Laman

Senin, 19 Desember 2011

DO SEOMETHING


DO SOMETHING
Oleh Akbar Rosyidi

Sebut saja namanya Rio. Aku sangat mengaguminya. Ia temanku sewaktu SMA. Kami akrab, selalu kemana-mana berdua meski aku sering mengidolakannya. Walau kami akrab, tapi kami dari sosial yang berbeda. Ia anak seorang pejabat di kota Asahan, tempat kami berdua hidup. Tinggal di rumah gedung dengan halaman yang sangat luas dan kemana-mana dengan motor Ninja miliknya, meski akulah yang selalu diboncengnya. Sementara aku, anak seorang nelayan. Tinggal dirumah kayu dengan seratus tungkat sebagai penyangga rumah kami. Dibawah rumah kami adalah air hitam, bau yang tergenang dari aliran sungai, sebagai halaman kami.
Aku bilang, aku mengaguminya. Betapa tidak, semua orang yang mengenal betul sosoknya pasti akan mengaguminya. Selain tajir, ia juga sangat pintar. Aku belajar keras, mati-matian untuk menyainginya. Aku berhasil menjadi juara dua. Tapi tetap setiap tahun Rio yang menjadi juara satu. Tak hanya pintar dan cerdas, ia juga mempunyai pemikiran yang sangat luar biasa. Jariku tidak cukup untuk menghitung berapa ide yang telah ia ceritakan padaku, berapa gagasan yang telah ia diskusikan denganku. Berapa mimpi yang telah ia ukir untuk masa depannya.
Hari itu, adalah hari yang paling menyedihkan bagiku. Kami harus mengakhiri kebersamaan kami selama tiga tahun di SMA. Berkat prestasinya yang gemilang, ia diterima di Universitas Indonesia (UI) tanpa test ujian masuk. Ia meninggalkan kota kelahirannya untuk Ibu Kota, Jakarta. Kota yang dulunya selalu kami impi-impikan bersama. Mungkin bagi sebagian orang, Jakarta biasa-biasa saja, tapi tidak untuk orang pedalaman seperti kami. Sementara aku, harus menggantikan ayahku melaut demi menghidupi Ibu dan adik-adikku yang masih kecil. Karena beberapa bulan sebelum kelulusan SMA, ayahku sudah keburu di panggil Yang Maha Kuasa untuk menjadi kekasih-Nya. Aku sedih.
Meski melaut, aku tidak serta merta meninggalkan pendidikanku begitu saja. Setiap hari Sabtu dan Minggu aku kuliah di Universitas Terbuka. Kuliah tanpa biaya alias gratis yang baru satu tahun dibuka oleh pemerintah setempat dikhususkan untuk orang-orang pedalaman yang tidak mampu seperti aku ini. Aku harus menelan ludah pahit setiap kali memikirkan takdir yang memisah jauh antara kami berdua. Tapi aku menjalaninya dengan tabah dan tegar meski kerap kali nuraniku menjerit ‘tidak adil!’. 
Suatu hari, entah kenapa aku terpikir tentang ide-idenya yang selalu ia katakan kepadaku sewaktu SMA. Gagas-gagasannya dan cerita-ceritanya yang selalu ia diskusikan denganku. Aku pun tertarik untuk mengambil pena kemudian menggores cerita-cerita itu pada kertas-kertas remuk. Awalnya iseng, tapi aku tertarik membacanya. Aku pun menyalinnya kembali kedalam buku tulis yang khusus kubeli untuk mengabadikan cerita-cerita yang aku dapat darinya.
Dihari yang lain, ketika aku sudah berumur dan kuliahku sudah hampir selesai. Aku baru menyadari bahwa ide atau pun gagasan-gagasan yang dulu pernah ia katakan padaku bukanlah ide atau gagasan yang sederhana. Melainkan ide dan gagasan yang luar biasa. Aku pun mencari akal untuk merealisasikannya. Kumulai dari membentuk kemunitas anak-anak muda dikampung kumuhku tinggal. Aku tidak percaya, aku berhasil. Komunitas itu mendapat respon positif dari kalangan masyarakat maupun pemerintah. Hingga beberapa kali kami diajak dan mengajak pemerintah Kota dan Provinsi untuk beraudensi dan bekerjasama dalam penyelenggaraan beberapa kegiatan.
Hingga suatu hari, aku terpikir untuk mengirim buku yang berisikan cerita-cerita darinya yang kutulis itu ke sebuah penerbitan. Satu bulan setelah pengiriman aku pun mendapat kabar bahwa buku itu siap terbit. Betapa kaget dan gembiranya aku waktu itu. Langsung aku memeluk foto kami sewaktu SMA dulu dan menangis memeluk Ibuku. Aku yang disini saja begini, bagaimana dengannya dengan segudang kecerdasan di Jakarta?. Khayalku tak sabar bertemu dengannya.
Beberapa bulan setelah buku itu terbit, aku tak lagi pergi melaut. Hasil penjualan buku itu dipasaran cukup untuk menghidupi hidup kami yang sederhana. Dan yang tak kusangka ternyata buku itu terjual laris hingga menjadi best seller. Aku pun tertarik untuk membawa buku itu ke Ibu Kota dan menerbitkannya disana. Setelah sarjana aku pun pergi membawa ijazah dan buku cerita karyaku. Meski sebenarnya cerita itu berasal dari otak sahabatku.
Alhamdulillah aku diterima di UI di Pasca Sarjana, Fakultas Hukum. Dan bukuku yang kedua pun terbit walau buku kedua itu juga sebenarnya hasil cerita Rio yang kuurai dengan kata-kata indahku. Biar kuliah dan penerbitan bukuku lancar tapi tujuan penting aku datang ke Jakarta belum juga tercapai. Yaitu untuk bertemu Rio. Aku tidak menemukan Rio di UI. Mereka bilang Rio sudah pulang setelah menamatkan sarjana ekonominya. Aku sedih.
Dan dengan ide dan gagasan Rio pulalah namaku berhasil terangkat dibeberapa aktivitas kemahasiswaan dan berhasil menempati posisi penting di beberapa organisasi tingkat nasional.
Sore itu, aku di Asahan, tempat dimana aku mengenal idolaku, Rio. Aku pulang hanya sebentar, untuk memboyong seluruh keluargaku ke Jakarta. Lalu pergi kembali meningglkan Asahan untuk waktu yang lama atau mungkin untuk selamanya. Karena untuk seterusnya aku dan keluargaku akan tinggal di Jakarta. Aku mendatangi rumah Rio, namun rumah itu sekarang sudah berubah menjadi bengkel milik orang lain. Aku pun tidak tahu harus mencari Rio kemana lagi.
Kebetulan aku meminjam kendaraan tetanggaku untuk mendatangi rumah Rio dan kemana saja aku pergi selama di Asahan. Sebagai manusia normal aku tidak mungkin mengembalikannya dalam kondisi kotor seperti itu. Aku pun mencari doorsmeer untuk mencucinya.
Sepintas aku tidak percaya, jika orang yang menyambut motor dari tanganku untuk dicuci adalah Rio, orang yang selama ini ku idola-idolakan. Orang yang cerdas yang memiliki ide dan gagasan-gagasan yang sangat luar biasa. Orang yang tidak pernah tersaingi olehku meski aku sudah belajar mati-matian. Orang yang dengan cerita-ceritanya bisa membuatku mengantongi uang milyaran rupiah.
Aku tidak bisa bicara apa-apa lagi. Mungkin itulah takdir, pikirku. Ayahnya masuk penjara karena terbukti melakukan korupsi. Rumah dan seluruh harta kekayaan mereka dijual untuk membayar denda kasus korupsi ayahnya. Dan Rio frustasi, karena sampai sekarang tidak ada tempat yang bisa menerima lamarannya kerja kecuali sebagai tukang cuci motor. Padahal ia sarjana ekonomi lulusan UI.
Satu hal yang membuatku kesal pada Rio hingga ia bisa mengalami hidup sepahit ini. Ia memiliki potensi yang amat luar biasa. tapi sayang, ia tidak pernah melakukan sesuatu untuk mengolah potensi itu. Ia tidak pernah melakukan sesuatu untuk mewujudkan mimpi yang telah ia ukir dalam benaknya. Ia tidak pernah melakukan sesuatu dalam hidupnya.
Aku akan mengulangi satu kalimat yang mungkin sering kita dengar disekitar kita. ‘BUKAN SEBESAR APA MIMPI ITU, TAPI SEBESAR APA USAHAMU UNTUK MEWUJUDKAN MIMPI ITU’. Sebelum kisah Rio terjadi pada kita, mulai sekarang, AYO LAKUKAN SESUATU UNTUK HIDUP KITA! Selagi takdir masih bersahabat dengan kita. Semoga bermanfaat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar