Laman

Selasa, 31 Juli 2012

MIMPI ITU JUGA MILIKKU


Aku harus bangun tepat waktu setiap pagi. Setelah itu, mandi, dan seorang juru hias khusus sudah menunggu untuk mendandaniku, lebih seorang artis bahkan mungkin lebih dari seorang pangeran. Ak mendapatkan perlakuan serba istimewa di istana ayahku. Mungkin karena aku adalah putra satu-satunya keluarga Waskita yang terkenal super kaya di Indonesia atau bahkan di Asia.

Seusai sarapan, sebuah mobil jaguar hitam lengkap dengan seorang supir berjas hitam rapi bertengger didepan pintu menunggu, membukakan pintu mobil dan bergerak membawaku ke sekolah favorit di ibu kota.

Tapi :
“pak, seperti biasa”. Kataku.
“aduh, tuan muda, saya …”.
“ah, bapak tak perlu risau, tak seorang pun yang akan tahu!”. Lanjutku.
Lalu aku mengeluarkan amplop tebal berisikan uang jutaan rupiah yang bagiku tak lebih seperti sampah. Lalu mobil kami pun berhenti tepat di depan sebuah gang sempit yang tak mungkin dimasuki oleh mobil.

“bapak pulang saja. Kalau ada yang nanya, katakan aku sudah sampai sekolah dengan selamat!”.
Dan supir itu pun terpaksa harus menuruti segala kemauanku.

Mobil hitam itu jaguar itu enyah dan aku pun megah dalam mengambil langkahku lebih jauh menelusuri gang sempit itu. Ya, tentu saja rakyat jelata sekitar mengagumi penampilankku.

“Van”. Jeritku, lalu berlari menghampirinya.
Irvan yang sedang menciduk lontong kepiringnya itupun menyambutku girang. Aku duduk di bangku coklat tua panjang disamping gerobak jualan lontong milik ayah Ifvan tanpa harus ia persilakan terlebih dahulu. Dan senyumku terukir nyata.

“jangan lupa untukku satu porsi!”. Pintaku pada Irvan.
Aku dan Irvan sudah sangat akrab meski kami dari dua latar dan social keluarga yang jauh berbeda.
“apa menu sarapanmu pagi ini?”. Kata Irvan sembari memberikan seporsi lontong untukku.
“roti keju dan susu yan baru datang dari Spanyol tadi malam”.
“wah!!! Pasti enak !!”.
“tidak, masih jauh lebih enak lontong ayahmu”.
Dan tawa kami berdua pecah.

Irvan orangnya asik, ramah, suka tertawa, hobi guyon. Jujur saja, tinggal di istana yang besar dan hidup tanpa saudara membuatku begitu kesepian. Teman-teman sekolah yang selalu congkak dan sibuk dengan game-gamenya membuatku tidak nyaman main dengan mereka. Sementara anak-anak kampong bahkan tidak berani menegurku. Hanya Irvan satu-satunya orang yang pandai membuatku tertawa, yang tak enggan menegur bahkan bercerita kepadaku tanpa memandang siapa aku dan dari mana aku.

Habis  melahap lontong buatan ayah Irvan, kami pun langsung berangkat sekolah bersama. Aku nebeng dibangku sepeda Irvan yang belakang. Dan kami harus berpisah di depan sekolahku yang super megah. Aku pernah minta pada ayah untuk pindah sekolah ke sekolahnya Irvan, tapi ayah menolaknya. Ayah bilang, sekoklahnya Irvan tidak layak untukku. Tapi meski begitu ayah tidak pernah melarangku untuk bergaul keapada siapapun termasuk kepada Irvan.

Sepulang sekolah atau bahkan malam hari, aku sering mencuri-curi waktu untuk bermain kerumah Irvan. Sesekali, aku membantu ayah Irvan memasak lontong untuk dijual esok hari.

Suatu malam, pada saat aku lompat jendela hanya demi mendapatkan hakku untuk bermain layaknya anak-anak seusiaku pada umumnya, aku mendatangi Irvan dan mengajaknya untuk mengumpulkan bintang sebanyak-banyaknya. Kami memanen banyak bintang dan harus membuat si putrid malam cemberut karena dayang-dayangnya kami renggut. Hingga matahari pun siap kami cari malam itu. Tapi sayang, kami merasa lelah menantang sang malam.

Irvan mulai membuka cerita saat kami berdua membujurkan tubuh diatas rumput hijau halaman balai desa.
“kau tahu, setinggi bintang itu aku menggantungkan cita dan mimpiku, walau itu adalah sebuah mimpi dan cita bodoh dari seorang yang bodoh”. Kata Irvan.
“emangnya, apa cita dan mimpimu?”.
“aku ingin jadi orang terhormat yang selalu berada diluar negri”.
Irvan membentangkan telapak tangannya lalu meniupnya kelangit.
“jadilah kau seperti bintang, mimpiku!”. Lanjut Irvan.

“kau, apa mimpimu?”. Tanyanya.
“aku?”.
Irvan mengangguk lemah.
“aku … aku …”.
Aku bingung mencari mimpiku. Karena sejatinya, aku tidak pernah bermimpi. Karena memang aku tidak perlu bermimpi. Apa yang aku mau, aku langsung bilang saja pada ayahku, ayahku pasti akan memberikannya.

“aku tidak punya mimpi!. Cetusku.
Irvan heran, namun sebelum ia bertanya, aku harus menjelaskannya.
“jika aku ingin ke Amerika, atau kemanapun aku mau, malam ini aku bisa terbang ketempat yang ku ingin, aku ingin mobil mewah, rumah besar, mainan yang banyak, uang, segalanya, segala yang aku ingin aku punya. Jadi, apa yang harus aku mimpikan? Mungkin mimpi itu bukan milikku, tapi milik kalian”. Pungkasku tanpa senyum.

***
Mungkin itu alasan mengapa Tuhan menciptakan bumi ini bulat karena sama dengan perjalanan dan cerita hidup ini yang selalu bulat. Sepuluh tahun kemudian, perusahaan ayahku bangkrut. Tak tahan menanggung beban akhirnya ayahku stress dan harus dirawat dirumah sakit jiwa. Aku pun terus sekolah dengan sisa kekayaan yang kami miliki. Namun, dipertengahan kuliah, kekayaan itu habis dan terpaksa aku harus berhenti kuliah. Sejak itu, aku tidak tahu harus bagaimana, aku tidak tahu harus berbuat apa, bahkan aku tidak tahu apa sebenarnya yang kumau, karena aku sama sekali tidak pernah memiliki rencana dalam hidupku.

Dengan beriringnya waktu, sekarang aku sudah menikah dan dikaruniai 4 orang anak. Seorang ‘aku’ yang serba memilliki dulu kini harus menghidupi keluarganya dari hasil penjualan lontong. Menyesal, memang sunggu sangat menyesal. Dulu aku salah menganggap mimpi hanya milik mereka yang tidak mempunyai apa-apa. Seandainya dulu aku punya mimpi, aku pasti tahu harus diapakan dan dibawa kemanakan hidupku pasca bangkrutnya orang tuaku. Seperti Irvan yang sekarang berhasil memetik mimpinya menjadi seorang mentri luar negri, terhormat dan selalu berada di negeri orang. Kini, menjelang petang, aku membacakan cerita untuk anak-anakku, menanamkan semangat pemimpi disanubari mereka. Agar kelak, jika mereka dewasa, mereka tidak kehilangan arah hidup seperti ayah mereka.


Abu Dohak, Jakarta 26-07-12, 01.50 waktu sahur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar