Hai, sabat,
sudah lama nih tidak mosting cerita lagi. Kali ini adalah ceritaku sendiri.
Bagi yang berminat terus baca ya. Bagi yang kurang berminat ngelike gak
dilarang kok… selamat membaca!!
Hampir tiga
bulan sudah aku di Indonesia. Tanah pertiwi yang aku cintai, yang sudah menyatu
kedalam jiwa dan ragaku.
Suatu hari, aku
dan keluargaku ada acara di Medan. Kota Medan dari tempatku tinggal berjarak
sekitar lima jam-an. Berhubung banyak orang dari keluargaku yang ikut, kuota
mobil kami pun tidak mencukupi. Aku dan beberapa orang saudaraku harus mengalah
dan naik kereta api. Memang padat, tapi aku sangat menikmati perjalananku
ketika itu. Perjalanan singkat namun tidak pernah kurasakan lagi selama
beberapa tahun belakangan ini. Karena di Yaman tidak ada kereta. Mana mungkin
rel kereta bisa tertancap diatas pasir yang selalu berhilir.
Sesekali naik
kereta api, aku pun tidak mau hanya duduk dan diam menunggu waktu menyampaikan
kereta api itu ke tempat tujuannya. Aku lantas mengambil jalanku untuk
melihat-lihat sekitar kereta api dan menyapai orang-orang yang ramah menatapku.
Sangat indah bisa bersua kembali dengan daerah kita sendiri. Tapi ada satu hal
yang merisihkan pandanganku. Orang-orang acap kali acuh dengan lingkungan
sekitar mereka. Dengan semakin banyak orang yang berjualan dikereta api,
semakin banyak pula perut yang akan terisi. Tapi, akan semakin banyak pula
sampah yang menyumpeki sudut-sudut kereta api.
Aku pun sempat
bergumam kasihan. Meski aku tidak tahu harus kasihan kepada siapa. Mungkin aku
harus kasihan kepada si ‘kereta api’ yang sudah berjuang keras untuk penumpang
tapi penumpang tidak pernah memperhatikannya.
Beberapa waktu
lalu, ketika setiap sore aku masih leluasa mengukir jejakku dipepasiran bumi Tareem
di Yaman, pikirku sempat marah melihat orang-orang Yaman bahkan mahasiswa
Indensia sendiri yang selalu membuang sampah sesuka hati mereka. Bathinku
sempat terenyuh ketika membayangkah hal itu terjadi dibumi pertiwiku. Semenjak
itu aku pun mulai berpikir untuk membuang sampah disembarang tempat. Kerap kali
aku harus mengantongi bunkus-bungkus pelastik minuman atau makananku untuk
membuangnya ditempat yang semestinya.
“jika aku tidak
bisa menghormati daerah orang lain, bagaimana bisa aku menghormati daerahku
sendiri?”. Pikirku waktu itu.
Hampir sampai
perjalananku, hampir tiba tempat tujuanku. Kereta api terlihat lebih sepi dari
sebelumnya. Namun tumpukan sampah kian membanyak. Aku pun berpikir bagaimana
dengan sampah-sampah ini?
Namun, seorang
pria separuh baya lengkap dengan seragam PT. KAI nya datang dari pintu seberang
gerbong kereta api. Aku menatapnya dari kejauhan. Dan aku tersenyum bangga
kepada orang itu.
Dengan sigapnya
orang itu pun mengumpulkan semua sampah. Menyapunya dari sudut-sudut kereta
api, dari bawah kursi, habis semuanya bersiah ia sapu. Hingga ia sampai
dipenghujung gerbong. Aku yang berdiri persis didepan pintu gerbong itu pun
harus berjingkrak-jingkrak mengangkat kakiku ketika ia menyapu.
“sungguh mulia
orang ini!”. Pikirku salut.
Lalu, setelah
semua sampah terkumpul didepan pintu gerbong itu, tanpa pikir panjang petugas
kebersihan kereta api itu pun langsung membuang sampah-sampai itu keluar. Aku
harus nanap ketika sampah-sampah itu berhempasan ketanah bumi pertiwi yang aku
cintai. Lalu tatapku mengenap lagi memandangi petugas itu menyapu gerbong yang
berikutnya.
Siapa yang
harus disalahkan? Jika kebersihan harus mengotori tempat lain.
Di atas kereta
api, 11 Januari 2012.
Abu Dohak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar