Matahari
terbenam dan malam pun tiba. Salim sekali lagi bertayamum dan melaksanakan
shalat jamak taqdim maghrib-isya dan lagi-lagi si nona cantik itu
memperhatikannya dengan seksama. Setalah selesai shalat, ternyata suasana
diantara mereka sudah semakin malam dan semakin menyeramkan. Hanya ada mereka
berdua ditengah-tengah hutan rimba yang amat gelap pekat serta dikelilingi oleh
beraneka ragam binatang buas yang terpencar diseluruh penjuru hutan. Dalam
keadaan gelap seperti itu, mungkin saja ada binatang buas yang memasuki area
peristirahatan mereka tanpa mereka ketahui. Semuanya serba mungkin. Salim dan
nona jelita itu sangat takut sekali. Tapi Salim mencoba untuk menenangkan diri
agar si nona jelita tidak terlalu takut.
“kau diamana?”
Tanya nona cantik itu ketakutan. Hanya suara nona itu saja yang kedengaran.
Mereka berdua tidak bisa melihat satu sama lain akibat terpaan gelap malam itu.
Tadinya ada sedikit cahaya bulan yang menerangi mereka. Namun kini sang bulan
lenyap ibarat ditelan awan.
“aku disini” sambut Salim. Mereka saling meraba-raba satu sama lain dan
akhirnya kedua tangan mereka bertemu. Lalu Salim mengajaknya untuk bersandar
kepinggir.
Karena takut
terjadi apa-apa, tangan mereka berdua erat saling berpegangan. Mereka berdua
bicara dan melepaskan semua kecapekan mereka malam itu.
“sebenarnya,
kenapa kau bisa tersesat disini?” Tanya Salim. Kali ini tidak ada acara
pandang-memandang dan tidak ada pesan yang ingin tersmpaikan dari kedua mata.
Hanya ada suara dalam pekat malam mereka berdua dihutan rimba.
“aku marah pada
ayahku” kata nona jelita itu setelah keadaan diantara mereka hening beberapa
saat. “ayahku memaksaku untuk ikut bersamanya ke Jakarta” lanjut nona cantik
itu “dan aku tidak mau, aku ingin bersama ibu apapun halnya”.
“kalau begitu
kenapa ibumu tidak ikut saja ke Jakarta?” Tanya Salim lagi.
“ibu dan ayah
baru saja bercerai” jawab nona itu.
“maaf, aku tidak tahu. Memangnya kenapa mereka bisa bercerai?” Tanya Salim.
Suasana hening, si nona jelita itu hanya diam tanpa mengeluarkan suara.
“mungkin pertanyaanku sudah menyinggung perasaannya” pikir Salim.
Suasana hening
cukup lama dan akhirnya si nona jelita itu berkata :
“aku haus, kau
tahu seharian ini kita belum air”.
“aku juga haus”
kata Salim “tapi kau tak usah khawatir” lanjut Salim “aku kira kita sudah dekat
keair terjun. Besok kita akan minum semua air yang ada ditempat itu” kata Salim
mantap sekaligus untuk menghibur sebagai kata maaf atas pertanyaannya
sebelumnya.
“memang kau
kira perutku ini apa?” kata nona jalita itu sambil bercanda. Salim tahu suasana
sudah mulai cair kembali. Kemudian Salim bertanya lagi tapi kali ini harus
lebih hati-hati pikirnya. Mungkin pertanyaan kali ini lebih sensitif dan
memalukan. Salim pun jadi ragu dan malu ingin bertanya. Salim berkata :
“apa kau... apa
kau... emm... apa kau ....”
“apa kau apa?”
sambut si nona jelita itu.
“maksudku...
apa kau tidak melihat bulan?” kata Salim.
“kukira mata
kita berdua masih normal” jawab si nona manis itu.
“iya, bulannya
tidak ada” kata Salim malu.
“maksudku...”
kata Salim lagi “saudaramu berapa?”
“hmm... hmm...,
Tanya itu saja kok gugup” ejek nona itu dalam kegulitaan. Lalu si nona manis
itu menjelaskan semua perihal tentang dirinya. Mengetahui si nona itu sangat
terbuka, Salim mencoba untuk bertanya lagi. Ia berkata :
“apa kau....
apa kau... ehm.... maksudku.... “ Salim menjadi sangat ragu dan gerogi.
Tangannya menjadi lebih erat menggenggam tangan si nona jelita itu “ehmm ....
maksudku ... apakah kau .... pernah ... jatuh cinta?” Salim langsung
menghembuskan nafas bersamaan dengan kata terakhir yang ia ucapkan dan nafasnya
tersengal-sengal seakan ia baru berlari ratusan meter.
“oh.. cinta”
jawab si nona manis itu. Seandainya waktu itu terang, Salim pasti bisa melihat
senyuman lebar yang tergirang-girang terekah dibibir tipis nona itu.
“eh... kau
jangan salah paham, maksudku cinta tapi...” kata Salim penuh gerogi dan malu.
Tapi perkataan Salim terpotong oleh perkataan gadis manis kecil itu
“tidak, aku tidak pernah berkenalan
denga sosok cinta, bagaimana bentuknya, rasanya, aku tidak tahu, dan
cintaku juga belum pernah terjatuh. Mungkin karena belum ada yang mau
mencurinya atau mungkin karena aku yang terlalu naïf dan bodoh”. Tanpa mereka
sadari ternyata genggaman mereka berdua semakin mengerat. Dan malam pun semakin
pekat dan dingin. Namun mereka sama-sama malu untuk saling mendekatkan diri.
Keheningan panjang terjadi dan bulan pun mulai menampakkan dirinya lagi.
Nona manis itu masih terjaga, sementara Salim sudah terlelap disampingnya.
Kemunculan bulan itu memberikan cahaya kepada mereka. Sehingga si nona jelita
itu bisa melihat Salim dengan jelas. Nona manis itu memandangi wajah Salim yang
tertidur pulas dengan dalam seakan ada pesan serius yang ingin disampaikan
pandangan tak berbalas itu. Lalu si nona melepaskan tangannya dari genggaman
Salin yang erat. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari ransel kecilnya. Yaitu
sebuah kotak kecil yang berukuran telapak tangan orang dewasa. Ia membuka kotak
itu dan memandangi isinya dalam. Lalu ia memejamkan kedua matanya seakan ada
suatu keinginan yang ia sampaikan. Kemudian kotak itu ia tutup kembali dan
memeluknaya tidur untuk menyambut pagi.
* * *
“bangun” gugah nona itu membangunkan Salim "lihat fajar sudah datang,
kau tidak shalat subuh?”. Mendengar kata-kata ‘shalat subuh’ Salim langsung
melompat bangun dan melihat langit hampir terang. Salim pun langsung memukul
debu bertayamum dan shalat subuh. Dan lagi-lagi si nona jelita yang manis itu
memperhatikannya dengan seksama. Setelah matahari naik sepenggalah, mereka pun
bersiap-siap untuk menghabiskan hari kedua mereka dihutan guna menemukan jalan
keluar dari hutan. Tapi, kali ini sebelum jalan keluar rencana mereka adalah
air terjun. Mereka harus menemukan air terjun untuk memusnahkan dahaga demi
menambah tenaga agar petualangan hari kedua ini tidak mengecewakan hari
sebelumnya.
“hey, mari
sini!” panggil nona manis itu. Salim pun bergegas ketempat nona itu. Mereka
berdua berdiri tepat dibawah pohon rindang. Kemudian si nona jelita menendang
batang pohon itu. Dan kemudian tetesan air dari pepohonan menitiki mereka. Si
nona dengan cengiran nakal berlari menjauhi Salim. Salim pun berlari menjauhi
pohon itu. Sambil tertawa Salim mengejar nona jelita itu. Si nona pun berlari
menghindari balasan Salim. ketika si nona jelita terjebak, Salim pun berkata :
“ayo, kau
terperangkap sekarang”.
“iya, iya, aku menyerah” kata nona itu dengan ketawa yang tidak putus-putus
dari tadi “tapi, tunggu dulu, apa kau tidak berfikir kalau kita bisa minum air
pagi ini meski hanya sedikit”. Salim pun diam sejenak dan memikirkannya. Lalu
mereka saling berbalasan senyum pagi itu.
Mereka pun
mengumpulkan tetesan air demi tetesan air dari setiap dedaunan kedalam sebuah
daun agak lebar yang mereka rangkai menjadi sebuah mangkuk kecil. Meski air itu
hanya seteguk tapi dibarengi dengan canda ria Salin dan si nona cantik dan
ditemani dengan suasana pagi yang cerah air seteguk tadi ibarat air seember
yang mampu menghilangkan rasa haus mereka setelah tidak minum air sehari penuh.
Setelah selesai sarapan seteguk air embun, rasanya mereka siap untuk
berpetualang pada hari kedua mereka di hutan.
“kau siap?” Tanya Salim. si nona itu hanya minyagapkan bahuna dan memberi
hormat kepada Salim layaknya seorang prajurit sebagai tanda kesiapannya. Kakinya
sudah sembuh seperti sedia kala sehingga seandainya ada marabahaya ia akan siap
dengan jurus larinya. Mereka mulai meninggalkan tempat peristirahatan mereka
tadi malam setelah yakin tidak ada satu pun barang mereka yang tertinggal
disana.
Salim dan nona cantik itu sama-sama menggunakan kayu yang berukuran seperti
tongkat sebagai penopang jalan. Sudah jauh dan lama rasanya mereka meninggalkan
tempat peristirahatan malam itu tetapi tetap saja yang mereka temui hanya
pepohonan hijau dan rawa-rawa. Sesekali mereka beristirahat ditempat yang
mereka anggap aman. Lalu mereka terus menelusuri setiap celah jalan yang mereka
temui. Salim tahu satu hal, bahwa air terjun ada dibalik bukit. Maka dari itu
mereka coba untuk mendaki bukit. Setiap ada jalan yang berbukit di hutan itu
maka akan mereka tempuh. Akhirnya mereka sampai pada suatu tempat yang agak
lapang, terbuka, tanpa ada pepohonan dan rawa-rawa yang memdati dan
menutupinya. Mereka bisa melihat langit dengan jelas. “tempat apa ini?” pikir
Salim. mereka berdua terus bertanya dalam hati mengenai tempat itu. Aneh
rasanya didalam hutan rimba ada tempat yang terbuka walaupun tidak terlalu
lebar. Mata Salim dan mata nona manis itu bertemu lagi seolah ingin
menyampaikan pesan “kau tahu tempat apa ini?”. Kemudian mereka mengamati kearah
sekitar lagi sambil mendekatkan diri satu sama lain.
“kau pikir
ap..” sebelum si nona manis itu selesai mengucapkan perkataannya, dari jauh
beberapa ratus meter mereka melihat dua manusia hitam yang mengejar mereka
kemarin. Langsung dengan segera Salim meraih tangan nona manis itu yang terdiam
terpelongoh, menariknya untuk berlari.
“ayo” kata
Salim diiringi dengan hentakan kencang kaki mereka. Dua orang makhluk hitam itu
pun tak mau kehilangan mangsa lagi. Si manusia hitam itu ikut berlari
dibelakang mengejar Salim dan si nona manis. Salim dan si nona jelita itu
mengerahkan semua tenaga mereka untuk selamat. Kalau hari ini mereka gagal maka
sia-sialah perjuangan mereka melawan harimau. Sudah jauh dan lama sekali mereka
berlari. Disela-sela itu si nona cantik berkata kepada Salim :
“hey, apa kau
puny ide? Aku sudah tidak kuat”. Otak Salim terus berputar cepat secepat
kakinya melangkah. Dan tiba-tiba Salim berhenti mendadak dan menarik tangan si
nona manis itu kebalik sebuah pohon.
“kau mau apa?”
Tanya nona manis itu.
“ssttt” jawab Salim sambil mengacungkan jari telunjuknya tepat dihadapan
bibirnyna. Kemudian Salim menarik ranting agak besar yang lentur kebalik pohon
itu. Tanpa suara mereka berdua menunggu kedua oran hitam yang bertongkat itu
lewat. Ketika dekat dan semakin dekat dan akan melintasi pohon tempat
persembunyian Salim dan si nona jelita, seketika itu juga Salim melepaskan
genggamannya dari ranting yang ia tarik tadi. Dan ranting itu membentur kedua
orang makhluk hitam itu dan mereka pun terjatuh.
“ayo” kata
Salim lagi sambil menarik tangan si nona jelita berlari.
“kau memang
cerdas” gumam nona cantik itu salut. Merasa sudah lama berlari dan jauh dari
kedua manusia hitam. Salim dan si nona manis pun memutuskan untuk beristirahat
sejenak. Ditempat yang tidak terlalu banyak ditumbuhi rawa-rawa, Salim dan nona
itu menghentikan langkah mereka. Dengan nafas yang masih tersengal-sengal si
nona manis bertanya kepada Salim :
“lalu bagaimana
sekarang?”
“entahlah”
jawab Salim. Salim dan nona itu pun duduk menenangkan diri dan menetralkan
nafas.
“ku pikir aku
kan menjadi juara lomba lari jika terus-terusan ada disini” kata Salim dengan
nafas yang masih tersengal-sengal. Si manis jelita hanya diam tidak menimpali
perkataan Salim. kemudian “tunggu dulu!” kata si nona “kau dengar itu”
tanyanya. Salim pun menghentikan sengalan nafasnya dan berkonsentrasi pada
pendengarannya. Salim benar-benar mendengarkan dengan seksama. Lalu kemudian :
“air terjun” kata mereka serempak.
Ya, mereka mendengar suara jatuhan air. Lalu dengan segera mereka menelusuri
celah jala yang menanjak. Dan akhirnya mereka sampai diujung jalan tebing yang
tingginya kira-kira sekitar 30 m dan dihadapan mereka tepat ada air terjun yang
sangat tinggi. Hawanya terasa sejuk sekali. Dan ada air yang mengalir panjang
dibawah tebing itu. Salim dan si nona manis, sesaat setelah sampainya mereka
diujung tebing dan melihat air terjun, langsung merentangkan kedua tangan
mereka dan menjerit sepuasnya. Suara mereka menggema keseluruh pelosok hutan.
“akhirnya kita
sampai” kata nona manis itu ceria. Dengan segera mereka menuruni tebing itu dan
mencapai aliran air terjung yang sangat panjang dan deras.
“kita berhasil”
teriak Salim langtang pada hutan “kamilah pemenangnya” lanjutnya sambil merentangkan
kedua tangannya. Dan kemudian si nona jelita itu menyipratkan air yang dingin
kewajah Salim. mereka pun bercanda tawa ditempat itu. Akrab sekali.
Siram-siraman air, kejar-kejaran. Sungguh akrab sekali dan tidak lupa mereka
minum sepuasnya. Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar