Aku harus
bangun tepat waktu setiap pagi. Setelah itu, mandi, dan seorang juru hias
khusus sudah menunggu untuk mendandaniku, lebih seorang artis bahkan mungkin
lebih dari seorang pangeran. Ak mendapatkan perlakuan serba istimewa di istana
ayahku. Mungkin karena aku adalah putra satu-satunya keluarga Waskita yang
terkenal super kaya di Indonesia atau bahkan di Asia.
Seusai sarapan,
sebuah mobil jaguar hitam lengkap dengan seorang supir berjas hitam rapi
bertengger didepan pintu menunggu, membukakan pintu mobil dan bergerak
membawaku ke sekolah favorit di ibu kota.
Tapi :
“pak,
seperti biasa”. Kataku.
“aduh, tuan
muda, saya …”.
“ah, bapak
tak perlu risau, tak seorang pun yang akan tahu!”. Lanjutku.
Lalu aku
mengeluarkan amplop tebal berisikan uang jutaan rupiah yang bagiku tak lebih
seperti sampah. Lalu mobil kami pun berhenti tepat di depan sebuah gang sempit
yang tak mungkin dimasuki oleh mobil.
“bapak
pulang saja. Kalau ada yang nanya, katakan aku sudah sampai sekolah dengan
selamat!”.
Dan supir
itu pun terpaksa harus menuruti segala kemauanku.
Mobil hitam
itu jaguar itu enyah dan aku pun megah dalam mengambil langkahku lebih jauh
menelusuri gang sempit itu. Ya, tentu saja rakyat jelata sekitar mengagumi
penampilankku.
“Van”. Jeritku,
lalu berlari menghampirinya.
Irvan yang
sedang menciduk lontong kepiringnya itupun menyambutku girang. Aku duduk di
bangku coklat tua panjang disamping gerobak jualan lontong milik ayah Ifvan
tanpa harus ia persilakan terlebih dahulu. Dan senyumku terukir nyata.
“jangan lupa
untukku satu porsi!”. Pintaku pada Irvan.
Aku dan
Irvan sudah sangat akrab meski kami dari dua latar dan social keluarga yang
jauh berbeda.
“apa menu
sarapanmu pagi ini?”. Kata Irvan sembari memberikan seporsi lontong untukku.
“roti keju
dan susu yan baru datang dari Spanyol tadi malam”.
“wah!!! Pasti
enak !!”.
“tidak, masih
jauh lebih enak lontong ayahmu”.
Dan tawa
kami berdua pecah.
Irvan orangnya
asik, ramah, suka tertawa, hobi guyon. Jujur saja, tinggal di istana yang besar
dan hidup tanpa saudara membuatku begitu kesepian. Teman-teman sekolah yang
selalu congkak dan sibuk dengan game-gamenya membuatku tidak nyaman main dengan
mereka. Sementara anak-anak kampong bahkan tidak berani menegurku. Hanya Irvan
satu-satunya orang yang pandai membuatku tertawa, yang tak enggan menegur
bahkan bercerita kepadaku tanpa memandang siapa aku dan dari mana aku.
Habis melahap lontong buatan ayah Irvan, kami pun
langsung berangkat sekolah bersama. Aku nebeng dibangku sepeda Irvan yang
belakang. Dan kami harus berpisah di depan sekolahku yang super megah. Aku pernah
minta pada ayah untuk pindah sekolah ke sekolahnya Irvan, tapi ayah menolaknya.
Ayah bilang, sekoklahnya Irvan tidak layak untukku. Tapi meski begitu ayah
tidak pernah melarangku untuk bergaul keapada siapapun termasuk kepada Irvan.
Sepulang sekolah
atau bahkan malam hari, aku sering mencuri-curi waktu untuk bermain kerumah
Irvan. Sesekali, aku membantu ayah Irvan memasak lontong untuk dijual esok
hari.
Suatu malam,
pada saat aku lompat jendela hanya demi mendapatkan hakku untuk bermain
layaknya anak-anak seusiaku pada umumnya, aku mendatangi Irvan dan mengajaknya
untuk mengumpulkan bintang sebanyak-banyaknya. Kami memanen banyak bintang dan
harus membuat si putrid malam cemberut karena dayang-dayangnya kami renggut. Hingga
matahari pun siap kami cari malam itu. Tapi sayang, kami merasa lelah menantang
sang malam.
Irvan mulai
membuka cerita saat kami berdua membujurkan tubuh diatas rumput hijau halaman
balai desa.
“kau tahu,
setinggi bintang itu aku menggantungkan cita dan mimpiku, walau itu adalah
sebuah mimpi dan cita bodoh dari seorang yang bodoh”. Kata Irvan.
“emangnya,
apa cita dan mimpimu?”.
“aku ingin
jadi orang terhormat yang selalu berada diluar negri”.
Irvan membentangkan
telapak tangannya lalu meniupnya kelangit.
“jadilah kau
seperti bintang, mimpiku!”. Lanjut Irvan.
“kau, apa
mimpimu?”. Tanyanya.
“aku?”.
Irvan
mengangguk lemah.
“aku … aku …”.
Aku bingung
mencari mimpiku. Karena sejatinya, aku tidak pernah bermimpi. Karena memang aku
tidak perlu bermimpi. Apa yang aku mau, aku langsung bilang saja pada ayahku,
ayahku pasti akan memberikannya.
“aku tidak
punya mimpi!. Cetusku.
Irvan heran,
namun sebelum ia bertanya, aku harus menjelaskannya.
“jika aku
ingin ke Amerika, atau kemanapun aku mau, malam ini aku bisa terbang ketempat
yang ku ingin, aku ingin mobil mewah, rumah besar, mainan yang banyak, uang,
segalanya, segala yang aku ingin aku punya. Jadi, apa yang harus aku mimpikan? Mungkin
mimpi itu bukan milikku, tapi milik kalian”. Pungkasku tanpa senyum.
***
Mungkin itu
alasan mengapa Tuhan menciptakan bumi ini bulat karena sama dengan perjalanan
dan cerita hidup ini yang selalu bulat. Sepuluh tahun kemudian, perusahaan
ayahku bangkrut. Tak tahan menanggung beban akhirnya ayahku stress dan harus
dirawat dirumah sakit jiwa. Aku pun terus sekolah dengan sisa kekayaan yang
kami miliki. Namun, dipertengahan kuliah, kekayaan itu habis dan terpaksa aku
harus berhenti kuliah. Sejak itu, aku tidak tahu harus bagaimana, aku tidak
tahu harus berbuat apa, bahkan aku tidak tahu apa sebenarnya yang kumau, karena
aku sama sekali tidak pernah memiliki rencana dalam hidupku.
Dengan beriringnya
waktu, sekarang aku sudah menikah dan dikaruniai 4 orang anak. Seorang ‘aku’
yang serba memilliki dulu kini harus menghidupi keluarganya dari hasil penjualan
lontong. Menyesal, memang sunggu sangat menyesal. Dulu aku salah menganggap
mimpi hanya milik mereka yang tidak mempunyai apa-apa. Seandainya dulu aku
punya mimpi, aku pasti tahu harus diapakan dan dibawa kemanakan hidupku pasca
bangkrutnya orang tuaku. Seperti Irvan yang sekarang berhasil memetik mimpinya
menjadi seorang mentri luar negri, terhormat dan selalu berada di negeri orang.
Kini, menjelang petang, aku membacakan cerita untuk anak-anakku, menanamkan
semangat pemimpi disanubari mereka. Agar kelak, jika mereka dewasa, mereka
tidak kehilangan arah hidup seperti ayah mereka.
Abu Dohak,
Jakarta 26-07-12, 01.50 waktu sahur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar