Laman

Senin, 19 Desember 2011

IBU

Sudah dua bulan lebih aku berada di Indonesia. Bête juga sih, tidak ada kerjaan. Tapi, tak apalah, kunikmati saja setahun ini. Toh, mungkin hari-hari seperti ini tidak akan datang lagi dalam hidupku. Tulisan kali ini tentang keluhanku. Bagi yang berminat baca, terus saja membaca. Bagi yang tidak, tidak boleh marah ya …
Suatu malam, aku lagi asyik nonton tivi sambil menyantap makan malamku. Tiba-tiba saja seorang lelaki datang mengetuk pintu rumah kami. Hanya ada aku, ibuku yang sedang tidur dan ayahku yang baru pulang di ruang itu. Aku pun terpaksa menghentikan makanku dan melihat siapa yang datang. Ternyata lelaki itu adalah seorang supir yang membawa luncur-luncuran sebagai bantuan untuk PAUD kami dari pemda provinsi. Kebetulan beberapa tahun lalu orang tuaku mendirikan sebuah PAUD di rumah. Aku pun langsung membanguni ibuku yang kebetulan adalah kepala dari PAUD tersebut.
Ngobrol beberapa menit dengan sopir itu, lalu ibuku keluar untuk membawa luncur-luncuran itu. Karena rumah kami berada agak didalam. Jadi meski truk kecil tidak bisa masuk. Aku pun mengikuti ibuku dari belakang karena tidak tega melihat beliau keluar sendiri malam-malam. Luncur dan sejumlah mainan pun kami dapa, dan kami kembali kerumah.
Seharusnya kami senang karena baru saja mendapat bantuan. Tapi ternyata tidak. Pada awalnya kami bingung, kenapa tiba-tiba ada bantuan seperti ini yang datang. Perasaan ibuku tidak pernah buat proposal untuk minta luncuran dan sejumlah mainan anak seperti ini. Usut punya usut, belum ternyata tapi masih kemungkinan. Beberapa waktu lalu, ibuku pernah buat proposal minta bantuan dalam sejumlah uang, tapi bukan dalam bentuk barang. Kabarnya bantuan itu akan cair pada arkhir bulan Desember ini. Mungkin inilah hasil proposal tersebut.
Sebenarnya, ibuku sangat mengharapkan sekali kecairan proposal itu dalam bentuk uang. Karena sudah berkali-kali ia ditelpon ditagihi hutang. Hutang puluhan juta yang waktu itu dihutang ibuku untuk kakak perempuanku yang bekerja di RSUD sebagai bidan agar masuk PTT, yaa semacam mendapat honor tiap bulan gitu. Karena banyak orang yang kerja di rumah sakit dengan gaji ‘isap jempol’ alias tidak digaji. Mungkin ini sedikit konyol dan tidak boleh, tapi harus bagaimana lagi. Toh, PAUD yang dikelola oleh ibuku juga gratis, tidak bayar sedikitpun. Untuk gaji guru, ibuku terpaksa harus menguras dompetnya juga.
Ya, begitulah! Mengetahui kemungkinan uang itu tidak cair lagi karena sudah dicairkan dalam bentuk barang, ibuku pun memaksa-maksakan tawanya keluar, meski matanya sudah memerah dilinangi air. Akan kemana lagi ia mencari uang puluhan juta untuk menutupi hutangnya itu?
Waktu di Hadramaut, aku pernah berpikir, seandainya di Indonesia, aku tidak perlu menangis lagi jika mengingat ibuku. Karena aku bisa langsung memeluknya dan merebahkan kepalaku dipangkuannya. Tapi ternyata, malam ini, meski aku berada di Indonesia aku masih menangis menulis artikel ini memikirkan ibuku. Betapa tidak, betapa nelangsa jiwaku melihat ibuku yang sudah semakin menua. Lehernya semakin mengerut, dadanya semakin mengendur dan jalannya semakin sempoyongan. Sementara raut wajahnya masih menggambarkan sejuta kecemasan untuk anak-anaknya.
Sewaktu dihadramaut, aku sempat menangis ketika mendapat sms dari ibuku yang mengatakan kakak-kakakku telah selesai wisuda. Beliau bilang kami adalah anak-anak baik, semua kami berpendidikan. Tidak ada kami yang tidak sekolah. Aku menangis terharu. Kupikir ibuku tidak akan mengemban pikiran yang terlalu berat lagi. Karena kami semua sudah besar. Tapi ternyata, semakin kami besar, semakin sering ibuku memegang kepalanya. Meski berusaha ia tutupi, tapi raut wajah seorang ibu tidak bisa berbohong kepada anaknya.
Meski dengan kaki dan tangan yang sakit-sakitan karena penyakitnya, setiap pagi ia harus bangun lebih dulu. Membereskan rumah dan menyiapkan sarapan. Sementara kakak-kakakku yang kuharukan dulu itu, tidur mendengkur membiarkan ibu mereka.
Selama dua bulan lebih aku di Indonesia, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri betapa basahnya baju ibuku karena keringat yang tidak pernah kering dari pagi. Bekerja dirumah dan diluar untuk anak-anaknya yang sudah besar, untuk anak-anaknya yang sebagian besar sudah wisuda.
Aku yang memikirkannya saja sudah ingin lari dari hidup ini, bagaimana dengan ibuku yang mengalaminya?. Harus banting tulang di rumah dan diluar, harus menahan malu tiap kali ditelpon ditagihi hutang. Sementara kakakku, sibuk dengan hapenya, nelpon atau sms-an dengan cowoknya. Bukan hanya itu, tidak jarang ibuku mendapat bentakan dari anak-anaknya meski hanya karena masalah sepele.
Mungkin bagi banyak orang, cerita ini cukup menggelikan. Tapi bagiku, cerita ini bisa membuatku melamun panjang semalaman. Dan untuk ibuku, aku berjanji, aku tidak akan lagi membesarkan suaraku melebihi suaramu, meski aku masih belum bisa menuruti segala kata-katamu. Karena aku masih belum bisa berhenti merokok. Dan, buat ibuku, SELAMAT HARI IBU. 

Sampai sini dulu. Semoga yang membaca bisa lebih menyayangi dan menghargai arti hadirnya sosok ibu disekitar kita. Semoga bermanfaat.


Akbar Rosyidi, 18 Desember 2011

2 komentar:

  1. Assalamu'alaykum ...

    tetap berusaha dan berdoa.
    nice blog.

    BalasHapus
  2. walaikumsalam ...

    terima kasih sob, thanks ...
    barakallahu fik ...

    BalasHapus