Laman

Senin, 19 Desember 2011

PETUALANGAN HUTAN 1


Pagi itu, anak-anak kelas satu Tsanawiyah dari salah satu yayasan ternama di Jombang, Jawa Timur mengadakan tour pembekalan pramuka ke Pekalongan, Jawa Tengah. Acara yang diadakan anak-anak osis Tsanawiyah ini boleh dikatakan adalah acara yang super nekat. Karena baru pertama kalinya osis sekolah ini mengadakan acara sampai keluar provinsi. Acara yang melibatkan banyak pihak yayasan ini pun rencananya akan menginap satu hari di perkemahan Srigayang, salah satu bukit diujung desa Botosari yang mempunyai hutan tropis yang sangat luas serta fauna yang beraneka ragam. Tepat pukul dua siang rombongan osis ini tiba di Pekalongan, tepatnya didesa Botosari. Dari situ mereka akan beranjak untuk mendaki bukit sedikit untuk menemukan tempat perkemahan.
Takbir berbunyi, para siswa melaksanakan jama’ah shalat jamak taqdim zhuhur-ashar setelah selesai memasang tenda perkemahan. Pembekalan demi pembekalan pun dilakukan pada sore dan malam hari itu. Lalu kemudian mereka damai bersama dunia mimpi mereka masing-masing. Setelah matahari naik sepenggalah, acara yang sangat dinanti dan ditunggu-tunggu para peserta pembekalan ini akhirnya akan tiba. Mereka sangat menunggu acara ini. Karena bagi mereka acara ini sangat menantang, yaitu daki bukit. Mungkin acara seperti ini lumrah bagi anak pramuka, tapi tidak bagi anak pramuka yang pemula. Persiapan demi persiapan pun telah selesai dilakukan. Mereka sudah siap untuk menyebrangi bukit itu. Karena dibalik bukit itu ada air terjun yang sangat tinggi, yang tentunya akan membuat pemandangan lebih eksotis untuk menyapu keringat para pendaki bukit.
Mereka sudah memasuki area hutan yang lebat itu dengan berkelompok-kelompok. Masing-masing ketua kelompok adalah pengurus osis. Oleh karena memasukinya perkolompok, maka ada beberapa kelompok yang jaraknya terlalu jauh. Sehingga beberapa kelompok tersebut tidak akan bertemu kecuali setelah sampai di air terjun.
“aku jalan dulu Lim” kata Rifat, satu-satunya teman yang akrab dengan Salim setelah perkenalan singkat mereka. “kita akan bertemu di air terjun” lanjut Rifat yang mendapat kelompok pertama yang berangkat ini.
“oke” jawab seorang anak Medan, Salim. Kelompok Salim adalah kelompok yang paling terkahir berangkat.
Akhirnya, giliran kelompok Salim berangkat. Salim mendapat posisi yang paling belakang. Karena urutan baris setiap kelompok berdasarkan huruf abjad. Sedangkan Salim huruf abjadnya adalah ‘S’. Mereka sudah semakin jauh memasuki hutan, tapi masih jauh dari tempat air terjun karena hutan bukit ini terlalu luas. Namun semuanya sudah diperhitungkan dan disiapkan oleh panitia. Setiap kelompok akan menelusuri satu jalur untuk sampai ke air terjun.
Ditengah jalan Salim terkagum-kagum melihat beberapa tanaman yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. Akhirnya Salim berjalan kedepan sambil melihat kearah kiri. Posisi jalan seperti itu sangat lama sekali. Karena tanaman-tanaman disebelah kiri Salim sangat menakjubkan. Sampai akhirnya, ketika Salim menoleh kedepan, teman-teman sekelompoknya berubah menjadi tanaman hijau. Ia menoleh kekanan, belakang dan kekiri yang ada hanya tanaman hijau. Ia telusuri lebih jauh dengan lari-lari kecil. Namun hanya ada tanaman hijau. Akhirnya Salim mengerti, bukan mereka tapi dialah yang hilang.
*                     *                      *
Salim sempat panik, ia coba untuk kembali ketempat semula, tapi tetap saja yang ia temui hanya pepohonan hijau yang tak bersuara. Salim tak peduli, setiap ada celah untuk berjalan maka akan ia jalani. Sampai akhirnya ia lega. Ia menemukan sesuatu, sesuatu yang bersuara. Manusia, ada dua manusia ditengah-tengah hutan itu. Sebelum Salim sempat begitu dekat, kedua manusia itu menoleh kepadanya. Berambut panjang, hitam, hanya mengenakan penutup kemaluan dan tongkat panjang ditangan kanan mereka. Lalu kedua orang hitam itu memajukan langkah mereka kearah Salim perlahan-lahan yang dibarengi dengan reflex mundur dari Salim yang juga perlahan-lahan. Dan, ketika keadaan sudah tidak memungkinkan Salim membalik badan dan berlari secepat mungkin. Ia tahu mereka tak ubahnya seperti hewan liar buas yang akan memangsanya. Hanya saja mereka berwujud manusia. Aksi kejar-mengejar pun terjadi diantara mereka didalam hutan rimba. Seluruh tenaga Salim kerahkan untuk berlari. Namun apa hendak dikata, Salim hanya bocah yang baru keluar dari sekolah dasar. Memang ia berlari sangat kencang sehingga kedua orang hitam tadi tertinggal agak jauh dibelakang. Akan tetapi dengan rasa penat yang menghimpit tenaga Salim, tubuhnya jadi melemah dan akhirnya kakinya tersandung kayu besar dan jatuh tersungkur.
“aduh” ingin rasanya Salim menjerit, tapi sayang tak kuasa atas keadaan. Kedua orang hitam tadi semakin dekat kearah Salim. Tapi posisi Salim yang tersungkur masih terhalang dari pandangan mereka oleh pepohonan. Semakin dekat dan semakin dekat. Jarak kedua orang hitam itu semakin dekat dengan Salim. Lalu kemudian ada tangan mungil kecil dan putih yang menggapai tangan Salim dan menyeretnya bersembunyi kedalam suatu lubang yang agak besar dan tidak terlalu dalam yang dilindungi oleh dedaunan disamping tempat Salim tersungkur. Dan jarak dekat antara Salim dan kedua orang hitam itu pun kini semakin menjauh. Karena kedua orang hitam itu sudah melewati tempat persembunyian tangan mungil putih itu.
*                     *                      *
“kau sudah sadar?” Tanya orang yang memiliki tangan mungil yang indah itu. Salim membukakan matanya, kaget mengetahui ada manusia disampingnya Salim pun reflex bergerak cepat dari tempatnya.
“tidak usah takut” suara itu terdengar lembut dan indah sekali “kita aman disini”. Mata mereka berdua bertemu. Salim sadar dihadapannya adalah seorang anak perempuan cantik jelita. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, putih, sopan, lembut dan anggun sekali. Mata mereka terus bertemu. Bahkan semakin dalam, seakan ada pesan yang ingin tersampaikan dari pandangan pertama itu. Sampai akhirnya Salim menundukkan kepalanya dan bertanya :
“kau siapa?”
“aku sama sepertimu” jawab anak gadis manis itu. “aku juga tadinya dikejar-kejar oleh kedua makhluk hitam itu”.
“memangnya siapa mereka?” Tanya Salim.
“yang jelas, mereka tidak akan mengejarku jika aku mengenal mereka. Tapi, mungkin mereka adalah penguasa di hutan ini. Ya, dengan kata lain hutan ini adalah rumah mereka dan kita tidak diundang untuk menjadi tamu mereka”.
“ah.. tidak tahulah” kata Salim yang pikirannya sedang kacau akibat ketakutan ini “pokoknya kita harus pergi dari tempat ini secepatnya” lanjut Salim.
“ya, aku setuju” balas nona manis itu sambil merekahkan senyuman yang agak lebar.
Mereka berdua pun keluar dari lubang itu sambil mengendap-endap lihat kanan-kiri depan-belakang. Dan mereka berjalan perlahan mengitari celah yang paling lebar diantara pepohonan. “celah itu mungkin bisa menghantarkan kami keluar dari hutan ini” pikir mereka. Namun semakin jauh mereka mengitari jalan lebar tersebut, hanya ada terlihat jalan bercabang. Dan lagi-lagi mereka memilih jalan yang paling lebar diantara cabang jalanan itu. Dan kemudian hanya ada jalan yang bercabang lagi dan mereka memilih seperti pilihan sebelumnya. Jalan yang melebar itu semakin menyempit dan menyempit hingga pada akhirnya hanya ada pohon dan pohon yang dipenuhi rawa-rawa tanpa ada celah untuk berjalan.
“hah, kita semakin jauh tersesat” kata nona jelita itu putus asa.
“ya, aku tahu” tindih Salim dengan nada yang sama. Dan matahari pun sudah mulai menukik kebarat.
“kau tidak lapar?” Tanya Salim.
“apa? Disaat seperti ini kau masih bisa memikirkan makan?”.
“kita harus bertenaga untuk melanjutkan perjalanan”. Nona itu tertunduk dan sangat lesu. Dan ia berkata dengan lemah dan pelan :
“aku sangat lapar sekali”. Salim memandanginya dengan senyuman nakal, lalu ia berkata:
“kau tunggulah disini”.
“tidak! Aku takut. Aku akan ikut kau kemanapun kau pergi”. Salim hanya memandangi nona manis itu terpelongoh.
“kau mau ikut aku memanjat pohon itu?” kata Salim sambil menunjuk kepohon bam-bam yang sangat besar. Nona jelita itu terdiam mengkatupkan kedua bibirnya dan memandangi Salim seperti ingin menerkamnya.
Loncatan terakhir kebawah, Salim pun selesai memanjat dan mendapatkan banyak buah. Segera mereka mencari tempat yang cukup lapang dan nyaman untuk diduduki lalu kemudian menyantap buah-buahan itu.
“kau lincah sekali memanjat” kata nona itu sambil menyarut buah bam-bam “seperti... haha” gelegar nona itu ketawa kecil.
“seperti kamu” sambut Salim.
“kok aku?” kata nona jelita itu protes.
“kamukan ... haha”gelegar Salim tertawa agak keras sambil menyantap buah hasil keringatnya itu. Mereka berdua bercanda tawa akrab sekali, seperti halnya orang yang sudah kenal puluhan tahun. Senggol-senggolan bahu, rebutan-rebutan buah sampai lempar-lemparan kulit buah.
Namun, kehangatan canda akrab itu tidak berlangsung begitu lama. Kedua mata kuning mengintai mereka.
“heh, kau dengar itu?” kata si nona manis menghentikan gelak mereka berdua. Mereka berdua saling berpandangan bodoh dan membodoh dan ketakutan. Dari kejauhan ada sesosok makhluk kuning yang mengintai mereka melompat perlahan dan perlahan.
“ha... ha... harimau” jerit mereka berdua bersamaan. Mereka berdua lari serempak terbirit-birit. Salim tak mau lagi bernasib seperti kelompoknya yang awal. Yang meninggalkannya menghilang jauh. Ia memegang tangan si nona manis itu erat-erat agar mereka berdua tidak terpisah dan si nona pun memegang tangan Salim erat-erat. Hal ini mereka lakukan secara spontan dengan reflex ketakutan. Hingga sepanjang mereka berlari tangan mereka terus berpegangan. Si harimau pun tak mau kehilangan mangsa ia berlari sekuat tenaga mengejar mereka. Dalam jarak yang bisa dibilang agak begitu jauh dari harimau, kaki nona manis itu terpeleset dan ia pun jatuh tersungkur. Namun tangannya dan tangan Salim masih tetap berpegangan erat.
“aduh” jerit nona itu pahit kesakitan.
“kau taka pa-apa?” Tanya Salim.
“pergilah! selamatkan dirimu, aku tidak akan bisa berlari kencang lagi” kata si nona jelita itu.
“tidak!” kata Salim dengan nafas yang tersengal-sengal “kau telah menyelamatkan nyawaku, bagaimana mungkin aku akan meninggalkanmu sendirian dan menjadi santapan harimau. Kita harus pergi atau mati bersama disini” lanjut Salim tegas. Mata nona itu berbinar-binar memandangi mata Salim. Lalu Salim pun mengulurkan tangannya dan disambut nona itu. Lalu dengan lembut Salim menariknya berdiri.
“aduh..” kata nona itu menahan rasa sakit dikakinya “aku tidak bisa, kau pergilah” lanjut nona itu. Salim hanya memandanginya tajam lalu membelakanginya dan berjongkok sebagai isyarat agar si nona itu naik kebelakang gendongan Salim. Si nona manis itu pun menerimanya. Kemudian Salim berlari sekuat tenaga dengan menggendong si nona kecil cantik itu.
Dibelakang si harimau pun masih tetap mengejar mereka.
“ayo lebih cepat” kata si nona. Dengan tersengal-sengal Salim menjawab nona jelita itu “aku sudah tidak kuat lagi”. Salim terjatuh dan si nona manis pun ikut terjatuh. Mereka berdua saling berpandangan seakan menyampaikan pesan “ternyata kita akan mati bersama disini”. Tapi “tidaak!!” teriak Salim dalam pikirannya. Setidaknya harus berbuat sesuatu sebelum mati pikir Salim. Salim memandangi sekitar sejenak dan cepat lalu mendapat ide :
“kita akan lawan dia?” kata Salim kepada si nona cantik itu.
“apa? Kau gila!” Tanya nona itu sambil memprotes.
“kau harus percaya” kata Salim meyakinkan “kita pasti bisa”.
“tapi ...” kata nona itu terputus.
“aku punya ide” lanjut Salim. Kemudian Salim mengambil tiga buah ranting tajam yang ia lihat tertancap dibeberapa bagian pohon yang rendah, lalu mengambil tali pramuka yang ada dalam ranselnya. Kemudian Salim mengikatkan ketiga ranting tajam itu pada bagian tengah tali yang lumayan panjang itu lalu berkata :
“kau bersembunyi di pohon sana dan aku di pohon sini. Ketika harimau itu melintasi pohon ini kita tarik tali ini kencang-kencang. Lalu harimau itu akan tertusuk ranting ini.
“tapi aku takut” kata nona anggun itu ketakutan.
“aku akan memberimu aba-aba ketika akan menariknya”.
“tapi...” kata nona itu ingin protes lagi.
“kau jangan takut kata Salim menenangkannya. Ini adalah jalan terakhir. Jika kita gagal disini, selamanya kita tidak akan pernah pulang kerumah. Kau harus percaya, kita pasti bisa”. Salim terus memandanginya dan si nona jelita itu pun terus memandangi Salim. Lagi-lagi seakan ada pesan yang ingin tersampaikan. Ingin rasanya Salim memeluk nona itu. Tapi apa mau dibuat, Salim adalah seorang santri dan Salim tahu nona manis itu tidak halal baginya.
“ayo bersiap” kata Salim “harimau itu sudah semakin dekat. Mereka berduapun mengambil posisi mereka masing-masing. Dan sang harimau pun semakin mendekat. “kesempatan terakhir” pikir Salim. Salim pun memberi aba-aba kepada nona jelita itu. “satu, dua, dan ..” tali ditarik kencang. Ketiga ranting tajam tadi terangkat dan tepat menusuk ketenggorokan si harimau. Darah terpencrat dari harimau itu. Harimau itu berlari sangat kencang sehingga tali rangkaian Salim tadi terseret beberapa meter kearah lari si harimau. Sementara Salim dan si nona langsung keluar dari tempat persembunyian mereka dan saling mendekat satu sama lain. Si nona manis itu mebalikkan tubuh dan menjatuhkan mukanya kebahu Salim sambil menangis. Karena tidak tega melihat si harimau menggelupur bersimpuh darah di lantai akibat rantai yang mereka rangkai sendiri. Dengan pelan dan ragu Salim mendekap nona cantik itu dan menenangkannya dengan menepuk-nepuk bahunya.
“sudahlah, sudah berkahir” kata Salim “dan kitalah pemenangnya” lanjutnya. Si nona pun mengangkat wajahnya dari bahu Salim dan sekali lagi si nona manis itu membalikkan tubuhnya dan memandangi si harimau itu dengan seksama. Dan Salim, ia juga mengikuti gerak si nona jelita. Dan perlahan mereka berdua mendekati harimau itu untuk memastikan apakah si harimau benar-benar sudah mati.
“kau hebat” kata si nona manis itu sambil memandangi harimau.
“bukan aku, tapi kita” balas Salim. Mereka hanya berpandangan dan berbalas-balasan senyuman. Lalu mereka berdua memandangi si harimau itu lagi. Darah harimau itu terus mengalir. Namun, ada yang aneh. Tiba-tiba si harimau itu bergerak menggelupur dengan spontan dan cepat. Mungkin itu adalah gerakan ketidak sudiannya atas kekalahan melawan anak adam. Atau mungkin juga gerak reflex untuk melampiaskan rasa sakit akibat berpisahnya ruh dan jasad. Tapi bagi Salim dan nona cantik itu, gerakan menggelupur itu diartikan mereka takut kalau harimau itu bangun lagi lalu menerkam mereka. Segera dengan cepat Salim berbalik arah dan jongkok, sebuah isyarat agar nona jelita itu menaiki pundaknya. Isyarat itu pun diterima dengan cepat oleh si nona manis. Dengan lincah dan sigap si nona manis itu langsung melompati pundak Salim. Dan Salim pun lari sekuat tenaga.

*                     *                      *
Setelah sekian lama berlari, akhirnya Salim dan si nona cantik itu pun menemukan sebuah tempat yang cukup lebar dan tertutup serta nyaman untuk sebagai tempat peristirahatan. Salim pun menurunkan nona cantik itu disitu. Nafas Salim masih tersengal-segal akibat lari panjangnya dan ia berkata :
“kau tidak apa-apa?” si nona hanya menggeleng dan memandangi Salim dengan penuh iba.
“aku takut” kata nona manis kecil itu sambil mendekatkan duduknya dengan duduk Salim. Salim hanya diam, ia ragu, tubuhnya kaku dan lidahnya terasa beku. Ingin rasanya ia merangkul nona manis itu dan menidurkannya di bahunya. Tapi lagi-lagi “ada Tuhanku” jerit batih Salim melawan semua godaan itu. Matahari sudah mulai turun kebarat. Salim sadar, ternyata ia masih belum melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.
“ya Allah, kita belum sahalat” kata Salim. Salim lalu segera mengambil posisi bertayamum. Ia menepukkan kedua telapak tangannya keatas debu dan mengusapkannya kemuka dan kedua tangannya. Sementara si nona jelita itu memandanginya dengan penuh keheranan.
“kau sedang apa?” Tanya si nona jelita.
“aku sedang bertayamum untuk shalat” jawab Salim.
“kau tidak mau bertayamum?” Tanya Salim. Si nona itu hanya tersenyum lebar kepada Salim. Salim sadar matahari sudah semakin mau terbenam. Ia tidak terlalu menghiraukan nona cantik itu. “dalam hal ini, Tuhanku lebih penting” pikirnya. Salim pun mengamati matahari untuk mengetahui arah barat. Karena kearah itu lah ia akan sujud. Ketika semuanya sudah tepat, Salim pun mulai melaksanakan shalat jamak ta’khir ashar-zhuhur. Sementara itu, si nona tak juga bertayamum. Ia hanya duduk memperhatikan Salim. Setelah Salim selesai shalat, Salim pun bertanya kepadanya :
“kau tidak shalat?” lagi-lagi si nona jelita itu hanya tersenyum lebar penuh arti. “sebenarnya sih, tidak jadi masalah bila tidak ada mukena, kau bisa shalat seperti keadaanmu sekarang karena kita dalam keadaan darurat” nasehat Salim. Tetapi, si nona manis itu sekali lagi tersenyum lebar penuh arti kepada Salim. Salim hanya memandanginya dan mencoba untuk menterjemahkan senyuman itu. Tapi tidak ada hasilnya, mungkin ia sedang kedatangan tamu bulanannya pikir Salim.
“oh ya, bagaimana kakimu?” Tanya Salim “coba kulihat”. Si nona cantik itu pun menjulurkan kakinya yang tersandung kayu besar tadi. Salim mencoba mengurutnya dan membetulkan letak uratnya. Sesekali si nona manis itu merintih kesakitan. Tapi, “tidak apa-apa, hanya keseleo sedikit, besok juga kau akan bisa berlari lagi” kata Salim. bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar