenggam mushaf kecilnya. Menghafal huruf demi huruf dari mushaf itu, berjam-jam yang bagi sebagian orang cukup hanya setengah jam. Pada saat semua orang sibuk dengan kegiatan-kegiatan social kemahasiswaan mereka, Wira hanya ditakdirkan menjadi penikmat kegiatan itu. Dengan matanya yang berkaca-kaca ia mengagumi mereka yang bagi sebagian orang sangat mudah sekali untuk dikagumi.

Sudah tiga tahun wira belajar di universitas ini. Dan selama itu pula, setiap kali ujian, Wira tidak pernah merasa mulus. Ada saja mata kuliah yang tidak bisa Wira lewati meski ia sudah berusaha sekuat yang ia bisa. Tapi Alhamdulillah, setiap kali ujian ulang, Wira masih diberi kesempatan untuk lulus. Kecuali tahun lalu, Wira tersangkut disalah satu matakuliah yang membuat Wira harus mengulang satu tahun. Tahun ini, Wira kembali masuk kuliah dan ujian sudah didepan mata. Ia semakin sering nyepi dan berputar-putar dimasjid untuk menghafal materi kuliah. Sesekali ia memukul jidatnya yang enggan menerima apa yang tertuang dalam kitab itu.

Ujian pun digelar. Aku semakin tidak pernah melihat Wira bicara sepatah kata pun. Apa lagi terlihat nyantai di bagalah alias warung hanya untuk sekedar menyeruput syahi atau teh. Ia semakin keras belajar. Karena, jika ia gagal diujian kali ini, maka ia terpaksa harus dipulangkan ke negaranya, Indonesia. Aku sempat kasihan melihat Wira. Aku harus bilang apa? Wira yang menyedihkan? Wira yang terzholimi oleh takdir? Wira yang bodoh? Wira yang tak tahu diri? Tidak! Kau tahu siapa sesungguhnya Wira?

Ujian pun berakhir. Dua minggu lagi pengumuman hasil ujian akan dipajang. Selama itu pula, Wira tak henti-hentinya ziarah ke Zanbal untuk mencari berkah dari setiap jawaban-jawaban yang ia goreskan dilembaran yang memuakkan itu. Hingga akhirnya, waktu pengumuman hasil ujian pun tiba.

Kabarnya, hari ini hasil ujian akan dipajang. Tapi dari pagi kenapa tidak ada juga yang baru di madding kuliah. Hampir tiga puluh kali Wira bolak-balik mengecek madding kuliah, tapi hasilnya nihil. Hingga pada saat jam makan siang, ketika semua mahasiswa turun ke dapur, berita pun tersebar dengan sangat cepat.

“pengumuman sudah di pajang!”. Jerit orang disana-sini.

Wira langsung lari dengan semangatnya. Sedangkan Dodi enggan untuk menyingkirkan stick gamenya. Tapi jam makan siang, semua orang pasti turun ke dapur dan harus melewati gedung kuliah karena dapur berada disamping gedung kuliah. Dari kejauhan ada Dodi yang memelankan jalannya mengamati orang-orang yang berdesakan memadati madding kuliah itu. Dan disisi yang lain, ada Wira yang berhimpit-himpitan dibawah madding kuliah. Dan, tak berapa lama kemudian. Wira keluar dari desakan bahu mahasiswa yang lain dengan menjerit dan menangis. Wira memeluk teman-temannya seraya berteriak :

“aku luluussss”.

Lalu ia menyungkur mencium tanah, sujud syukur keharibaan Tuhannya.
Sontak saja Dodi terbelalak keheranan melihat tingkah Wira yang seolah berlebihan. Ya, mungkin berlebihan bagimu Dodi, tidak bagi sahabatku Wira. Setelah kuteliti, ternyata dari tujuh mata kuliah dalam semester ini, Wira medapatkan nilai ‘dal’ di enam mata kuliah dan ‘jim’ di satu matakuliah. Sedangkan Dodi mendapatkan nilai ‘alif’ di enam mata kuliah dan ‘ba’ di satu mata kuliah. Disaat orang-orang berusaha mati-matian untuk keluar dari nilai ‘ha’ yang berarti rasib alias tidak lulus, Dodi dengan perjuangan tak mati-matiannya berusaha mendapatkan nilai ‘alif’. Aku ingin bilang ini tidak adil!. Tapi, suatu pertanyaan besar menghantuiku. Kenapa aku harus bilang tidak adil?

Wira, jika waktu itu matamu berkaca-kaca mengagumi orang-orang pelakon kegiatan social itu, orang-orang yang elokuen itu, maka janganlah berkecil hati. Ada aku, sahabatmu disini yang bulu tubuhnya berdiri mengagumimu. Kau tahu, sesungguhnya kau lah orang cerdas itu. Kaulah orang yang berhasil itu. Kaulah orang yang selama ini kucari untuk kukagumi itu. Dan sebaliknya,  Dodi, aku bilang, sesungguhnya kaulah orang terbodoh didunia. Kaulah pecundang itu. Kaulah orang yang tidak pantas bahkan hanya untuk disenyumi. Dodi, aku membenci orang sepertimu.

Kawan, sudah menjadi hukum alam jika setiap manusia terlahir berbeda dari manusia yang lain. Ada yang terlahir tanpa talenta seperti Wira dan ada pula yang terlahir dengan multitalenta seperti Dodi. Namun keistimewaan tidak terletak pada talenta itu. Melainkan pada manusia itu sendiri. Aku menyebutnya ‘semangat’, terletak pada semangat manusia itu sendiri. Seperti halnya Wira, yang berhasil membawa dirinya pada suatu titik, dimana ia harus gagal pada titik itu. Tapi ia tetap semangat dan berusaha, hingga ia berhasil keluar dari kegagalannya. Dan berhasil melakukan hal lebih dalam hidupnya.

Dan seperti halnya Dodi, yang bermultitalenta namun menyia-nyiakannya begitu saja. Kurasa tidak keliru jika kubilang orang semacam Dodilah orang yang bodoh. Seharusnya dengan segala yang Dodi miliki, ia bisa menarik dirinya kesuatu titik, dimana ia harus gagal pada titik itu, lalu ia berusaha lebih. Meski pada titik itu akhirnya ia gagal, setidaknya ia telah melakukan banyak hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Setidaknya ia telah melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan kebanyakan orang lain. Ketika ia ditakdirkan untuk berbeda dari kebanyaan orang, kenapa ia harus membawa dirinya sama dengan orang-orang dibawahmu? Kau bisa berbuat lebih Dodi. Tapi sayang, kau bodoh!

Maaf,
Jika aku benci menyebutnya sebagai takdir yang malang
Atau aku tidak suka mendengar mereka berkata takdir yang garang
Terkadang, melawan takdir itu merupakan keniscayaan
Karena hokum alam sudah memutuskan
Kitalah manusia!
Dustai takdirmu sebisamu
Jika hal itu harus kau lakukan
Tapi jangan lupa,
Kelak,
Jika kau berhasil
Dan takdir itu menajdi usang
Katakan maaf padanya.

Tareem, 31 Oktober 2012, dini hari.
Abu Dohak.