Laman

Kamis, 22 Desember 2011

LIMA KISAH LUCU KARENA BAHASA

Setiap orang pasti memiliki kisah tersendiri. Ada yang sedih, nyetrik, lucu, menegangkan dst … dan kelima kisah ini adalah pengalaman pribadiku sendiri. Bagi yang merasa lucu boleh tertawa. Dan yang merasa tidak lucu, tidak dilarang untuk senyum kok, asal jangan murung saja ya!.

KISAH PERTAMA

Cerita ini terjadi sekitar tahun 2007 – an, ketika aku masih duduk dibangku kelas 2 aliyah di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. 

Pada suatu hari, sepulang sekolah, aku sedang serius membaca Koran yang tergantung di madding Koran, tepat didepan kamarku SP.1 waktu itu. Tiba-tiba seorang teman menegurku, namanya Zulpan, orang bawean.

“Dan, Dan”. Sapanya. ‘Dan’, sebagian orang memanggilku dengan sebutan itu karena aku berasal dari Medan.

Aku pun tersentak dan siap mendengarkannya.

“kata anak-anak, kamu pernah nambal gigi ya? Dimana? Antarin aku dong!!”. Lalu ia membuka bibirnya lebar hingga aku dapat melihat ada satu giginya yang hilang waktu itu.

Singkat cerita, aku pun menemaninya ke tempat ahli gigi yang beberapa waktu lalu pernah menambal gigiku yang bolong. Kerja punya kerja, akhirnya ahli gigi itu selesai memberikan satu gigi untuk zulpan hingga Zulpan terlihat tidak menakutkan lagi.

Karena giginya laku satu, si ahli gigi pun senang telah kami kunjungi. Dan sebelum pulang, kami sempat bicara sebentar. Lalu ternyata si ahli gigi masih ingat denganku. Si ahli gigi itu bilang :

“mas iki sing tau merene iku yo? (mas ini yang pernah datang kesini itu ya?)”.

Waktu itu aku belum terlalu tahu bahasa Jawa begitu juga dengan Zulpan. Tapi untuk mengartikan kalimat yang diatas ini sih, kecil bagi kami. Karena itu kalimat sederhana yang paling sering dikatakan teman-teman disekitar kami.

Dengan mantap aku langsung menjawab :

“enggeh buk”. Ahli gigi itu wanita.

“merene ijen bien?”.

Aku bingung, begitu juga dengan Zulpan. Seketika aku dan Zulpan berbalas pandang waktu itu, kemudian menjawab :

“iya buk, tadi kami sudah izin!”.

Ahli gigi itu pun senyum dan mengubah bahasanya.
“kemaren kesininya sendirian?”. Kata ahli gigi itu.
Dan kami pun tertunduk malu.


KISAH KEDUA

Kisah ini juga terjadi ketika aku masih di pesantren. Waktu itu, Idul Adha tiba. Kami pun diberi libur satu minggu. Temanku, Afif, mengajakku untuk ikut berlibur ke rumahnya di Pemekasn, Madura.

Aku pun menerima ajakannya. Kami meninggalkan pesantren bertiga. Aku, Afif dan Ulum.

Singkat cerita, akhirnya sampailah kami dipelabuhan untuk menyeberang. Waktu itu Jembatan Suramadu belum ada. Cerita disingkat lagi. Aku baru saja menertawakan temanku, Ulum yang dimarah-marahi penjual kacang. Karena si pedagang kacang ini menjeritkan dagangannya “kacang kacang kacang!”. Lalu Ulum dengan cakapnya memanggilnya dan menanyakan :
“mas, ada tahu?”.

Haha, mungkin Ulum kesal. Tapi, biarlah. Kemudian aku pun lapar. Kebetulan pedangang nasi lewat. Aha, waktunya makan nih.

“bu, nasi”.
“iya, lauknya apa nak?”. Tanya si ibu itu dengan logat maduranya.
“ayam ada?”. Tanyaku.
“ade”. Jawabnya.
“ya, ayam satu ya”. Pintaku.
“telor saja ya”. Katanya.

“lho, ayam ada?”. Tanyaku lagi.
“ade”. Jawabnya.
“ayam satu ya”. Pintaku lagi.
“telor saja ya”. Katanya.

Hampir kami bertengkar karena yang kupinta lain dan yang ditawarkannya lain. Disampingku Afif tertawa geli karena ADE artinya TIDAK ADA.


KISAH KETIGA

Kisah ini terjadi sekitar tahun 2006. Saat itu aku masih tiga bulan di Jawa. Karena lebaran tiba dan keluarga besarku akan berkumpul di Jakarta, aku pun memutuskan untuk pulang ke Medan. Lalu puasa ke 25 kami sekeluarga berangkat ke Jakarta dengan sebuah mobil. Seru lho perjalanannya. Waktu itu ayah dan abangku yang menyetir.

Meski baru di Jawa dan belum mengerti bahasa Jawa, tapi aku sudah mengerti perbedaan istilah-istilah yang digunakan orang-orang di Pulau Jawa dan orang-orang di Pulau Sumatra. Misalnya sebutan untuk KERETA API. Orang Jawa atau pun orang Jakarta kerap kali menyebutnya dengan sebutan KERETA. Sementara bagi orang Sumatra khususnya Medan menyebutnya dengan sebutan lengkap yakni KERETA API. Sedangkan kalimat KERETA orang Medan mengartikannya dengan SEPEDA MOTOR. Beda jauh bukan arti penggunaan kalimat KERETA.

Singkat cerita, kami pun sampai di Jakarta dan berkunjung ke rumah saudara yang puluhan tahun sudah tidak bertemu. Cerita punya cerita, saudara kami itu pun ngobrol dengan abangku :
“kalian dari Medan ke sini naik mobil?”.
“iya pak!”. Jawab abangku.
“tidak takut dijalan? Mungkin ada rampok?”.
“takut juga sih pak, yang paling mengerikan di Lahat, malam-malam mereka datang naik KERETA, mereka cegat mobil kita dari depan, mereka todongkan pisau atau pistol, mereka curilah barang-barang kita, baru pergi mereka, bisa-bisa mobil kita juga dibawa lari sama mereka". Cerita abangku asyik dengan logat Medannya.

Bapak itu hanya diam, tidak melanjutkan bertanya. Mungkin benaknya bingung mengambarkan ‘KERETA mencegat sebuah mobil dimalam hari’. Aku yang mengetahui kebingungan bapak itu pun tersenyum geli. Hehe.

KISAH KEEMPAT

Kisah ini pun terjadi ketika aku masih menimba ilmu di kota santri, Jombang. Suatu ketika, abangku mengunjungiku ke Jombang setelah dari Bogor yang kebetulan dia ada semacam training disana. Berkunjung ke Jombang, abangku pun tak hanya diam dan menemuiku saja. Sesekali ke kota yang penuh pesantren itu, abangku pun ingin mengunjungi beberapa tempat di kota Jombang. Salah satunya adalah pasar Legi Jombang.

Singkatnya, kami pun naik angkot atau yang dikenal dengan ‘len’ di Jombang ke pasar tersebut. Waktu itu kami berdua duduk dibagian paling belakang angkot. Ketika para penumpang lain sudah banyak yang turun dan angkot sudah terlihat hanya beberapa orang, sang kernet pun bertanya tentang tempat yang akan kami tuju. Kernet itu bilang :
“teng pundi mas? (mau kemana mas?)”.
Spontan abangku yang sok tahu itu mengatakan :
“ke pajak bang!”.

Haha, aku tersenyum geli. Orang Medan menyebut ‘pasar’ dengan sebutan ‘pajak’. Sementara arti ‘pasar’ bagi kami adalah ‘aspal hitam’. Si kernet pun diam tak bertanya lagi. Setelah sebelumnya ia memandangi kami lama, kebingungan. Mungkin dalam pikirannya ‘kantor pajak manakah yang akan kami tuju?’. hehe


KISAH KELIMA

Sebenarnya, ada satu kisah lagi yang membuatku tertawa ketika mengingatnya. Tapi sayang, ketika menulis kisah-kisah ini, aku berhasil menulis tiga kisah terlebih dulu. Lalu beberapa waktu tidak menulis karena ada beberapa kesibukan lainnya. Eh, ketika aku menulis kisah yang keempat, aku lupa kisah yang kelima. Hehe, maaf ya, dilain waktu kalo aku ingat kisah yang kelima, nanti kutulis deh lalu kubagi-bagi kepada sahabat-sahabatku yang luar biasa. Untuk saat ini, sampai sini dulu. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar