Laman

Kamis, 15 Maret 2012

AKU INGIN BEBAS!


Halo kawan, maaf saya numpang lewat. Ada sebuah  pengalaman menarik dari saya. Mau tahu? Ikuti saja cerita saya kali ini. Kalau baca enggak rugi kok …

Namaku Rapta Yusuf Panjaitan. Seorang ahli Psikologi bertalenta tinggi. Gelar sarjana dan magister ku sabet dari Harvard University. sedangkan dokotoralku kudapat dari Sorbonne University. Terakhir aku dinobatkan sebagai professor di UKM, Malaysia dan telah mendapat penghargaan sebagai professor termuda di Indonesia. Jika kau penasaran denganku, silakan datang saja ke Jakarta dan tanyakan Prof. Rapta kepada siapa saja yang kau temui, mereka pasti akan menunjukkanmu tempat kediamanku.

Ya , aku sangat dikenal orang di Jakarta. Bahkan di luar negri sekali pun. Setiap bulan aku harus pandai-pandai mengatur jadwal terbangku keluar negri. Ke Belanda, Italia, Amerika, Australia, Jepang, Prancis, Jerman dst. Selalu ada saja yang memanggilku, karena memang itulah profesiku. Selain menjadi dosen tetap di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, aku juga seorang dosen terbang yang setiap saat harus meninggalkan Indonesia.

Hebat bukan seorang ‘aku’. Tapi, jika kau datang ke tempat kelahiranku, ASAHAN namanya dan kau tanyakan Prof. Rapta kepada siapa saja bahkan kepada bupatinya sekali pun, tujuh hari tujuh malam atau bahkan satu bulan pencarian, kau tidak akan menemukan apa-apa tentang aku. Tapi coba kau  tanyakan mereka tentang si Dongek. Hmm …

Tak jauh beda dari di ibu kota, di Asahan aku juga sangat terkenal. Tapi sayang, mereka tidak  mengenalku sebagai seorang professor Rapta, tapi sebagai seorang Dongek, anak ingusan yang jorok, bau, nakal, jahat, setiap hari selalu ribut dengan orang-orang diatas bayanya.

Ayahku hanya seorang penambal ban sepeda sedangkan ibuku pembantu rumah tangga. Bayangkan berapa penghasilan kedua orang tua ku untuk menghidupi kami Sembilan bersaudara. Rumah kami pun adalah bengkel sepetak yang setiap harinya diapakai ayahku untuk mengais rezeki.

Aku tidak pernah berpikir akan arti sebuah pendidikan. Ayah dan ibuku pun tidak pernah mendorongku untuk harus sekolah. Mereka hanya membesarkanku bagaimana adanya. Kakak dan abang-abangku, tidak ada satu pun mereka yang bersekolah. Kelas tiga SD terakhir pendidikan mereka. Hanya aku yang berhasil melewati kelas 3 SD. Apa lagi dihimpit dengan masalah ekonomi keluarga dan hidup dilingkungan yang terbelakang, aku tumbuh sebagai seorang yang tidak pernah sama sekali memikirkan masa depanku.

Waktu itu aku masih duduk dibangku kelas tiga SD. Aku sudah sangat bosan dengan seragam putih merah yang setiap pagi kukenakan. Bagiku, seragam itu tak ubahnya seragam penjara yang selalu menghalangiku dari hal-hal yang aku mau. Aku ingin bebas! Tanpa ada PR, tanpa harus bangun pagi, tanpa harus dipaksa mendengar ocehan guru. Tanpa ada aturan sekolah yang selalu mengunci gerakku.

Sepulang sekolah, baju putih kumuhku kulemparkan begitu saja kebalik barisan sepeda rongsok ayahku. Lalu kuraih hartaku yang paling berharga, ukulele kemudian menghampiri Kepong yang sudah stanbay disamping SPBU dekat alun-alun.

Kepong. Begitu ia dipanggil dan sampai sekarang aku tidak tahu nama aslinya. Kepong lebih tua dariku empat tahun. Seorang anak yang sudah tak punya ibu bapak. Saat itu, Kepong lah satu-satunya orang yang kuanggap teman. Hingga malam datang aku terus bersama Kepong memetik ukuleleku dan ia memetuk gendangnya, mengelilingi kota Asahan yang kecil, ngamen ditoko, rumah makan, bahkan orang-orang yang sedang berduaan pacaran di alun-alun kami datangi. Tak jarang kami harus mengambil paksa coklat yang berserekan di toko atas upah menyanyi kami.

Aku masih ingat, hari itu jam delapan malam. Aku dan Kepong ngamen di tempat makan sea food pinggir jalan. Ada seorang bapak berkepala botak memanggil kami untuk menyanyikan sebuah lagu. Kami pun bernyanyi amat ria.

“mau yang ini atau yang ini?”. Kata si Bapak menjulurkan uang logam Rp. 25 dan uang kertas Rp.500

Tentu saja kami mau uang monyet itu.

“tapi kalian harus menjawab pertanyaan bapak dulu”.

Kami mengangguk meski hati kami memaki bapak itu yang bertele-tele.

“kalian masih sekolah?”.

Aku mengangguk dan Kepong menggeleng.

“masih punya orang tua?”.

Aku mengangguk dan Kepong menggeleng.

“orang tuamu tahu kau disini mengamen?”.

Aku mengangguk.

“mereka yang suruh?”.

Aku menggeleng.

“mau sampai kapan kalian mengamen?”.

Kami diam, muak dan ingin pergi walau tak mendapat apa-apa dari bapak itu. Tapi bapak itu terus mendesak kami untuk menjawabnya.

Kepong diam, dan aku terus memikirkan untuk menjawab berapa lama. Setahun, sepuluh tahun, atau seratus tahun.

“kalian tahu, kalian adalah asset bangsa yang paling berharga! Lihat, jalan kalian masih panjang. Jadikan orang tua kalian menangis bangga pada kalian. Pergi! Dan genggamlah dunia.”. senyum bapak itu, pergi dan meninggalkan uang monyet.

Itu pertama kalinya aku bangga pada diriku. Itu pertama kalinya aku belajar untuk memahami kehidupan ini. Setiap hari kuhitung harus berapa tahun aku mengamen. Tapi aku masih tetap saja mengamen. Namun dalam lubuk jiwaku yang paling dalam “akan kugenggam dunia!”. Hingga selulus SD aku ikut tetangga ke Jakarta. Sekolah sambil kerja menjadi pembantu rumah tangga kujalani selama enam tahun. Hingga akhirnya aku mendapat beasiswa ke Harvard.

Masih begitu akrab meski lama tak kembali ke Asahan. Banyak bangunan yang belum berganti. Bahkan SPBU dekat alun-alun itu masih aktif. Rumah makan sea food itu pun masih ada. Aku mampir ke rumah makan itu, mengobati rasa rinduku akan masakan Asahan yang khas dan rinduku pada masa lalu.

Menunggu masakan terhidang, seorang lelaki tua memukul gendang bersama seorang anak kecil. Pukulan gendangnya, suaranya dan tatapnya yang garang mengatakan lelaki itu adalah Kepong. Ingin ku memanggilnya, merangkulnya, memukulnya. Tapi sudahlah, itu hidupnya dan ini hidupku. Dan ia berhasil mencari aku-aku yang lain sebagai penggantiku memetik ukulele.

Dan sekarang, aku mengerti apa itu kebebasan. Bebas bukan berarti melakukan apa yang kumau. Tapi bebas itu melakukan apa yang seharusnya. Dan jangan biarkan asset bangsa yang paling berharga itu hilang. Mulai sekarang, bantu saya atau prof. Rapta untuk menyelamatkannya.



Abu Dohak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar